"Bisnis" mengemis di Kota Tepian ternyata menggiurkan. Membuat sejumlah orang mau menjadi koordinator dan merekrut sejumlah pengemis di Pulau Jawa untuk dipekerjakan di Samarinda.
Ada pula yang dengar-dengar cerita bahwa di Samarinda hanya "uang besar" yang diberikan, membuat para pengemis dari sejumlah kota di Jawa, memilih hijrah ke kota ini.
Mengemis di Samarinda, biasanya bisa menghasilkan puluhan ribu hingga ratusan ribu Rupiah. Tapi siapa sangka, ada seorang pengemis yang mampu meraup jutaan Rupiah hanya dalam sehari. Daerah operasinya hanya satu yakni di Jl Gatot Subtoro, Samarinda Utara.
Dia bernama Marfuah. Wanita ini diperkirakan berumur 55 tahun, berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur (Jatim). Jika melihat cacat fisiknya, hati siapa yang tak iba. Makanya, meski hanya melintasi Jl Gatot Subroto, ia mampu mendapat penghasilan hingga Rp1,8 juta sehari.
Marfuah menderita cacat sejak lahir. Kondisinya memang memprihatinkan. Lengannya kecil tanpa bertelapak tangan. Hanya ada kaki kirinya, itu pun kecil. Karena kekurangannya itu, Marfuah harus berjalan dengan cara ngesot. Jadilah ia bergelar pengemis ngesot.
Bagi masyarakat yang hatinya tersentuh, tak ragu-ragu memberikan uang dalam jumlah besar. Kalau pengemis lain paling dapat Rp1.000, Marfuah mampu memperoleh lembaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Kemarin siang, Marfuah diamankan Satpol PP di Jl Gatot Subroto. Iapun dibawa ke Panti Sosial Tresna Wredha Nirwana Puri di Jl Mayjen Sutoyo, Samarinda Utara. Rencananya, Marfuah akan dipulangkan ke kampungnya lewat Surabaya, pada Kamis (12/8) mendatang menggunakan KM Binaiya melalui Pelabuhan Samarinda.
Meski memiliki keterbatasan fisik, Marfuah sempat melakukan perlawanan saat diamankan. Bahkan ia meraung-raung minta dilepaskan. Tetapi beberapa anggota Satpol PP tetap saja membawanya ke sebuah truk yang memang sudah disiapkan, digabung bersama gepeng yang juga akan dibawa ke panti jompo. Saat ditemui Samarnda post, Marfuah enggak berbicara.
Beberapa kata yang diucapkan dari mulutnya saat ditanya darimana asalnya, tak jelas terdengar. Namun dari logatnya, menandakan ia berasal dari Madura.
"Dia memang begitu, ngomongnya tak jelas," kata Latifah, seorang rekannya sesama pengemis.
Latifah menyebut sangat kenal dengan Marfuah. Pasalnya saat pengemis yang dikoordinir lagi marak, Marfuah memang sudah menjadi bintangnya. Menurut Latifah, penghasilan Marfuah dalam sehari bisa mencapai Rp1,8 juta. Itu bahkan bisa dikatakan kecil. Soalnya, ia mampu menghasilkan lebih dari itu.
"Kalau dia hanya menghasilkan Rp1 juta dalam sehari, koordinatornya pasti mengatakan ia tak kerja. Bahkan bisa saja dipukuli oleh koordinatornya," ujarnya lagi.
Uang sebanyak itu diapakan oleh Marfuah? Latifah mengaku tak tahu persis. Termasuk Marfuah kebagian berapa persen dari penghasilannya. Menurut Latifah, dari pengalamannya saat punya koordinator, biasanya uang itu akan dipotong untuk uang makan, tempat tinggal dan uang ojek. Kemudian sisanya dibagi dua dengan koordinator. "Saya saja dalam sehari bisa mendapatkan Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Uang itu kemudian dipotong Rp40 ribu, sisanya baru dibagi dua," tandasnya.
Untuk apa dipotong? Menurut Latifah, pemotongan itu untuk membayar uang yang mereka pinjam saat berangkat dari kampung halaman ke Samarinda. Utang itu pun menurutnya akan ditambah dua kali lipat alias berbunga.
"Misalnya saat berangkat dulu saya pinjam Rp1,6 juta. Maka yang saya harus bayar Rp3,2 juta, begitu seterusnya. Pokoknya akan dilipat dua dari yang dipinjam pertama. Belum lagi untuk ojek dan makan," tambah Latifah.
Kepada Sapos, Latifah mengaku mengaku bersyukur, karena sudah lepas dari koordinator. Tetapi ia tetap menjadi pengemis. Karena pekerjaan itu yang paling mudah dan bisa dilakukan segera. "Uang dari hasil mengemis saya kirim juga ke Jawa. Karena saya punya 5 anak yang saya titip dengan keluarga. Suami saya sudah meninggal dunia," ungkap wanita berumur 38 tahun itu.
Hal lain dikatakan Kadarusman, lelaki cacat asal Banjarmasin.
