Video game bukan lagi permainan menarik bagi sejumlah bocah usia SD dan SMP yang sedang bermain malam itu di sebuah kawasan di selatan Surabaya. Anak-anak itu telah menemukan kepuasan dengan cara menyimpang, yakni berburu PSK (pekerja seks komersial) ke lokalisasi terselubung di Makam Kembang Kuning.
Ini sebuah gejala sosial yang patut dirisaukan karena sejumlah anak yang pernah "jajan" di Kembang Kuning itu terbukti mengidap penyakit menular seksual (PMS), di antaranya gonorhoe atau kencing nanah. Mereka juga sangat rentan sekali tertular virus HIV/AIDS. “Tidak sedikit anak-anak yang datang ke sini untuk meminta perawatan setelah mengidap PMS. Yang sering mereka keluhkan adalah keluarnya nanah dari alat kelamin. Mereka kencing nanah,” jelas Lilik Sulistyowati, Ketua Yayasan Abdi Asih Surabaya.
Yayasan tersebut selama ini aktif melakukan pendampingan dan konseling bagi PSK dan anak-anak penikmat PSK, termasuk yang berada di kawasan Kembang Kuning.
Vera (panggilan Lilik Sulistyowati) mencatat, selama sebulan tidak kurang dari tiga hingga sembilan bocah datang konseling atau meminta perawatan di tempatnya. ”Anak-anak ini umumnya tamatan SD atau seumuran SMP. Latar belakang keluarga mereka bervariasi, tapi kebanyakan dari masyarakat kelas bawah,” ujar perempuan bersahaja ini.
Selama beberapa hari terakhir, Surya telah melakukan pengamatan langsung terhadap kehidupan malam para bocah ingusan itu di Kembang Kuning. Kisah dan pemandangan yang kami temui begitu memprihatinkan.
Anak-anak usia belasan tahun tampak seperti sudah terbiasa bermain-main dengan dunia prostitusi ilegal di tengah malam di Kembang Kuning itu. Di sana tak cuma berkeliaran PSK perempuan tulen tapi juga waria. Singkatnya seperti pusat jajanan serba ada (pujasera).
Sabtu (7/6) pukul 23.00 itu, tiga bocah berusia 13 tahun terlihat asyik ngobrol sambil duduk-duduk di sebuah makam, tepatnya di samping warung kopi. Matanya celingukan layaknya intel yang mengintai sasaran. Beberapa saat kemudian, sosok yang menyerupai perempuan dengan daster panjang, kepala tertutup kerpus, dan memakai puluhan gelang mendekati mereka. Bocah yang memakai kaus abu-abu dan jins biru itu lalu mendekat dan berbincang cukup serius dengan sosok waria itu.
Tidak lama kemudian, bocah yang badannya paling jangkung ini mendekati dua rekannya. “Gelem ta (Mau) gratis?” katanya, dan dijawab gelengan kepala dua rekannya. Bocah jangkung itu sedang menawari kedua temannya untuk "main" dengan waria.
Bocah lainnya yang berkaus biru dan memakai topi coklat bergaris lalu berujar kepada Surya yang saat itu memang berada di antara mereka. “Sampean gelem ta (Kamu mau) Mas? Gak usah bayar. Iki aku arep ditawani tapi emoh, wonge elek (Ini saya ditawari tapi tidak mau, orangnya jelek),” katanya.
Tanpa curiga, bocah bertopi ini mengaku sengaja datang ke makam Kembang Kuning untuk memuaskan nafsunya. “Ingin menjajal Mas,” alasannya. Namun, sebelum bercerita banyak, temannya yang lain mengajaknya pergi. “Ayo, ke sana saja kita lihat dulu. Barangkali ada yang cantik,” katanya sambil ngeloyor.
Mata mereka terus celingukan ke bagian dalam kuburan. Setelah duduk-duduk santai di atas nisan, mereka memutuskan masuk ke dalam lokasi makam.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa mereka yang masuk ke dalam makam adalah untuk memuaskan nafsu birahinya. Umumnya anak-anak ini 'bermain' dengan para waria dengan cara oral seks. Beberapa di antara yang tidak berani memilih untuk melihat-lihat saja.
Hal ini diakui Berlin, salah seorang waria yang ditemui Surya di lokasi. Waria berparas cantik ini muncul dari lorong dalam makam dengan muka kusut mendekati waria lain yang berada di dalam warung. “Uh, capek deh. Berondong (anak laki-laki muda) nggak ada duitnya,” keluhnya.
