Berdasarkan laporan pers depdiknas (depdiknas.go.id) pada 12 April 2009, disebutkan bahwa Negara harus mengeluarkan Rp 376 milyar untuk penyelenggaran UN dan UASBN 2009. Angka itu belum ditambah dengan Ujian Paket A, B, dan C yang menghabiskan Rp 196 milyar.
Sehinggta total anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan Ujian skala Nasional adalah 572 miliar rupiah (setengah triliun).
Adapun rinciannya (Kepala Balitbang Depdiknas) adalah sebagai berikut:
- UASBN SD = Rp 56 milyar.
- UN SMP/MTS/SMPLB = Rp 200 milyar.
- UN SMA/MA/SMK = Rp120 milyar.
- Ujian Paket A,B, dan C = Rp 196 milyar.
Tujuan Ujian Nasional
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 68, pelaksanaan ujian nasional bermaksuda agar hasil UN dijadikan:
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Trend Standar Kelulusan
Secara pribadi, saya melihat bahwa pelaksanaan UN tidaklah jauh berbeda dengan pelaksanaan Ebtanas di era 90-an. Penyelenggaran UN yang diharapkan dapat meningkatkan mutu dan standar pendidikan Indonesia hingga saat ini masih dalam ‘merangkak’ bahkan dalam beberapa kasus mengalami kemunduran.
Sejak diberlakunya UU 23 tahun 2003, dan merujuk pada PP 19 tahun 2005, maka standar kelulusan (SKL) siswa pada UAN/UN dinaikkan secara bertahap, yakni
UAN 2003 : SKL >3.00
UAN 2004 : SKL >4.00
UAN 2005 : SKL >4.25
UAN 2006 : SKL >4.50
UAN 2007 : SKL >5.00
UN 2008 : SKL >5.25
UN 2009 : SKL >5.50
Meskipun standar kelulusan terus ditingkatkan, namun ternyata tingkat kelulusan juga tinggi [dan dalam beberapa tempat semakin tinggi]. Lalu, apakah dengan angka SKL dan kelulusan meningkat telah menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia telah meningkat???
Dapatkah sistem Ujian Nasional menjadi prestasi pemerintah [terutama SBY] dalam meningkat kualitas pendidikan dengan mengeluarkan ratusan miliaran rupiah???
Realitas di Lapangan
Yang pasti, siswa-siswi Indonesia akan merasa beban materi dan psikis terus bertambah. Dikala 2003-2006, jumlah mata pelajaran di uji 3 (Indonesia, Matematika, Inggris), saat ini telah ditambah lagi dengan materi-materi IPA atau IPS. Salah satu fenomena yang terjadi [fenomena 1] adalah siswa tertekan secara psikologis supaya lulus lalu ia bersemangat untuk belajar sungguh-sungguh untuk lulus.
Namun, karena sistem pendidikan di sekolah yang masih amburadul, maka fenomena yang terjadi sesungguhnya [fenomena 2] adalah secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik cenderung terbentuk watak ‘manusia instan’. Yang paling parah adalah banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, hanya ditentukan 3-6 hari Ujian.
Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN. [Mendidik/educate dan Mengajar/teach adalah dua istilah yang berbeda baik dari segi makna maupun falsafah]. Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah [menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua].
Dalam banyak kasus, siswa-siswi ‘memaksa’ orangtuanya agar mereka dimasukkan ke lembaga bimbingan belajar agar mereka lulus. Tidak tanggung-tanggung, orang tua harus rela mengeluarkan 1,5-3,0 juta untuk mendaftarkan anaknya ke bimbingan belajar. Hal ini tentu saja dimanfaatkan dengan baik oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Bayangkan saja, beberapa lembaga Bimbel ber-omzet hingga 200 miliar per tahun dengan merekrut 100.000 siswa SD, SMP, SMA per tahun. Promosi lembaga bimbel menjadi lebih ‘kincrong’ tatkala ditakuti dengan SKL.
Disisi lain, yakni pihak sekolahpun tidak jauh berbeda. Banyak sekolah yang membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [termasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi.
Fenomena kelulusan menjadi diskriminasi besar baik bagi sekolah maupun siswa antara kota dan desa. Sekolah-sekolah di kota cenderung memiliki fasilitas dan tenaga pendidik yang bagus-bagus. Hal ini berbeda dengan kondisi di daerah atau pedesaan. Tenaga pendidik yang terbatas dan ditambah fasilitas yang seadanya. Dengan logika sederhana:
Input A [siswa] –> Proses Plus [gedung +, buku+, pendidik+] –> Output A???
Input B [siswa] –> Proses Min. [gedung -, buku-, pendidik-] –> Output B???
Jika input memiliki kualitas sama [Input A=Input B], apakah output antara A dan B akan sama????
(tentu tidak)
Solusi
Sudah hampir 5 tahun UAN/UN berjalan, namun yang paling mendasar belum tersentuh oleh pemerintah. Pemerintah lebih senang melihat angka-angka di SKL yang terus naik, tapi lupa bahwa ada satu PR terbesar yang belum benar-benar tergarap.
Sehingga dalam hal ini saya lebih memberikan solusi mendasar bagi pemerintah yakni perbaikin dulu sistem ‘hulu pendidikan’, baru secara beriring masuk pada ‘hili r pendidikan’ yakni ujian nasioal yang bersih dan terarah [persiapan dan proses yang lebih merata]
Karena selama ini pemerintah masih sangat kurang memperhatikan peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap secara merata di seluruh pelosok negeri. [pemerintah harus mau berintropkesi diri, hmmm.....tidak bermaksud saya hanya mengkritik tanpa intropeksi]
Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% (lebih 200 triliun) pada APBN 2009, seharusnya pemerintah secara efektif mengalokasikan anggaran pada hal-hal fundamental dalam dunia pendidikan seperti perbaikan bangunan sekolah dan pembina kualitas guru yang merata seluruh Indonesia. [sehingga fair jika SKL UN berlaku umum].
Bangunan-bangunan sekolah terutama di daerah terpencil dan daerah sebenarnya tidak layak dipakai sebagai wadah proses belajar-mengajar.
Penutup
Demi meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik, seharusnya pemerintah saat ini memiliki program dan kebijakan yang “Jelas, Terarah, Mendasar, dan Transparan”. Dengan anggaran yang besar, sangat mungkin sekali terjadi korupsi [beberapa tahun silam Depag dan Depdiknas selalu memegang rekor departemen terkorup]. Untuk itu,pemeritah dan DPR perlu menciptakan suatu institusi yang dapat mengawasi penggunaan alokasi anggara terbesar ini.
Btw, karena UN sudah menjadi agenda tahunan, maka semua komponen masyarakat harus berani jujur mengoreksi pelaksanaan UN. Anggaran 572 miliar harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabilitas. Tidak terkecuali sekolah yang berlangganan dengan kunci soal. Biarlah apa adanya, jangan pihak sekolah mengajarkan hal-hal negatif. [btw, dulu ketika saya UAN, kepala sekolah termasuk kepsek menginstruksikan teman-teman yang lebih pintar untuk saling berbagi. demi meningkat nilai - citra sekolah... Dan saya juga dapat kebagian....Akibat...???]
** Dalam pers Depdiknas, disebut juga bahwa nilai UN akan menjadi patokan dasar seleksi perguruan tinggi. Hal ini masih sangat prematur jika diterapakkan pada saat ini. [saya tidak membahasnya karena sudah terlalu panjang]
Endrawan Ch
15 Januari 2009
Sumber Referensi:
PP 19 Tahun 2009
www.depdiknas.go.id