Munculnya Kampung - Kampung Orang Jawa di Kutai Barat berawal dari kedatangan penduduk transmigrasi dari pulau Jawa pada tahun 1964 dan tahun 1965. Tahun 1964, transmigrasi Sukarelawan Serba Guna transmigrasi ini sebenarnya bukan transmigrasi biasa tetapi dan lebih ditujukan pada persiapan pecahnya konfrontasi dengan Malaysia. Jumlah mereka adalah 500 orang atau satu batalion dan terbagi dalam 4 kompi yaitu: Dwikora I, II, III dan IV dan diberi tempat diwilayah tanah masyarakat adat Rentenukng dan Tonyooi.
Dwikora I di Linggang Amer akhirnya terbentuk Kampung Bangun Sari, Dwikora II Linggang Bigung (Kampung Purwodadi), Dwikora III Sekolaq Darat (Kampung Sri Mulyo) dan Dwikora IV Sekolaq Joleq (Kampung Sumber Sari). Mereka dipersenjatai seperti layaknya tentara dan diberi cangkul dengan maksud apabila tidak terjadi perang mereka dapat bertani dan dapat menjadi contoh Penduduk Asli.
Kampung Sumber Sari - Transmigrasi Sukarelawan.
Kampung Sumber Sari merupakan salah satu kampung orang Jawa terbentuk dari kedatangan Transmigrasi Sukarelawan Serba Guna, menurut pak Natim (Kepala Adat Kampung Sumber Sari), para transmigran tersebut berasal dari Karisidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Pati ( Propinsi Jawa Tengah ) dan termasuk dalam kompi Dwikora IV dengan jumlah personil 125 orang.
Ayah pak Natim adalah salah seorang dari sukarelawan tersebut, dia ikut orang tuanya ketika masih kecil (umur tiga belas tahun) masih lekat dalam ingatannya pada saat tiba di Samarinda dan ketika hendak ikut orang tuanya banyak ibu- ibu yang menangis dan mengatakan “Wista le nang kene wae, rasah melu bapakmu nang pedalaman mengko kuwe di pangan wong Dayak” ( sudahlah nak disini saja, tidak usah ikut bapakmu ke pedalaman nanti kamu dimakan orang Dayak) dan menurutnya hal itu tidak terbukti, malah sebaliknya penduduk asli yang sepertinya takut pada mereka dengan cara segera menghindar/sembunyi kalau hendak berpapasan atau menutup rumah/pondok ketika mereka hendak meminta singkong.
KAMPUNG REJO BASUKI
Penduduk Kampung Rejo Basuki adalah pendatang transmigrasi swakarsa pada tahun 1965 dan berasal dari Jawa Timur khususnya Jember dan Ponorogo sebenarnya mereka akan ditempatkan di Sumatera entah mengapa mereka dialihkan ke Kalimantan.
Menurut pak Parman (80 Tahun ) Kepala Adat Rejo Basuki, mantan petinggi dan tokoh masyarakat mereka tiba diMencimai pada Bulan September dan baru sekali menerima JaDup ( Jatah Hidup ) meletuslah pemberontakan G30S PKI dan mereka tidak tahu kalau ada peristiwa tersebut di Jawa sehingga pada saat itu ketika ada pendataan keterlibatan mereka dalam suatu Partai tertentu mereka sangat antusias karena mereka pikir akan diberi bantuan sehingga ketika ditanya “Sopo wae sing melu ( siapa saja yang ikut ) PKI”, Gerwani dan partai lainya mereka cepat-cepat mengacungkan tangan dan setelah pendataan selesai barulah dijelaskan bahwa telah terjadi G30SPKI di Jawa dan yang ikut partai tersebut dikumpulkan dan yang terlibat sebagai pengurus partai di tahan sedangkan yang hanya anggota hanya diharuskan wajib-lapor, ketika mengetahui hal itu meletuslah isak tangis mereka bahkan ada yang tak lama jatuh sakit dan meninggal dunia. Sejak peristiwa itu mereka tidak pernah menerima JaDup, hidup sengsara dan meminta makanan/ singkong kepada pendudukMencimai.
