Staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kualalumpur, Malaysia geger. Dengan wajah kusut dan mengenakan pakaiaan seadanya, lima cewek Jakarta dan Bandung, mengadu bahwa mereka baru saja melarikan diri dari sebuah rumah penampungan karena sudah enam bulan dipaksa jadi pelacur.
Pengakuan kelima cewek itu, tentu saja membuat berang para staf KBRI. Tragisnya lagi, selama enam bulan jadi budak seks, kelima cewek ini sudah melayani 700 lelaki hidung belang di beberapa hotel di Kualalumpur. “ Selama dipaksa jadi pelacur, kami diawasi germo dan tidak diperbolehkan meninggalkan hotel, “ kata Yen, 19, seperti ditirukan petugas Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini.
Selain Yen, asal Bandung, empat cewek lainnya yang berhasil kabur dari cengkraman Bapak Ayam (sebutan germo di Malaysia, red) adalah Tar, 20, Un, 21, Yos, 22, dan Yun, 22. Tiga cewek terakhir ini berasal dari Jakarta.
Diantar Tatang B. Razak, Ketua Satgas Pelayanan dan Perlindungan WNI di Kualalumpur dan SLO Polri Kombes Setyo Wasisto , kelima cewek itu terbang ke Jakarta kemudian melapor ke Polda Metro Jaya, Rabu malam. “ Identitas jaringan sindikat yang mengirim lima cewek itu ke Kualalumpur sudah kami ketahui, “ kata Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Drs. Carlo B. Tewu.
Kepada petugas, kelima cewek itu buka suara. Enam lalu, korban yang bekerja sebagai pemandu karaoke di kawasan Jakarta Barat, berkenalan dengan seorang pria yang menawarkan kerja di Kualalumpur dengan imbalan gaji Rp 5 juta per bulan. Kerjaan yang ditawarkan adalah sebagai pemandu karaoke di hotel.
Tanpa pikir panjang, kelima cewek itu menyanggupi kerja di negeri jiran tersebut. Bersama dua lelaki yang mengaku bernama Sam dan Jon, mereka terbang ke Kualalumpur kemudian tinggal di sebuah tempat penampungan. Mereka dikenalkan dengan beberapa lelaki yang akan mencarikan kerja di hotel. Selain itu, korban dibelikan pakaian bagus dengan perjanjian akan dibayar dari potongan gaji.
Berselang dua hari, kelima cewek ini dibawa ke hotel. Ternyata bukan kerjaan menjadi pemandu karaoke yang mereka terima, tapi dipaksa menjadi pelacur. Kejadian ini terus berlanjut hingga enam bulan. Bahkan, selama ini pula, mereka sudah melayani 700 lelaki hidung belang di beberapa hotel.
Menurut Yen, selama dipaksa jadi pelacur, mereka tidak boleh meninggalkan hotel dan tempat penampungan. Jika hendak ke hotel, mereka diantar pakai mobil dan dijaga ketat oleh "Bapak Ayam". "Kalau saya menolak diancam akan dipukul. Sehari saya dipaksa layani enam lelaki “ ujar Yen, yang menolak menyebutkan tarif kencan.
Karena sudah tidak tahan diperlakukan senonoh, kelima korban perdagangan wanita itu nekat kabur dari tempat penampungannya kemudian melapor ke KBRI. “ Kami juga sudah memulangkan 13 TKW yang terkatung-katung di Kualalumpur, “ kata Tatang B. Razak.
Razak menambahkan, selain menyelamatkan lima cewek yang dipaksa jadi pelacur, pihaknya juga berhasil memulangkan 4 mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi pariwisata di Jakarta. Empat mahasiswi itu dipekerjakan tidak manusiawi di Hotel Pacific Regency, Kualalumpur.
Keempat mahasiswi itu berada di Kualalumpur setelah mengajukan lamaran kerja di kantor daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam perjanjian kerja, mereka akan mendapat upah 700 Ringgit per bulan. Selama dua bulan kerja, upah yang dijanjikan tidak sesuai. Akhirnya, keempat mahasiswi ini kabur dari hotel dan ditangkap petugas imigrasi Malaysia dengan dicap sebagai pendatang haram.