Dengan cuek, Berlin bercerita tentang sensasi seksual yang sudah dilakoninya bersama beberapa bocah ingusan di dalam makam. “Tadi ada yang kulitnya bersih pakai sarung, lucu banget. Tapi ya gitu, masak yang main satu, yang nonton uakeh (banyak),” kata waria kelahiran 1971 ini.
Diakui Berlin, untuk anak-anak ingusan ini dia tidak memasang tarif khusus. Bahkan untuk bocah yang disukainya dia tidak meminta bayaran. Biasanya tarif yang dikenakan untuk anak-anak ingusan ini berkisar Rp 10.000 hingga Rp 20.000.
Selain berburu waria, beberapa di antara bocah-bocah ini juga berburu PSK perempuan tulen. Wati, PSK berusia 42 tahun ini, mengaku beberapa kali didatangi bocah yang mengaku SMP untuk memintanya berhubungan seksual. Sayangnya, Wati tidak bertanya dari mana dan kelas berapa bocah-bocah tersebut. “Main sama mereka cuma sebentar,” katanya enteng.
Karena masih anak-anak, sering kali tarif yang ditawarkan bocah-bocah ingusan ini murah. Bahkan, Wati pernah ditawar Rp 7.000. Wati mematok tarif Rp 15.000 hingga Rp 20.000 untuk sekali main berdurasi sekitar lima menit.
“Anak-anak ini bayarnya murah, tapi mintanya banyak. Pokoknya minta bonus,” kata Wati yang mengaku sudah punya cucu ini.
Purwanto, pemilik warung di lokasi makam, mengakui terganggu dengan keberadaan bocah-bocah ingusan itu. “Saya sempat melempari mereka, tapi kadang saya biarkan juga karena mereka kebanyakan anak nakal yang nekat. Saya takut juga,” kata Purwanto.
Untuk bisa mendeteksi para anak nakal ini bisa dilihat dari gelagatnya yang mondar-mandir di areal makam sambil celingukan. “Mereka itu mencari yang menawarinya,” kata warga Kupang Gunung ini. Diakuinya, bocah-bocah nakal itu kebanyakan dari luar daerah seperti Pandegiling atau Putat Jaya.
Sedangkan bocah-bocah dari kelurahan terdekat seperti Dukuh Kupang atau Kupang Gunung jarang terlihat di lokasi. “Mereka takut ketahuan orangtua atau tetangganya,” ucap Purwanto.
kompas
Ini sebuah gejala sosial yang patut dirisaukan karena sejumlah anak yang pernah "jajan" di Kembang Kuning itu terbukti mengidap penyakit menular seksual (PMS), di antaranya gonorhoe atau kencing nanah. Mereka juga sangat rentan sekali tertular virus HIV/AIDS. “Tidak sedikit anak-anak yang datang ke sini untuk meminta perawatan setelah mengidap PMS. Yang sering mereka keluhkan adalah keluarnya nanah dari alat kelamin. Mereka kencing nanah,” jelas Lilik Sulistyowati, Ketua Yayasan Abdi Asih Surabaya.
Yayasan tersebut selama ini aktif melakukan pendampingan dan konseling bagi PSK dan anak-anak penikmat PSK, termasuk yang berada di kawasan Kembang Kuning.
Vera (panggilan Lilik Sulistyowati) mencatat, selama sebulan tidak kurang dari tiga hingga sembilan bocah datang konseling atau meminta perawatan di tempatnya. ”Anak-anak ini umumnya tamatan SD atau seumuran SMP. Latar belakang keluarga mereka bervariasi, tapi kebanyakan dari masyarakat kelas bawah,” ujar perempuan bersahaja ini.
Selama beberapa hari terakhir, Surya telah melakukan pengamatan langsung terhadap kehidupan malam para bocah ingusan itu di Kembang Kuning. Kisah dan pemandangan yang kami temui begitu memprihatinkan.
Anak-anak usia belasan tahun tampak seperti sudah terbiasa bermain-main dengan dunia prostitusi ilegal di tengah malam di Kembang Kuning itu. Di sana tak cuma berkeliaran PSK perempuan tulen tapi juga waria. Singkatnya seperti pusat jajanan serba ada (pujasera).
Sabtu (7/6) pukul 23.00 itu, tiga bocah berusia 13 tahun terlihat asyik ngobrol sambil duduk-duduk di sebuah makam, tepatnya di samping warung kopi. Matanya celingukan layaknya intel yang mengintai sasaran. Beberapa saat kemudian, sosok yang menyerupai perempuan dengan daster panjang, kepala tertutup kerpus, dan memakai puluhan gelang mendekati mereka. Bocah yang memakai kaus abu-abu dan jins biru itu lalu mendekat dan berbincang cukup serius dengan sosok waria itu.