Demikian sekelumit cerita tentang suka-duka dari pelaku sejarah seperti Pak Parman dan pak Natim (yang ayahnya seorang sukarelawan).
Kini orang Jawa hidup berdampingan dengan harmonis dengan Komunitas Masyarakat Adat Dayak (Rentenukng, Tonyoi dan Benuaq) di Tana Purai Ngariman.
Dwikora I di Linggang Amer akhirnya terbentuk Kampung Bangun Sari, Dwikora II Linggang Bigung (Kampung Purwodadi), Dwikora III Sekolaq Darat (Kampung Sri Mulyo) dan Dwikora IV Sekolaq Joleq (Kampung Sumber Sari). Mereka dipersenjatai seperti layaknya tentara dan diberi cangkul dengan maksud apabila tidak terjadi perang mereka dapat bertani dan dapat menjadi contoh Penduduk Asli.
Kampung Sumber Sari - Transmigrasi Sukarelawan.
Kampung Sumber Sari merupakan salah satu kampung orang Jawa terbentuk dari kedatangan Transmigrasi Sukarelawan Serba Guna, menurut pak Natim (Kepala Adat Kampung Sumber Sari), para transmigran tersebut berasal dari Karisidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Pati ( Propinsi Jawa Tengah ) dan termasuk dalam kompi Dwikora IV dengan jumlah personil 125 orang.
Ayah pak Natim adalah salah seorang dari sukarelawan tersebut, dia ikut orang tuanya ketika masih kecil (umur tiga belas tahun) masih lekat dalam ingatannya pada saat tiba di Samarinda dan ketika hendak ikut orang tuanya banyak ibu- ibu yang menangis dan mengatakan “Wista le nang kene wae, rasah melu bapakmu nang pedalaman mengko kuwe di pangan wong Dayak” ( sudahlah nak disini saja, tidak usah ikut bapakmu ke pedalaman nanti kamu dimakan orang Dayak) dan menurutnya hal itu tidak terbukti, malah sebaliknya penduduk asli yang sepertinya takut pada mereka dengan cara segera menghindar/sembunyi kalau hendak berpapasan atau menutup rumah/pondok ketika mereka hendak meminta singkong.
KAMPUNG REJO BASUKI
Penduduk Kampung Rejo Basuki adalah pendatang transmigrasi swakarsa pada tahun 1965 dan berasal dari Jawa Timur khususnya Jember dan Ponorogo sebenarnya mereka akan ditempatkan di Sumatera entah mengapa mereka dialihkan ke Kalimantan.
Menurut pak Parman (80 Tahun ) Kepala Adat Rejo Basuki, mantan petinggi dan tokoh masyarakat mereka tiba diMencimai pada Bulan September dan baru sekali menerima JaDup ( Jatah Hidup ) meletuslah pemberontakan G30S PKI dan mereka tidak tahu kalau ada peristiwa tersebut di Jawa sehingga pada saat itu ketika ada pendataan keterlibatan mereka dalam suatu Partai tertentu mereka sangat antusias karena mereka pikir akan diberi bantuan sehingga ketika ditanya “Sopo wae sing melu ( siapa saja yang ikut ) PKI”, Gerwani dan partai lainya mereka cepat-cepat mengacungkan tangan dan setelah pendataan selesai barulah dijelaskan bahwa telah terjadi G30SPKI di Jawa dan yang ikut partai tersebut dikumpulkan dan yang terlibat sebagai pengurus partai di tahan sedangkan yang hanya anggota hanya diharuskan wajib-lapor, ketika mengetahui hal itu meletuslah isak tangis mereka bahkan ada yang tak lama jatuh sakit dan meninggal dunia. Sejak peristiwa itu mereka tidak pernah menerima JaDup, hidup sengsara dan meminta makanan/ singkong kepada pendudukMencimai.
Demikian sekelumit cerita tentang suka-duka dari pelaku sejarah seperti Pak Parman dan pak Natim (yang ayahnya seorang sukarelawan).
Kini orang Jawa hidup berdampingan dengan harmonis dengan Komunitas Masyarakat Adat Dayak (Rentenukng, Tonyoi dan Benuaq) di Tana Purai Ngariman.