Kejam. Mungkin menjadi kata yang bisa mengambarkan perbuatan yang dilakukan oleh Murjiono, 34. Ayah tiga anak ini tega memperkosa SC, 14, yang tak lain anak kandungnya sendiri. Bahkan perbuatan melanggar norma itu dilakukan sejak 2007 atau selama dua tahun terakhir.
Pemerkosaan ini dilakukan di dalam kamar rumahnya yang berukuran 4 x 6 meter. Memang, rumah mungil itu hanya menyisakan satu kamar dan sebuah ruang tamu kecil. Kerap kali, Murjiono melakukan perbuatan tak senonoh itu di saat dua adik SC tidur di sisi kasur.
Tindakan ayah bejat ini tidak lagi bisa berlanjut, setelah SC yang mengalami tekanan batin dan fisik selama dua tahun memberanikan diri melapor. Setelah melakukan pemeriksaan dan barang bukti, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Malang membekuk Murjiono, Selasa (22/12) malam di rumahnya, Jl Sarjono, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Kepala Unit PPA, Inspektur Satu Elisabeth Polnaya menjelaskan, semenjak peristiwa pertama terjadi dan kemudian berulang hampir empat kali sepekan, SC tidak berani menceritakan hal ini kesiapapun. Murjiono, yang sehari-hari menjadi kuli angkut gudang semen di kawasan Janti selalu mengancam akan membunuh SC.
“Korban selalu takut, karena ayahnya mengancam akan membunuhnya kalau cerita ke orang lain,” terang Elisabeth saat menanyai SC di ruang PPA.
Selain itu, SC yang ditinggal ibunya menjadi TKW di Malaysia itu memikirkan nasib adiknya. Dua adiknya, sebut saja, Nina, 11 dan Adi, 8, dipastikan akan terlantar dan kemungkinan ikut disakiti ayahnya jika ia menolak keinginan si ayah.
“Adik tidak pernah dibegitukan (disakiti, red), tapi sangat mungkin disakiti kalau saya menolak setiap kali dipaksa begituan,” kata SC.
Remaja SMP ini menuturkan, peristiwa menyakitkan itu terjadi tahun 2007, beberapa bulan usai ibunya, Puji, 29, berangkat ke Malaysia. Ketika itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 WIB. Murjiono yang datang dalam kondisi mabuk, langsung menghampiri SC yang masih terjaga. SC langsung dicekik dan dipaksa melayani nafsu si ayah.
“Selama dua jam lebih saya dipaksa. Sebelum akhirnya saya menyerah karena diancam akan dibunuh,” tutur SC dengan mata berkaca-kaca.
Sementara SC juga tak bernyali untuk bercerita ke ibunya yang rajin menelepon.
Perbuatan kotor Murjiono terakhir dilakuan 15 November 2009 lalu. Saat itu, SC mulai jarang pulang dan memilih menginap di rumah temannya.
Keberanian SC melapor muncul tatkala ia bertemu Agus, 20, pemuda yang menjadi pacarnya. Agus mendesak SC bercerita terus terang tentang musabab kemurungannya. Pada akhirnya ia melapor, terlebih Agus berencana kelak menikahinya.
“Ketika ayah tidak mengizinkan saya menikah, saat itu saya punya keberanian untuk melapor. Saya ingin pergi dari rumah itu, saya tidak mau lagi ke sana, saya tidak ingin ketemu bapak. Saya dendam,” kata SC.
Murjiono yang tubuhnya penuh hiasan tato, hanya beralasan khilaf, “Saya khilaf, saya tidak mikir.” Lanjutnya, sejak ditinggal Puji, ia kesepian. Sementara ia kerap tidak punya uang untuk ‘jajan’ karena harus menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah.
Kanit PPA Polresta Malang, Inspektur Polisi Satu Elisabet Polnaya menerangkan, Mujiono akan dijerat pasal 81 UU 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Pemerkosaan ini dilakukan di dalam kamar rumahnya yang berukuran 4 x 6 meter. Memang, rumah mungil itu hanya menyisakan satu kamar dan sebuah ruang tamu kecil. Kerap kali, Murjiono melakukan perbuatan tak senonoh itu di saat dua adik SC tidur di sisi kasur.
Tindakan ayah bejat ini tidak lagi bisa berlanjut, setelah SC yang mengalami tekanan batin dan fisik selama dua tahun memberanikan diri melapor. Setelah melakukan pemeriksaan dan barang bukti, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Malang membekuk Murjiono, Selasa (22/12) malam di rumahnya, Jl Sarjono, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Kepala Unit PPA, Inspektur Satu Elisabeth Polnaya menjelaskan, semenjak peristiwa pertama terjadi dan kemudian berulang hampir empat kali sepekan, SC tidak berani menceritakan hal ini kesiapapun. Murjiono, yang sehari-hari menjadi kuli angkut gudang semen di kawasan Janti selalu mengancam akan membunuh SC.
“Korban selalu takut, karena ayahnya mengancam akan membunuhnya kalau cerita ke orang lain,” terang Elisabeth saat menanyai SC di ruang PPA.
Selain itu, SC yang ditinggal ibunya menjadi TKW di Malaysia itu memikirkan nasib adiknya. Dua adiknya, sebut saja, Nina, 11 dan Adi, 8, dipastikan akan terlantar dan kemungkinan ikut disakiti ayahnya jika ia menolak keinginan si ayah.
“Adik tidak pernah dibegitukan (disakiti, red), tapi sangat mungkin disakiti kalau saya menolak setiap kali dipaksa begituan,” kata SC.
Remaja SMP ini menuturkan, peristiwa menyakitkan itu terjadi tahun 2007, beberapa bulan usai ibunya, Puji, 29, berangkat ke Malaysia. Ketika itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 WIB. Murjiono yang datang dalam kondisi mabuk, langsung menghampiri SC yang masih terjaga. SC langsung dicekik dan dipaksa melayani nafsu si ayah.
“Selama dua jam lebih saya dipaksa. Sebelum akhirnya saya menyerah karena diancam akan dibunuh,” tutur SC dengan mata berkaca-kaca.
Sementara SC juga tak bernyali untuk bercerita ke ibunya yang rajin menelepon.
Perbuatan kotor Murjiono terakhir dilakuan 15 November 2009 lalu. Saat itu, SC mulai jarang pulang dan memilih menginap di rumah temannya.
Keberanian SC melapor muncul tatkala ia bertemu Agus, 20, pemuda yang menjadi pacarnya. Agus mendesak SC bercerita terus terang tentang musabab kemurungannya. Pada akhirnya ia melapor, terlebih Agus berencana kelak menikahinya.
“Ketika ayah tidak mengizinkan saya menikah, saat itu saya punya keberanian untuk melapor. Saya ingin pergi dari rumah itu, saya tidak mau lagi ke sana, saya tidak ingin ketemu bapak. Saya dendam,” kata SC.
Murjiono yang tubuhnya penuh hiasan tato, hanya beralasan khilaf, “Saya khilaf, saya tidak mikir.” Lanjutnya, sejak ditinggal Puji, ia kesepian. Sementara ia kerap tidak punya uang untuk ‘jajan’ karena harus menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah.
Kanit PPA Polresta Malang, Inspektur Polisi Satu Elisabet Polnaya menerangkan, Mujiono akan dijerat pasal 81 UU 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.