Puluhan rumah liar di bawah tumpukan petikemas di lingkungan tanjung Perak berada dalam bahaya. Sewaktu-waktun tumpukan petikemas itu bisa jatuh menimpa pemukiman mereka. (Destyan Sujarwoko/SINDO)
Goncangan tanah mirip gempa disertai suara gemuruh mesin dan benturan besi kontainer menjadi sarapan tiap hari warga Prapatkurung Tegal, Kelurahan Perak Barat, Kecamatan Pabeancantikan, Surabaya, Jawa Timur.
Rumah mereka yang berada persis di bawah tumpukan peti kemas membuat pilihan hidup warga pendatang ini tidaklah banyak. Selain menyadari bahwa bisa tinggal di sekitar kompleks gudang penumpukan peti kemas di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak itu sudah untung-untungan. Maklum, tanah yang mereka tempati itu bukanlah milik sendiri, melainkan milik PT KAI yang berada di sepanjang jalur perlintasan kereta barang.
Jumlah warga pendatang yang bermukim di tanah kosong samping gudang penumpukan peti kemas itu cukup banyak. Mungkin di atas 100 kepala keluarga (KK).
Mereka membangun rumah semi permanen persis dibalik tembok gudang penumpukan peti kemas milik salah satu perusahaan jasa peti kemas di sana. Bentuknya sederhana, ukurannya juga tergolong sangat sempit.
Bila dilihat sekilas, tampak rumah-rumah atau lebih dikenal dengan istilah bedeng-bedeng ini sangatlah tidak aman. Bagaimana tidak, ukuran rumah mereka kalah tinggi dibanding tumpukan peti kemas yang berada persis di belakangnya.
Jika sampai tumpukan peti kemas itu roboh, bisa dibayangkan rumah-rumah renta ini akan langsung rata dengan tanah. Ancaman semacam itu bisa terjadi sewaktu-waktu mengingat aktivitas bongkar-pasang petikemas bisa dilakukan seaktu-waktu. Baik pagi, siang, sore, malam, atau bahkan dini hari sekalipun.
Gerakan kendaraan eskavator pengangkat petikemas maupun benturan antar kontainer raksasa saat bongkar-pasang tentu akan menjadi hiasan tersendiri bagi penduduk di sana.
"Jika (kegiatan) itu sedang berlangsung, biasanya sangat mengganggu. Apalagi bila aktivitas dilakukan malam hari waktu warga sedang tidur lelap. Goncangannya seperti gempa, suaranya seperti gemuruh. Sangat berisik dan menggangu," kata Utami (35), salah satu ibu rumah tangga.
Senada dengan Utami, sejumlah warga mengaku gempa lokal dan suara gemuruh itu sudah menjadi sarapan saban hari mereka. Masalahnya tak lain adalah dampak situasi tidak nyaman itu pada anak-anak.
Terutama yang masih usia sekolah. TK, SD, SMP maupun SMA. Meski terbiasa, suara ribut dan gempa lokal yang mengguncang rumah mereka membuat anak-anak ini sulit untuk konsentrasi belajar.
"Anak-anak biasanya memilih tidur dulu jika sedang ada aktivitas bongkar pasang petikemas dibelakang rumah. Atau kalau tidak ya nontonm teve atau belajar ke rumah teman-temannya," timpal Aminah, ibu pendatang asal Sampang, Madura menambahkan.
Yang paling membuat warga susah, tentu saja dampak 'gempa lokal' itu terhadap bangunan semi-permanen berikut isinya. Selain membuat konstruksi berantakan, benda perabot seperti piring, gelas dan kaca sering pecah karena jatuh usai kena getaran.
"Yang itu tidak seberapa. Disini, hampir semua peralatan elektronik tidak bisa tahan lama. Mau nonton teve saja televisi saja tidak bisa tenang karena gambarnya rusak kena getaran jika dan aktivitas dibelakang," kata Supriono, warga lain di lingkungan kumuh Prapatkurung Tegal sambil menunjukan VCD-nya yang rusak kena gempa lokal.