LOS ANGELES - Pihak berwenang AS menghadapi kasus yang mirip dengan kasus Ryan di Indonesia, yaitu pembunuhan terhadap 11 orang. Bedanya, tersangka di AS belum tertangkap meski mereka yakin tersangka utamanya hanya satu orang. Segala upaya telah dilakukan pihak berwenang di sana untuk mengungkap siapa pembunuh berantai itu.
Para penyelidik telah menyisir catatan narapidana di hampir semua penjara untuk mencocokkan dengan riwayat kekerasan mereka. Pihak berwenang juga berharap mendapatkan database DNA untuk melihat adakah orang yang memiliki kecocokan dia.
Terakhir mereka akan memberikan hadiah uang 500.000 dolar AS (Rp4,6 miliar) bagi siapa saja yang bisa membantu menangkap orang yang telah membunuh paling tidak 10 perempuan dan seorang laki-laki dalam dua dekade terakhir tersebut.
Seluruh korban pembunuhan itu berkulit hitam dan ditemukan di bagian selatan Los Angeles atau wilayah di dekatnya. Polisi yakin, para korban perempuan itu adalah wanita tuna susila.
Tujuh perempuan dan seorang laki-laki dibunuh menggunakan senjata api yang sama dalam rentang waktu tiga tahun, mulai Agustus 1985. Para korban perempuan itu juga selalu mendapat kekerasan seksual dan mayat mereka selalu dibuang di lorong di Los Angeles selatan.
Dewan kota Los Angeles, setuju dengan proposal yang dibuat Bernard Parks soal hadiah tersebut. Parks dulunya kepala polisi Los Angeles tahun 2001 yang memerintahkan penyelidikan kembali kasus-kasus yang tak terselesaikan.
Alicia Monique Alexander adalah korban pembunuhan terakhir di babak pertama serial pembunuhan tersebut. Porter Alexander terakhir melihat putri paling kecilnya itu di suatu sore, September 1988 silam. Ketika itu, Alicia yang baru berusia 18 tahun berlari ke sebuah toko. "Saya bilang, pastikan kamu pergi ke toko dan kembali dengan cepat, tapi dia tak pernah kembali," ceritanya.
Empat hari kemudian, polisi memberitahu kalau mereka menemukan mayat Alicia di lorong dekat rumah dengan luka tembakan di dada.
Berselang 13 tahun, pembunuhan serupa kembali terjadi. Jeda 13 tahun ini membuat media di sana menyebut sang pembunuh dengan nama Grim Sleeper, merujuk pada sebutan Grim Reaper atau malaikat pencabut nyawa.
Babak kedua pembunuhan berantai ini diawali Princess Berthomieux, 14 tahun yang ditemukan tewas di lorong kota Inglewood, tak jauh dari Los Angeles.
Sampel DNA menghubungkan Princess dengan tersangka dalam pembunuhan sebelumnya. Setelah itu kembali terjadi serangkaian pembunuhan dengan jejak sama, terakhir menimpa Janecia Peters, Januari tahun lalu.
Meski polisi memiliki sampel DNAnya, namun mereka hanya bisa mengatakan kalau sang pembunuh adalah laki-laki kulit hitam paro baya. Informasi ini didapat dari satu-satunya korban selamat dalam serangan yang dilakukan 1988. "Tapi itu gambaran satu orang yang ironisnya dalam kondisi trauma," kata Kapten Denis Cremins yang kini menangani kasus tersebut.
Associated Press
Para penyelidik telah menyisir catatan narapidana di hampir semua penjara untuk mencocokkan dengan riwayat kekerasan mereka. Pihak berwenang juga berharap mendapatkan database DNA untuk melihat adakah orang yang memiliki kecocokan dia.
Terakhir mereka akan memberikan hadiah uang 500.000 dolar AS (Rp4,6 miliar) bagi siapa saja yang bisa membantu menangkap orang yang telah membunuh paling tidak 10 perempuan dan seorang laki-laki dalam dua dekade terakhir tersebut.
Seluruh korban pembunuhan itu berkulit hitam dan ditemukan di bagian selatan Los Angeles atau wilayah di dekatnya. Polisi yakin, para korban perempuan itu adalah wanita tuna susila.
Tujuh perempuan dan seorang laki-laki dibunuh menggunakan senjata api yang sama dalam rentang waktu tiga tahun, mulai Agustus 1985. Para korban perempuan itu juga selalu mendapat kekerasan seksual dan mayat mereka selalu dibuang di lorong di Los Angeles selatan.
Dewan kota Los Angeles, setuju dengan proposal yang dibuat Bernard Parks soal hadiah tersebut. Parks dulunya kepala polisi Los Angeles tahun 2001 yang memerintahkan penyelidikan kembali kasus-kasus yang tak terselesaikan.
Alicia Monique Alexander adalah korban pembunuhan terakhir di babak pertama serial pembunuhan tersebut. Porter Alexander terakhir melihat putri paling kecilnya itu di suatu sore, September 1988 silam. Ketika itu, Alicia yang baru berusia 18 tahun berlari ke sebuah toko. "Saya bilang, pastikan kamu pergi ke toko dan kembali dengan cepat, tapi dia tak pernah kembali," ceritanya.
Empat hari kemudian, polisi memberitahu kalau mereka menemukan mayat Alicia di lorong dekat rumah dengan luka tembakan di dada.
Berselang 13 tahun, pembunuhan serupa kembali terjadi. Jeda 13 tahun ini membuat media di sana menyebut sang pembunuh dengan nama Grim Sleeper, merujuk pada sebutan Grim Reaper atau malaikat pencabut nyawa.
Babak kedua pembunuhan berantai ini diawali Princess Berthomieux, 14 tahun yang ditemukan tewas di lorong kota Inglewood, tak jauh dari Los Angeles.
Sampel DNA menghubungkan Princess dengan tersangka dalam pembunuhan sebelumnya. Setelah itu kembali terjadi serangkaian pembunuhan dengan jejak sama, terakhir menimpa Janecia Peters, Januari tahun lalu.
Meski polisi memiliki sampel DNAnya, namun mereka hanya bisa mengatakan kalau sang pembunuh adalah laki-laki kulit hitam paro baya. Informasi ini didapat dari satu-satunya korban selamat dalam serangan yang dilakukan 1988. "Tapi itu gambaran satu orang yang ironisnya dalam kondisi trauma," kata Kapten Denis Cremins yang kini menangani kasus tersebut.
Associated Press