Sepertinya orang tua harus benar-benar melakukan pengawasan secara ketat terhadap anak remajanya. Bisa jadi, anak Anda termasuk dari 98 persen remaja memiliki foto dan gambar porno di ponsel atau tersimpan di dompet.
Karena itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyarankan agar anak usia SD-SLTP untuk tidak diberi ponsel, sedang untuk siswa SLTA boleh memiliki ponsel tapi tanpa fasilitas kamera.
Hal ini dikatakan Ketua KPAI Pusat Masnah Sari, SH kepada wartawan,
Rabu (25/2) usai memberikan sosialisasi UU Perlindungan Anak di Auditorium Pemprov Sumsel.
Menurutnya, KPAI pusat telah melakukan survei terhadap 2000 remaja di Sumsel dengan cara wawancara langsung, melalui angket di kabupaten/kota di Sumsel, sebagian besar samplenya berada di kota Palembang sebagai ibukota provinsi.
Ternyata hasilnya, sungguh mengejutkan karena 98 persen atau 1.960 anak ternyata memiliki foto porno di ponselnya, foto cetak yang disimpan di dompet, bahkan ada yang mengaku pernah membuka situs porno. Dari angka ini, 68 persen atau sekitar 1.332 anak remaja tergolong adiktif (kacanduan) membuka foto porno bahkan menyimpannya di fitur handphone mereka bahkan dengan rasa bangga telah menyimpannya.
Melihat fenomena ini, lanjut Masnah Sari, KPAI secara nasional telah mengirim surat kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk memberikan peraturan keras dan tegas kepada siswa SD-SMP agar dilarang membawa handphone dalam lingkungan sekolah. Imbauan ini juga agar secara serentak diikuti oleh orang tua murid untuk memberikan fasilitas handphone. Sedangkan untuk siswa SMA, KPAI masih memberikan toleransi. Hanya saja, handphone yang dimiliki tidak ada fitur kameranya. “Kalau ada, silakan pihak sekolah menertibkan bahkan menyitanya. Tapi sayang, sampai saat ini Departemen Diknas belum memberikan respon,” katanya.
Dalam era transformasi teknologi tinggi yang ditandai dengan kemajuan bidang komunikasi dan informasi saat ini, secara eksternal memberikan dampak buruk bagi perkembangan mental dan budi pekerti anak-anak.
Untuk tayangan televisi saja, KPAI menilai 90 persen merusak sikap dan mental anak-anak dengan kemasan melalui film kartun seperti serial komik Naruto dan Avatar The Legend Of Ang, sinetron dan tayangan lainnya. Hanya 10 persen yang tergolong baik.
Belum lagi jumlah anak jalanan yang angkanya mencapai 150.000 anak yang menjadi korban kekerasan anak-anak, pekerja anak-anak dan eksploitasi anak oleh orang dewasa dan partai politik.
“Penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi anak harus tegas. Anak dijadikan pengemis baik oleh orang tua sendiri maupun oleh jaringan pekerja anak di bawah umur,” katanya.
Diknas Mendukung
Terpisah Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Diknaspora) Palembang, Mirza Fansuri mengatakan, ia sengat mendukung apa yang menjadi rekomendasi KPIA. Hanya saja, di sisi lain rekomendasi tersebut tidak mengenalkan anak kepada teknologi. “Kalau berbicara soal moral dan budi pekerti anak, tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari tanggung jawab orangtua dan masyarakat,” katanya.
Untuk pelarangan pembawa ponsel di sekolah, sebagian sekolah sudah menerapkannya. Hanya saja, terkadang di anak sendiri menimbulkan persoalan. “Handphone mereka titipkan ke warung, kantin dan di luar sekolah. Begitu pulang, mereka ambil kembali. Jadi, remnya ada di orang tua,” katanya.