Tidak lama kemudian, bocah yang badannya paling jangkung ini mendekati dua rekannya. “Gelem ta (Mau) gratis?” katanya, dan dijawab gelengan kepala dua rekannya. Bocah jangkung itu sedang menawari kedua temannya untuk "main" dengan waria.
Bocah lainnya yang berkaus biru dan memakai topi coklat bergaris lalu berujar kepada Surya yang saat itu memang berada di antara mereka. “Sampean gelem ta (Kamu mau) Mas? Gak usah bayar. Iki aku arep ditawani tapi emoh, wonge elek (Ini saya ditawari tapi tidak mau, orangnya jelek),” katanya.
Tanpa curiga, bocah bertopi ini mengaku sengaja datang ke makam Kembang Kuning untuk memuaskan nafsunya. “Ingin menjajal Mas,” alasannya. Namun, sebelum bercerita banyak, temannya yang lain mengajaknya pergi. “Ayo, ke sana saja kita lihat dulu. Barangkali ada yang cantik,” katanya sambil ngeloyor.
Mata mereka terus celingukan ke bagian dalam kuburan. Setelah duduk-duduk santai di atas nisan, mereka memutuskan masuk ke dalam lokasi makam.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa mereka yang masuk ke dalam makam adalah untuk memuaskan nafsu birahinya. Umumnya anak-anak ini 'bermain' dengan para waria dengan cara oral seks. Beberapa di antara yang tidak berani memilih untuk melihat-lihat saja.
Hal ini diakui Berlin, salah seorang waria yang ditemui Surya di lokasi. Waria berparas cantik ini muncul dari lorong dalam makam dengan muka kusut mendekati waria lain yang berada di dalam warung. “Uh, capek deh. Berondong (anak laki-laki muda) nggak ada duitnya,” keluhnya.
Dengan cuek, Berlin bercerita tentang sensasi seksual yang sudah dilakoninya bersama beberapa bocah ingusan di dalam makam. “Tadi ada yang kulitnya bersih pakai sarung, lucu banget. Tapi ya gitu, masak yang main satu, yang nonton uakeh (banyak),” kata waria kelahiran 1971 ini.
Diakui Berlin, untuk anak-anak ingusan ini dia tidak memasang tarif khusus. Bahkan untuk bocah yang disukainya dia tidak meminta bayaran. Biasanya tarif yang dikenakan untuk anak-anak ingusan ini berkisar Rp 10.000 hingga Rp 20.000.
Selain berburu waria, beberapa di antara bocah-bocah ini juga berburu PSK perempuan tulen. Wati, PSK berusia 42 tahun ini, mengaku beberapa kali didatangi bocah yang mengaku SMP untuk memintanya berhubungan seksual. Sayangnya, Wati tidak bertanya dari mana dan kelas berapa bocah-bocah tersebut. “Main sama mereka cuma sebentar,” katanya enteng.
Karena masih anak-anak, sering kali tarif yang ditawarkan bocah-bocah ingusan ini murah. Bahkan, Wati pernah ditawar Rp 7.000. Wati mematok tarif Rp 15.000 hingga Rp 20.000 untuk sekali main berdurasi sekitar lima menit.
“Anak-anak ini bayarnya murah, tapi mintanya banyak. Pokoknya minta bonus,” kata Wati yang mengaku sudah punya cucu ini.
Purwanto, pemilik warung di lokasi makam, mengakui terganggu dengan keberadaan bocah-bocah ingusan itu. “Saya sempat melempari mereka, tapi kadang saya biarkan juga karena mereka kebanyakan anak nakal yang nekat. Saya takut juga,” kata Purwanto.
Untuk bisa mendeteksi para anak nakal ini bisa dilihat dari gelagatnya yang mondar-mandir di areal makam sambil celingukan. “Mereka itu mencari yang menawarinya,” kata warga Kupang Gunung ini. Diakuinya, bocah-bocah nakal itu kebanyakan dari luar daerah seperti Pandegiling atau Putat Jaya.
Sedangkan bocah-bocah dari kelurahan terdekat seperti Dukuh Kupang atau Kupang Gunung jarang terlihat di lokasi. “Mereka takut ketahuan orangtua atau tetangganya,” ucap Purwanto.
kompas