TAK bisa disangkal, sejak menemukan batu ajaib dan secara ‘resmi’ melakukan pengobatan alternatif, bocah Mohammad Ponari selalu kebanjiran pasien.
Lantas, berapa penghasilan Ponari dari puluhan ribu pasien yang datang itu? Sedikitnya telah mencapai Rp 328 juta. Informasi itu datang dari Senen, 70, kakek Ponari. Bahkan sekarang jumlah itu bisa lebih tingga lagi, karena menurut Senen, jumlah Rp 328 juta adalah yang diketahuinya pada Jumat (6/2).
“Saat itu saya yang menyetor uangnya bank,” kata Senen, saat ditemui Surya Senin (9/2).
Pengamatan Surya sendiri, jumlah sebesar itu memang sangat wajar. Sebab, sejak buka praktik 17 Januari lalu, rata-rata setiap hari Ponari mengobati 5.000 orang. Mereka datang dari berbagai penjuru.
Jika setiap pengunjung yang berobat itu memasukkan uang ke kotak amal yang disediakan rata-rata Rp 5.000 saja, maka sampai Jumat (6/2) lalu, yakni selama 20 hari pengobatan (setelah dikurangi libur setiap Jumat dan libur akibat penutupan sementara empat hari), akan terkumpul uang Rp 425 juta.
Senen sendiri mengaku tidak seluruh uang dari kotak amal yang dimasukkan ke bank, melainkan sebagian juga untuk kebutuhan operasional sehari-hari. Seperti sewa tenda, pengeras suara, makan minum panitia, dan sebagainya. “Kalau jumlah totalnya saya kurang tahu,” jelasnya.
Hitungan Surya, jumlah yang diterima Ponari lewat kotak amal jauh lebih tinggi lagi, karena banyak pengunjung memasukkan uang ke kotak amal lebih dari Rp 5.000.
Apalagi, banyak pengunjung yang membawa lebih dari satu wadah air putih, karena mereka dititipi kerabat dan tetangga, minta dicelup batu milik Ponari. Logikanya uang yang dimasukkan ke kotak amal lebih dari Rp 5000.
Memang, panitia selalu mengumumkan kotak amal disediakan untuk diisi secara sukarela, dan khusus bagi yang mampu. Jika tidak mampu, panitia juga tidak memaksa.
Pada awal-awal melakukan praktik pengobatan, Ponari memberikan persyaratan agar uang yang diberikan pasien tak lebih dari Rp 5.000. Tapi dalam perkembangannya, peluang pengunjung memberikan uang lebih dari Rp 5.000 itu terbuka lebar. Sebab, sekarang pengunjung memasukkan uang terbungkus amplop ke kotak
Selain dinikmati Ponari (dan keluarganya), ramainya pengobatan Ponari juga membawa rezeki bagi tetangga dan warga desa setempat. Untuk panitia, misalnya, mereka bisa mendapatkan hasil dari penjualan karcis, yang setiap karcisnya harus ditebus dengan Rp 1.000.
Awalnya, sistem karcis diterapkan untuk membatasi membludaknya pengunjung. Artinya, jika karcis yang terjual sudah sampai pada nomor urut 10.000, maka penjualan dihentikan.
Tapi dalam praktiknya, sampai nomor urut 15.000 pun tetap dilayani. Ini karena proses pengobatan memang berjalan sangat singkat, sehingga 15.000 orang pun bisa terlayani dalam sehari.
Proses pengobatan sendiri dengan cara Ponari membawa batu ajaib, digendong di punggung kerabat, kemudian berkeliling mencelupkan batu ke wadah-wadah berisi air putih yang dibawa pasien atau pengunjung. Setiap wadah rata-rata hanya perlu satu detik untuk menerima celupan batu milik Ponari.
Selain dari penjualan karcis, rezeki dari ramainya pengobatan dukun cilik itu juga datang dari usaha parkir sepeda motor dan mobil, yang sekarang ini bermunculan di desa setempat. Sejumlah usaha parkir yang dikelola kelompok-kelompok warga ini menarik ongkos parkir bervariasi, mulai Rp 3.000 hingga Rp 10.000.
Jika setiap hari ada 500 sepeda motor dan mobil yang masuk ke areal parkir yang dikelola warga saja, sudah tampak penghasilan yang lumayan besar. Belum lagi kalau kebetulan pasien membludak, seperti kemarin. Parkir mobil yang berderet saja mencapai sekitar dua kilometer.
Itu sebabnya, panitia pengobatan Ponari dan warga setempat bersedia saja ketika diminta partisipasinya melakukan pavingisasi atau pengerasan jalan-jalan kediaman rumah Ponari.