“Selaku aparatur negara, saya setuju dengan KPAI. Tapi tolong, perbaikan moral dan akhlak anak adalah tugas orang tua, sekolah dan masyarakat,” tambah Mirza Fansuri.
Karena itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyarankan agar anak usia SD-SLTP untuk tidak diberi ponsel, sedang untuk siswa SLTA boleh memiliki ponsel tapi tanpa fasilitas kamera.
Hal ini dikatakan Ketua KPAI Pusat Masnah Sari, SH kepada wartawan,
Rabu (25/2) usai memberikan sosialisasi UU Perlindungan Anak di Auditorium Pemprov Sumsel.
Menurutnya, KPAI pusat telah melakukan survei terhadap 2000 remaja di Sumsel dengan cara wawancara langsung, melalui angket di kabupaten/kota di Sumsel, sebagian besar samplenya berada di kota Palembang sebagai ibukota provinsi.
Ternyata hasilnya, sungguh mengejutkan karena 98 persen atau 1.960 anak ternyata memiliki foto porno di ponselnya, foto cetak yang disimpan di dompet, bahkan ada yang mengaku pernah membuka situs porno. Dari angka ini, 68 persen atau sekitar 1.332 anak remaja tergolong adiktif (kacanduan) membuka foto porno bahkan menyimpannya di fitur handphone mereka bahkan dengan rasa bangga telah menyimpannya.
Melihat fenomena ini, lanjut Masnah Sari, KPAI secara nasional telah mengirim surat kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk memberikan peraturan keras dan tegas kepada siswa SD-SMP agar dilarang membawa handphone dalam lingkungan sekolah. Imbauan ini juga agar secara serentak diikuti oleh orang tua murid untuk memberikan fasilitas handphone. Sedangkan untuk siswa SMA, KPAI masih memberikan toleransi. Hanya saja, handphone yang dimiliki tidak ada fitur kameranya. “Kalau ada, silakan pihak sekolah menertibkan bahkan menyitanya. Tapi sayang, sampai saat ini Departemen Diknas belum memberikan respon,” katanya.
Dalam era transformasi teknologi tinggi yang ditandai dengan kemajuan bidang komunikasi dan informasi saat ini, secara eksternal memberikan dampak buruk bagi perkembangan mental dan budi pekerti anak-anak.
Untuk tayangan televisi saja, KPAI menilai 90 persen merusak sikap dan mental anak-anak dengan kemasan melalui film kartun seperti serial komik Naruto dan Avatar The Legend Of Ang, sinetron dan tayangan lainnya. Hanya 10 persen yang tergolong baik.
Belum lagi jumlah anak jalanan yang angkanya mencapai 150.000 anak yang menjadi korban kekerasan anak-anak, pekerja anak-anak dan eksploitasi anak oleh orang dewasa dan partai politik.
“Penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi anak harus tegas. Anak dijadikan pengemis baik oleh orang tua sendiri maupun oleh jaringan pekerja anak di bawah umur,” katanya.
Diknas Mendukung
Terpisah Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Diknaspora) Palembang, Mirza Fansuri mengatakan, ia sengat mendukung apa yang menjadi rekomendasi KPIA. Hanya saja, di sisi lain rekomendasi tersebut tidak mengenalkan anak kepada teknologi. “Kalau berbicara soal moral dan budi pekerti anak, tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari tanggung jawab orangtua dan masyarakat,” katanya.
Untuk pelarangan pembawa ponsel di sekolah, sebagian sekolah sudah menerapkannya. Hanya saja, terkadang di anak sendiri menimbulkan persoalan. “Handphone mereka titipkan ke warung, kantin dan di luar sekolah. Begitu pulang, mereka ambil kembali. Jadi, remnya ada di orang tua,” katanya.
“Selaku aparatur negara, saya setuju dengan KPAI. Tapi tolong, perbaikan moral dan akhlak anak adalah tugas orang tua, sekolah dan masyarakat,” tambah Mirza Fansuri.