Menurut Maria, salah seorang mahasiswi yang dikirim ke Kualalumpur, selama dipekerjakan di Malaysia, mereka diperlakukan tidak manusiawi. Selain upah yang tidak jelas yakni Rp 400 ribu sebulan, paspor mereka juga ditahan sehingga tidak bisa bepergian kemana-mana.
Lahirnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) diharapkan akan semakin banyak mampu mengungkap kasus-kasus perdagangan orang di Indonesia. Baik yang sifatnya domestik antar wilayah maupun trans negara (internasional). “Saya bersyukur, kasus-kasus perdagangan orang satu persatu mulai terungkap,” kata Meutia.
Ia yakin lahirnya UU ini bakal memberikan kekuatan dan keberanian bagi para korban trafficking untuk melaporkan diri kepada yang berwajib. Sebab UU ini nantinya akan menjadi payung hukum bagi mereka yang menjadi korban trafficking.
Selama ini, diakui banyak korban trafficking yang takut untuk melaporkan diri. Selain ancaman dari pelaku, juga para korban takut dijadikan tersangka ketika ia dipaksa melakukan kejahatan pasca penjualan.
Ancaman bagi pelaku trafficking tidak main-main. Bisa berupa kurungan penjara antara 3 tahun hingga 15 tahun atau denda uang yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah.
Karena itu, Meutia berharap agar masyarakat baik yang menjadi korban trafficking maupun mereka yang mengetahuinya agar segera melaporkan kasus tersebut baik ke aparat kepolisian maupun RT/RW dan kelurahan.
Data yang dihimpun Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) sepanjang 2006 terjadi 130 kasus perdagangan orang dengan jumlah korban mencapai 808 orang. Umumnya yang menjadi korban adalah perempuan dan anak. Mereka dilacurkan, dijadikan pembantu rumah tangga anak, penjualan anak, hingga penjualan gadis.
Sayangnya, UUPTPPO tersebut belum memberikan perlindungan optimal kepada korban anak-anak. UU sifatnya lebih kepada perdagangan orang dewasa.
Meski demikian, Meutia menilai ini adalah suatu kemajuan yang luar biasa yang dicapai bangsa Indonesia. “Dunia internasional mengacungkan jempol untuk langkah pemerintah Indonesia yang dinilai cukup berani ini,” tandas Meutia. [pskt/hep]
Pengakuan kelima cewek itu, tentu saja membuat berang para staf KBRI. Tragisnya lagi, selama enam bulan jadi budak seks, kelima cewek ini sudah melayani 700 lelaki hidung belang di beberapa hotel di Kualalumpur. “ Selama dipaksa jadi pelacur, kami diawasi germo dan tidak diperbolehkan meninggalkan hotel, “ kata Yen, 19, seperti ditirukan petugas Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini.
Selain Yen, asal Bandung, empat cewek lainnya yang berhasil kabur dari cengkraman Bapak Ayam (sebutan germo di Malaysia, red) adalah Tar, 20, Un, 21, Yos, 22, dan Yun, 22. Tiga cewek terakhir ini berasal dari Jakarta.
Diantar Tatang B. Razak, Ketua Satgas Pelayanan dan Perlindungan WNI di Kualalumpur dan SLO Polri Kombes Setyo Wasisto , kelima cewek itu terbang ke Jakarta kemudian melapor ke Polda Metro Jaya, Rabu malam. “ Identitas jaringan sindikat yang mengirim lima cewek itu ke Kualalumpur sudah kami ketahui, “ kata Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Drs. Carlo B. Tewu.
Kepada petugas, kelima cewek itu buka suara. Enam lalu, korban yang bekerja sebagai pemandu karaoke di kawasan Jakarta Barat, berkenalan dengan seorang pria yang menawarkan kerja di Kualalumpur dengan imbalan gaji Rp 5 juta per bulan. Kerjaan yang ditawarkan adalah sebagai pemandu karaoke di hotel.
Tanpa pikir panjang, kelima cewek itu menyanggupi kerja di negeri jiran tersebut. Bersama dua lelaki yang mengaku bernama Sam dan Jon, mereka terbang ke Kualalumpur kemudian tinggal di sebuah tempat penampungan. Mereka dikenalkan dengan beberapa lelaki yang akan mencarikan kerja di hotel. Selain itu, korban dibelikan pakaian bagus dengan perjanjian akan dibayar dari potongan gaji.
