Kenapa pelaku teroris berani mati dengan tidak peduli pada anak, istri dan keluarganya? Apa yang menyebabkan teroris berani mati diulas secara psikologi oleh para pakar psikologi.
Ilmuwan menemukan sebagian besar orang yang 'menyatu', yaitu orang-orang yang menganggap dirinya benar-benar menyatu dalam kelompoknya, seperti kelompok teroris, akan bersedia melakukan tindakan ekstrem bahkan siap mati untuk kebaikan kelompoknya. Hal ini didasarkan pada perasaan menyatu dan merasa jiwanya berkembang di dalam kelompok.
Dalam studi tersebut, peneliti merekrut 506 mahasiswa dari Universidad Nacional de Educacion a Distancia di Spanyol. Hasil studi ini telah dipublikasikan dalam Psychological Science.
Berdasarkan jawaban mahasiswa dalam kuesioner online, peneliti mengidentifikasi partisipan sebagai kelompok 'menyatu' dan 'non menyatu'. Kemudian peneliti menilai perilaku pengorbanan diri dari kedua kelompok tersebut.
Untuk menguji kesediaan partisipan yang berani mati demi kelompoknya, peneliti melakukan survei berdasarkan variasi berbeda dari 'Trolley Problem'.
'Trolley Problem' yang dibuat oleh filsuf Inggris Judith Jarvis Thomas di tahun 1967 sebenarnya menyajikan sebuah dilema moral. Orang harus memilih apakah akan membunuh satu orang demi menyelamatkan lima orang asing dari tabrakan fatal atau membiarkan semuanya mati.
Dengan variasi berbeda dari 'Trolley Problem', peneliti tidak menguji pengorbanan diri demi orang asing, melainkan melakukan survei tentang pengorbanan diri untuk menyelamatkan anggota kelompoknya.
Dilansir dari Science20, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas partisipan dalam kelompok 'menyatu' siap untuk mengambil tindakan ekstrem, yaitu berani mati demi kelompoknya.
Hasilnya menunjukkan bahwa:
75 persen bersedia mati untuk menyelamatkan nyawa lima anggota kelompok
Ketika diberikan pilihan untuk mengorbankan anggota kelompok demi membunuh beberapa penjahat yang melarikan diri, 63 persen menjawab akan mengorbankan kelompoknya demi membunuh panjahat tersebut.
"Studi ini dapat memberikan wawasan baru dalam pola pikir kelompok dengan ideologi ekstremisme. Dalam era di mana tindakan mengorbankan hidup sendiri untuk kelompok memiliki konsekuensi mengubah dunia. Sangat penting untuk mempelajari lebih lanjut tentang dasar-dasar psikologis dari kegiatan tersebut," jelas Bill Swann, profesor psikologi di University of Texas di Austin.
Ilmuwan menemukan sebagian besar orang yang 'menyatu', yaitu orang-orang yang menganggap dirinya benar-benar menyatu dalam kelompoknya, seperti kelompok teroris, akan bersedia melakukan tindakan ekstrem bahkan siap mati untuk kebaikan kelompoknya. Hal ini didasarkan pada perasaan menyatu dan merasa jiwanya berkembang di dalam kelompok.
Dalam studi tersebut, peneliti merekrut 506 mahasiswa dari Universidad Nacional de Educacion a Distancia di Spanyol. Hasil studi ini telah dipublikasikan dalam Psychological Science.
Berdasarkan jawaban mahasiswa dalam kuesioner online, peneliti mengidentifikasi partisipan sebagai kelompok 'menyatu' dan 'non menyatu'. Kemudian peneliti menilai perilaku pengorbanan diri dari kedua kelompok tersebut.
Untuk menguji kesediaan partisipan yang berani mati demi kelompoknya, peneliti melakukan survei berdasarkan variasi berbeda dari 'Trolley Problem'.
'Trolley Problem' yang dibuat oleh filsuf Inggris Judith Jarvis Thomas di tahun 1967 sebenarnya menyajikan sebuah dilema moral. Orang harus memilih apakah akan membunuh satu orang demi menyelamatkan lima orang asing dari tabrakan fatal atau membiarkan semuanya mati.
Dengan variasi berbeda dari 'Trolley Problem', peneliti tidak menguji pengorbanan diri demi orang asing, melainkan melakukan survei tentang pengorbanan diri untuk menyelamatkan anggota kelompoknya.
Dilansir dari Science20, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas partisipan dalam kelompok 'menyatu' siap untuk mengambil tindakan ekstrem, yaitu berani mati demi kelompoknya.
Hasilnya menunjukkan bahwa:
75 persen bersedia mati untuk menyelamatkan nyawa lima anggota kelompok
Ketika diberikan pilihan untuk mengorbankan anggota kelompok demi membunuh beberapa penjahat yang melarikan diri, 63 persen menjawab akan mengorbankan kelompoknya demi membunuh panjahat tersebut.
"Studi ini dapat memberikan wawasan baru dalam pola pikir kelompok dengan ideologi ekstremisme. Dalam era di mana tindakan mengorbankan hidup sendiri untuk kelompok memiliki konsekuensi mengubah dunia. Sangat penting untuk mempelajari lebih lanjut tentang dasar-dasar psikologis dari kegiatan tersebut," jelas Bill Swann, profesor psikologi di University of Texas di Austin.