Sejak SMU aku sudah mengenal pacaran, pacaran monyet, demikian istilah teman-temanku. Pacaranku hanya lewat sms atau telepon via ponsel yang tak lebih dai 10 menit, karena takut pulsa terkuras habis. Aku mahasiswa semester III sebuah perguruan tinggi terkenal untuk kategori Informasi Teknologi. Suka duka pacaran sudah lama kugeluti, namun yang tercanggih hanya sebatas kissing, ciuman bibir, tak lebih.
Sejujurnya aku dididik secara baik-baik oleh keluragaku. Ayah yang banyak meluangkan waktu untuk anak-anaknya dan ibu sebagai pendamping suami yang selalu berada di rumah mengingatkan tugas belajarku dan kerap menyuapiku jika malas makan. Bahkan seringkali ibu tidur bersamaku dan menceritakan tentang berbagai hal tentang kehidupan ini. Ibuku memang perempuan tulen.
Aku juga sering menceritakan perihal teman pria kepada ibu, namun ibu selalu menasehati tentang hubungan pria dan perempuan. Ibuku tak pernah menyinggung masalah seks sehingga saat pertama menstruasi, aku sempat panik kebingungan mengira ada yang luka di selangkanganku. Ibu hanya tersenyum dan menjelaskan bagaimana menggunakan pembalut dengan benar.
Teman-teman perempuankulah yang menjelaskan tentang menstruasi dan dampaknya terhadap kaum perempuan. Ditambah informasi teknologi yang kukuasai, maka dengan mudah kudapatkan informasi perubahan organ tubuh perempuan jika sudah memasuki siklus menstruasi pertama. Aku terus mencari jawaban pendarahan di organku lewat internet. Ternyata informasi yang kudapatkan cukup memuaskan.
Persis semester kedua, aku dapatkan pacar baru. Namanya Hero, ia mahasiswa semester delapan Fakultas Ekonomi. Mulanya hanya karena Hero terus menerus menitipkan salam lewat teman-temanku sehingga aku merasa ingin mengenalnya lebih jauh. Tak dinyana, pertemuan pertama saat ada event di kampus menjadi titik balik hubunganku dengan Hero. Sejak itu Hero selalu menungguku tepat di depan tangga bawah usai kuliahnya atau aku menunggunya di tempat yang sama jika kuliahku selesai lebih dahulu.
Hero, pria romantis yang pernah kukenal, karena setiap aku duduk di dalam mobilnya, ia selalu menyalakan lagu sendu tentang asmara seraya menggenggam tenganku erat dan berucap, “Ini lagu kita ya…” Tentu saja aku merasa melambung tinggi dengan cara Hero mengungkapkan cintanya, belum lagi tatapan mesra dan kecupan di pipiku yang meninggalkan sensasi luar biasa di hatiku. Kadang aku ingin Hero melumat bibirku, tapi Hero sungguh sopan dan ia tak pernah menyentuh bibirku..
Hubunganku dengan Hero berlangsung hingga semester keempat dan Hero sudah dikenal baik oleh keluargaku. Ayah dan ibuku tidak keberatan melihat hubunganku dengan Hero, karena Hero sangat sopan dan tahu diri. Bahkan ayah menyukainya, apalagi setelah tahu bahwa Hero mendapatkan nilai tinggi sehingga indeks prestasinya melawati angka 3,2. Ayah langsung menyanjungnya.
Suatu hari, bertepatan dengan ulang tahun Tine sahabatku yang akan diselenggarakan di Puncak, Jawa Barat, sebuah bungalow milik teman dipinjam dan kami melewatkan pesta ulang tahun Tine di sana. Hero juga diundang walaupun Tine adalah teman seangkatanku. Tentu saja aku dan Hero bersuka cita dan merencanakan keberangkatan kami bersama guna mendatangi pesta Tine.
Entah karena salah hitung atau karena banyaknya undangan, maka aku dan Hero yang datang terlambat tak mendapatkan tempat karena penuhnya bungalow yang dipesan Tine. Hero menyarankan untuk menginap di hotel saja. Tentu saja aku menurut dengan usulannya. Jadilah malam itu aku dan Hero menginap di hotel, sekamar.
Dikamar, aku masih sibuk mendiskusikan pesta Tine yang ternyata kurang diatur dengan baik sehingga makan malamnya hanya mencukupi setengah undangan yang datang. Banyak tamu tak mendapat jatah makan malam. Tine hanya diam tak mampu berucap kala kukatakan makan malam habis tak bersisa dan masih banyak undangan yang belum makan. Kala itu Hero hanya memandangku diam namun segera ia beranjak dari kursi, mendekati dan memelukku erat seraya mencari-cari bibirku untuk dilahapnya. Aku tersedak karena tak siap dengan serangan bibirnya.
Tangan Hero mulai liar, namun karena aku merasa nikmat maka kubiarkan tangannya menjalar kemana-mana. Pertama ia menjelajahi punggungku kemudian dengan sekejap membuka pengait behaku sehingga terlepas dan segera tangannya beralih ke bagian depan. Aku tertegun sesaat, namun Hero membungkamku dengan bibirnya. Aku terdiam saat tangan Hero menjalar membuka celana jeansku. Aku tak faham akan permainan ini. Aku diam saja.
Hero membimbingku dengan lembut ke tempat tidur seraya membaringkanku dengan perlahan, ia mengucapkan kata cinta di telingaku sehingga aku serasa melayang mencapai langit ketujuh. Saat Hero melucuti semua pakaianku dan pakaiannya. Aku berbisik lembut di telinganya, “Jangan sayang, aku masih perawan dan aku hanya ingin memberikan keperawananku untuk suamiku." Hero menjawab tenang, “Tak mungkin aku merusakmu, karena aku hanya ingin menikmati keindahan cinta kita saat pernikahan tiba,” tuturnya lembut di telingaku.
Maka aku percaya begitu saja, kubiarkan tangan Hero yang tak berpengalaman berkeliaran di tubuhku hingga masuk dan mencari tahu dimana liang vagina berada. Saat itulah keperawananku terenggut oleh jarinya, namun hal ini tak kami sadari.
Dua tahun kemudian aku berjodoh dengan Hero, Malam pengantin kusiapkan dengan sungguh-sungguh. Aku berniat menyerahkan seluruh hidupku untuk suamiku. Namun saat pertama kali aku bercinta dengan Hero tak setetespun darah keperawananku mengalir sehingga membuat Hero bertanya-tanya dan akhirnya ia menuduhkau bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Kami berdua mendatangi dokter ahli untuk membuktikan keperawananku.
Hasil pemeriksaan menunjukkan, bahwa perawanku pernah terenggut dengan menyisakan sobekan luka lama. Hero kecewa berat, menuduhku pembohong dan pergi meninggalkanku. Padahal aku berani bersumpah bahwa hanya dia satu-satunya pria di dunia ini yang pernah menyentuh kegadisanku, lewat jari tangannya. (ps)