Berselang dua hari, kelima cewek ini dibawa ke hotel. Ternyata bukan kerjaan menjadi pemandu karaoke yang mereka terima, tapi dipaksa menjadi pelacur. Kejadian ini terus berlanjut hingga enam bulan. Bahkan, selama ini pula, mereka sudah melayani 700 lelaki hidung belang di beberapa hotel.
Menurut Yen, selama dipaksa jadi pelacur, mereka tidak boleh meninggalkan hotel dan tempat penampungan. Jika hendak ke hotel, mereka diantar pakai mobil dan dijaga ketat oleh "Bapak Ayam". "Kalau saya menolak diancam akan dipukul. Sehari saya dipaksa layani enam lelaki “ ujar Yen, yang menolak menyebutkan tarif kencan.
Karena sudah tidak tahan diperlakukan senonoh, kelima korban perdagangan wanita itu nekat kabur dari tempat penampungannya kemudian melapor ke KBRI. “ Kami juga sudah memulangkan 13 TKW yang terkatung-katung di Kualalumpur, “ kata Tatang B. Razak.
Razak menambahkan, selain menyelamatkan lima cewek yang dipaksa jadi pelacur, pihaknya juga berhasil memulangkan 4 mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi pariwisata di Jakarta. Empat mahasiswi itu dipekerjakan tidak manusiawi di Hotel Pacific Regency, Kualalumpur.
Keempat mahasiswi itu berada di Kualalumpur setelah mengajukan lamaran kerja di kantor daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam perjanjian kerja, mereka akan mendapat upah 700 Ringgit per bulan. Selama dua bulan kerja, upah yang dijanjikan tidak sesuai. Akhirnya, keempat mahasiswi ini kabur dari hotel dan ditangkap petugas imigrasi Malaysia dengan dicap sebagai pendatang haram.
Menurut Maria, salah seorang mahasiswi yang dikirim ke Kualalumpur, selama dipekerjakan di Malaysia, mereka diperlakukan tidak manusiawi. Selain upah yang tidak jelas yakni Rp 400 ribu sebulan, paspor mereka juga ditahan sehingga tidak bisa bepergian kemana-mana.
Lahirnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) diharapkan akan semakin banyak mampu mengungkap kasus-kasus perdagangan orang di Indonesia. Baik yang sifatnya domestik antar wilayah maupun trans negara (internasional). “Saya bersyukur, kasus-kasus perdagangan orang satu persatu mulai terungkap,” kata Meutia.
Ia yakin lahirnya UU ini bakal memberikan kekuatan dan keberanian bagi para korban trafficking untuk melaporkan diri kepada yang berwajib. Sebab UU ini nantinya akan menjadi payung hukum bagi mereka yang menjadi korban trafficking.
Selama ini, diakui banyak korban trafficking yang takut untuk melaporkan diri. Selain ancaman dari pelaku, juga para korban takut dijadikan tersangka ketika ia dipaksa melakukan kejahatan pasca penjualan.
Ancaman bagi pelaku trafficking tidak main-main. Bisa berupa kurungan penjara antara 3 tahun hingga 15 tahun atau denda uang yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah.
Karena itu, Meutia berharap agar masyarakat baik yang menjadi korban trafficking maupun mereka yang mengetahuinya agar segera melaporkan kasus tersebut baik ke aparat kepolisian maupun RT/RW dan kelurahan.
Data yang dihimpun Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) sepanjang 2006 terjadi 130 kasus perdagangan orang dengan jumlah korban mencapai 808 orang. Umumnya yang menjadi korban adalah perempuan dan anak. Mereka dilacurkan, dijadikan pembantu rumah tangga anak, penjualan anak, hingga penjualan gadis.
Sayangnya, UUPTPPO tersebut belum memberikan perlindungan optimal kepada korban anak-anak. UU sifatnya lebih kepada perdagangan orang dewasa.
Meski demikian, Meutia menilai ini adalah suatu kemajuan yang luar biasa yang dicapai bangsa Indonesia. “Dunia internasional mengacungkan jempol untuk langkah pemerintah Indonesia yang dinilai cukup berani ini,” tandas Meutia. [pskt/hep]