Kasus bunuh diri sering menghiasi media masa kita. Bunuh diri atau percobaan bunuh diri karena himpitan faktor sosio-ekonomi menjadi berita yang sering kita dengar atau lihat. Namun, bagaimanakah prevalensi bunuh diri di negara lain, terutama di negara maju? Mari kita bandingkan dengan survei mengenai bunuh diri di Amerika Serikat.
ScienceDaily (Ag. 19, 2008). Lebih dari setengah populasi mahasiswa berjumlah 26.000 dari 70 perguruan tinggi Amerika Serikat yang menyelesaikan survei mengenai pengalaman bunuh diri, telah melaporkan bahwa mereka pernah memikirkan untuk bunuh diri, paling tidak sekali dalam hidup mereka. Lebih jauh, 15 persen dari mahasiswa yang disurvei telah memikirkan secara serius untuk bunuh diri, dan lebih dari 5 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri paling tidak sekali dalam hidup mereka.
Dalam sebuah presentasi pada Konvensi tahunan asosiasi psikologi amerika ke 116, psikologis David J Drum dan asisten autor dari Universitas Texas di Austin melaporkan penemuan mereka, yang diambil dari survei berbasis web yang dilakukan oleh konsorsium riset nasional bimbingan penyuluhan pada perguruan tinggi. Survei tersebut dilakukan pada musim semi tahun 2006 dan telah berhasil dikumpulkan berbagai pemikiran dan tingkah laku yang berkaitan dengan bunuh diri diantara mahasiswa. Survei tersebut direview oleh direktur bimbingan penyuluhan kampus yang berpartisipasi, juga oleh dua orang pakar psikologi bunuh diri.
Enam persen dari mahasiswa S1 dan 4 persen dari mahasiswa S2 dilaporkan secara serius mempertimbangkan bunuh diri dalam rentang waktu 12 bulan sebelum menjawab survei. Oleh karena itu, para peneliti menemukan, bahwa pada perguruan tinggi dengan rata-rata mahasiswa S1 berjumlah 18.000, sebanyak 1.080 mahasiswa akan secara serius memikirkan untuk bunuh diri paling tidak sekali dalam setahun. Sekitar dua pertiga dari mereka yang memikirkan untuk bunuh diri akan melakukannya lebih dari sekali dalam periode 12 bulan.
Mayoritas mahasiswa menjelaskan episode tipikal pemikiran bunuh diri sebagai sesuatu yang intens dan singkat, dengan lebih dari setengah episode tersebut hanya berlangsung sehari atau lebih sebentar. Peneliti menemukan, bahwa untuk berbagai alasan, lebih dari setengah mahasiswa yang mengalami krisis bunuh diri tidak mencari pertolongan profesional atau memberitahu siapapun mengenai pemikiran mereka.
Alasan
Peneliti menggunakan sampel terpisah dari mahasiswa S1 dan S2. Ukuran perguruan tinggi terentang dari 820 sampai 58.156 mahasiswa, dengan rata-rata 17.752. Bagi 15.010 mahasiswa S1, 62 adalah perempuan dan 38 persen adalah pria. 79 persen adalah kulit putih, dan 21 persen non kulit putih. 95 persen mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual dan 5 persen adalah biseksual, gay, atau tidak memutuskan sama sekali. Umur rata-rata adalah 22. Bagi 11.441 mahasiswa S2, 60 persen adalah perempuan dan 40 persen adalah pria. 72 persen adalah kulit putih dan 28 persen adalah non kulit putih. 94 perseb adalah heteroseksual dan 6 persen adalah biseksual, gay, atau tidak memutuskan sama sekali. Umur rata-rata adalah 30.
Baik mahasiswa S1 dan S2 memberikan alasan berikut sebagai landasan pemikiran bunuh diri mereka, dalam urutan:
(1) Menginginkan untuk menghilangkan sakit secara fisis dan emosional
(2) Masalah dengan hubungan cinta
(3) Hasrat untuk mengakhiri hidup mereka
(4) Masalah dengan sekolah atau akademis
Sebanyakl 14 persen dari mahasiswa S1 dan 8 persen dari mahasiswa S2 yang secara serius mempertimbangkan untuk bunuh diri dalam 12 bulan sebelumnya, akhirnya melakukan upaya bunuh diri. 19 persen dari mahasiswa S1 dan 28 persen dari mahasiswa S2 yang mencoba bunuh dri memerlukan pertolongan medis. Setengah dari yang mencoba meminum obat dalam dosis berlebih sebagai metode mereka, demikian kata pengarang.
Depresi
Dari survei tersebut, pengarang menemukan bahwa pemikiran bunuh diri sering terjadi karena depresi, masalah makan, atau pelecehan. Mereka juga menemukan bahwa bergantung secara penuh pada model perawatan yang ada, dimana mengidentifikasi dan menolong mahasiswa yang sedang dalam krisis, ternyata tidak cukup untuk mengatasi perilaku bunuh diri pada mahasiswa.
Pengarang menganjurkan beberapa model untuk mengatasi masalah tendensi bunuh diri pada mahasiswa.
Dengan berfokus pada pemikiran bunuh diri dan perilaku sebagai masalah, daripada memperhatikan hanya mahasiswa yang berada dalam krisis, intervensi dapat diberikan pada banyak titik, demikian kata mereka. Lebih jauh, informasi dari survei dapat menolong untuk mencocokkan mahasiswa yang sedang dalam risiko atau yang telah memngalami pemikiran bunuh diri dan perilaku terkait dengan perawatan yang cocok. Hal ini akan mengurangi kemungkinan mereka mengubah pemikiran tersebut kepada tindakan percobaan, demikian kata mereka.
Dengan meningkatnya stres pada mahasiswa dan berkurangnya sumber daya untuk mengatasi konsekuensi tersebut, pencegahan bunuh diri memerlukan berbagai seksi dari personel kampus-adiminstrator, pemimpin mahasiswa, penasihat, dosen, mahasiswa, dan konselor-tidak hanya melibatkan mahasiswa tersebut dan beberapa psikolog saja. ‘Ini akan mengurangi presentasi dari mahasiswa yang terlibat pada pemikiran bunuh diri, atau yang akan melakukan tindakan untuk itu’, demikian kata Drum.
Diterjemahkan dari: American Psychological Association (2008, August 19). Suicidal Thoughts Among College Students More Common Than Expected. ScienceDaily. Retrieved October 18, 2008, from http://www.sciencedaily.com/releases/2008/08/080817223436.htm