Ia mengaku datang ke Samarinda sekitar 8 bulan lalu dan selama ini selalu berada di Pasar Pagi. Tetapi ia membantah ketika disebut mengemis. Ia menyebut, hanya duduk di tengah pasar. Hanya saja, versi Kadarusman, ada saja orang yang kasihan padanya, kemudian menyerahkan sejumlah uang
Ada pula yang dengar-dengar cerita bahwa di Samarinda hanya "uang besar" yang diberikan, membuat para pengemis dari sejumlah kota di Jawa, memilih hijrah ke kota ini.
Mengemis di Samarinda, biasanya bisa menghasilkan puluhan ribu hingga ratusan ribu Rupiah. Tapi siapa sangka, ada seorang pengemis yang mampu meraup jutaan Rupiah hanya dalam sehari. Daerah operasinya hanya satu yakni di Jl Gatot Subtoro, Samarinda Utara.
Dia bernama Marfuah. Wanita ini diperkirakan berumur 55 tahun, berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur (Jatim). Jika melihat cacat fisiknya, hati siapa yang tak iba. Makanya, meski hanya melintasi Jl Gatot Subroto, ia mampu mendapat penghasilan hingga Rp1,8 juta sehari.
Marfuah menderita cacat sejak lahir. Kondisinya memang memprihatinkan. Lengannya kecil tanpa bertelapak tangan. Hanya ada kaki kirinya, itu pun kecil. Karena kekurangannya itu, Marfuah harus berjalan dengan cara ngesot. Jadilah ia bergelar pengemis ngesot.
Bagi masyarakat yang hatinya tersentuh, tak ragu-ragu memberikan uang dalam jumlah besar. Kalau pengemis lain paling dapat Rp1.000, Marfuah mampu memperoleh lembaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Kemarin siang, Marfuah diamankan Satpol PP di Jl Gatot Subroto. Iapun dibawa ke Panti Sosial Tresna Wredha Nirwana Puri di Jl Mayjen Sutoyo, Samarinda Utara. Rencananya, Marfuah akan dipulangkan ke kampungnya lewat Surabaya, pada Kamis (12/8) mendatang menggunakan KM Binaiya melalui Pelabuhan Samarinda.
Meski memiliki keterbatasan fisik, Marfuah sempat melakukan perlawanan saat diamankan. Bahkan ia meraung-raung minta dilepaskan. Tetapi beberapa anggota Satpol PP tetap saja membawanya ke sebuah truk yang memang sudah disiapkan, digabung bersama gepeng yang juga akan dibawa ke panti jompo. Saat ditemui Samarnda post, Marfuah enggak berbicara.
Beberapa kata yang diucapkan dari mulutnya saat ditanya darimana asalnya, tak jelas terdengar. Namun dari logatnya, menandakan ia berasal dari Madura.
"Dia memang begitu, ngomongnya tak jelas," kata Latifah, seorang rekannya sesama pengemis.
Latifah menyebut sangat kenal dengan Marfuah. Pasalnya saat pengemis yang dikoordinir lagi marak, Marfuah memang sudah menjadi bintangnya. Menurut Latifah, penghasilan Marfuah dalam sehari bisa mencapai Rp1,8 juta. Itu bahkan bisa dikatakan kecil. Soalnya, ia mampu menghasilkan lebih dari itu.
"Kalau dia hanya menghasilkan Rp1 juta dalam sehari, koordinatornya pasti mengatakan ia tak kerja. Bahkan bisa saja dipukuli oleh koordinatornya," ujarnya lagi.
Uang sebanyak itu diapakan oleh Marfuah? Latifah mengaku tak tahu persis. Termasuk Marfuah kebagian berapa persen dari penghasilannya. Menurut Latifah, dari pengalamannya saat punya koordinator, biasanya uang itu akan dipotong untuk uang makan, tempat tinggal dan uang ojek. Kemudian sisanya dibagi dua dengan koordinator. "Saya saja dalam sehari bisa mendapatkan Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Uang itu kemudian dipotong Rp40 ribu, sisanya baru dibagi dua," tandasnya.
Untuk apa dipotong? Menurut Latifah, pemotongan itu untuk membayar uang yang mereka pinjam saat berangkat dari kampung halaman ke Samarinda. Utang itu pun menurutnya akan ditambah dua kali lipat alias berbunga.
"Misalnya saat berangkat dulu saya pinjam Rp1,6 juta. Maka yang saya harus bayar Rp3,2 juta, begitu seterusnya. Pokoknya akan dilipat dua dari yang dipinjam pertama. Belum lagi untuk ojek dan makan," tambah Latifah.
Kepada Sapos, Latifah mengaku mengaku bersyukur, karena sudah lepas dari koordinator. Tetapi ia tetap menjadi pengemis. Karena pekerjaan itu yang paling mudah dan bisa dilakukan segera. "Uang dari hasil mengemis saya kirim juga ke Jawa. Karena saya punya 5 anak yang saya titip dengan keluarga. Suami saya sudah meninggal dunia," ungkap wanita berumur 38 tahun itu.
Hal lain dikatakan Kadarusman, lelaki cacat asal Banjarmasin.
Ia mengaku datang ke Samarinda sekitar 8 bulan lalu dan selama ini selalu berada di Pasar Pagi. Tetapi ia membantah ketika disebut mengemis. Ia menyebut, hanya duduk di tengah pasar. Hanya saja, versi Kadarusman, ada saja orang yang kasihan padanya, kemudian menyerahkan sejumlah uang