Seorang mempelai pria berseloroh tentang cara dia nanti menampar pasangan hidupnya. Ibu mempelai perempuan justru membenarkan hal itu sebagai cara mendidik yang memang perlu untuk kebaikan anaknya. Mempelai perempuan pun tampak terpersona dengan penjelasan calon suaminya, padahal sepanjang hidupnya dia akan ditampar setiap kali dianggap malas atau tidak patuh kepada kepala keluarga.
Adegan tersebut ada pada acara reality show di televisi Serbia berjudul 48-Hour Wedding, yang berisi tentang persiapan pasangan yang akan menikah. Bukan romantisme yang ditampilkan acara itu, melainkan hal lain yaitu kesewenang-wenangan pasangan hidup.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal yang sangat biasa di Serbia, dan survai LSM menyebutkan setiap satu dari tiga perempuan di kawasan itu adalah korban KDRT. Negara dengan budaya "macho" itu memang punya undang-undang yang ketat untuk KDRT, tapi hukumannya masih sangat longgar, ditambah lagi budaya patriaki yang masih tidak tergoyahkan.
"Menampar perempuan untuk orang Serbia bukanlah dianggap memukul. Orang masih menganggap sah jika ada suami terusik lalu menampar muka istrinya," kata Vesna Stanojevic dari LSM "Consultancy Against Domestic Violence" kepada media setempat.
Kaum laki-laki Serbia umumnya berpendapat bahwa takdir perempuan adalah tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Banyak laki-laki Serbia terguncang oleh kekalahan pada perang Balkan dasawarsa 90-an dan hancur semangatnya.
"Tentu saja memukul itu tidak boleh, tapi kalau menampar, kenapa tidak? Istri harus tahu diri," kata seorang sopir taksi, Pera. Dia menolak menyebutkan nama lengkapnya.
Vanja Macanovic dari LSM Autonomous Women's Centre di Beograd menilai kondisi tersebut karena lemahnya koordinasi antara lembaga pemerintahan, lambannya persidangan, dan ketakutan korban terhadap pelaku. LSM itu menyebut 78 persen kasus KDRT dilakukan oleh suami, mantan suami, ataupun pacar. Selama tahun 2007, data menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen pembunuhan berlatar belakang KDRT.
Pusat HAM Beograd menyebutkan bahwa para hakim Serbia seringkali justru menghakimi korban dan tidak menjauhkan pelaku dari rumah. Hakim juga jarang sekali mengeluarkan surat larangan mendekat dan hanya mengganjar pelaku dengan satu tahun masa percobaan atau denda.
Perempuan yang mengadu ke pengadilan justru akan berhadapan dengan prosedur yang memakan waktu berbulan-bulan, mempermalukan diri lewat keterangan kepada polisi, kepada di pengadilan maupun di hadapan pelaku yang beranggapan bahwa sang korbanlah yang cari gara-gara.Serbia saat ini hanya punya tiga rumah perlindungan bagi perempuan korban KDRT dan masih banyak yang menganggap pelakunya adalah "lelaki sejati".
okezone
Adegan tersebut ada pada acara reality show di televisi Serbia berjudul 48-Hour Wedding, yang berisi tentang persiapan pasangan yang akan menikah. Bukan romantisme yang ditampilkan acara itu, melainkan hal lain yaitu kesewenang-wenangan pasangan hidup.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal yang sangat biasa di Serbia, dan survai LSM menyebutkan setiap satu dari tiga perempuan di kawasan itu adalah korban KDRT. Negara dengan budaya "macho" itu memang punya undang-undang yang ketat untuk KDRT, tapi hukumannya masih sangat longgar, ditambah lagi budaya patriaki yang masih tidak tergoyahkan.
"Menampar perempuan untuk orang Serbia bukanlah dianggap memukul. Orang masih menganggap sah jika ada suami terusik lalu menampar muka istrinya," kata Vesna Stanojevic dari LSM "Consultancy Against Domestic Violence" kepada media setempat.
Kaum laki-laki Serbia umumnya berpendapat bahwa takdir perempuan adalah tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Banyak laki-laki Serbia terguncang oleh kekalahan pada perang Balkan dasawarsa 90-an dan hancur semangatnya.
"Tentu saja memukul itu tidak boleh, tapi kalau menampar, kenapa tidak? Istri harus tahu diri," kata seorang sopir taksi, Pera. Dia menolak menyebutkan nama lengkapnya.
Vanja Macanovic dari LSM Autonomous Women's Centre di Beograd menilai kondisi tersebut karena lemahnya koordinasi antara lembaga pemerintahan, lambannya persidangan, dan ketakutan korban terhadap pelaku. LSM itu menyebut 78 persen kasus KDRT dilakukan oleh suami, mantan suami, ataupun pacar. Selama tahun 2007, data menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen pembunuhan berlatar belakang KDRT.
Pusat HAM Beograd menyebutkan bahwa para hakim Serbia seringkali justru menghakimi korban dan tidak menjauhkan pelaku dari rumah. Hakim juga jarang sekali mengeluarkan surat larangan mendekat dan hanya mengganjar pelaku dengan satu tahun masa percobaan atau denda.
Perempuan yang mengadu ke pengadilan justru akan berhadapan dengan prosedur yang memakan waktu berbulan-bulan, mempermalukan diri lewat keterangan kepada polisi, kepada di pengadilan maupun di hadapan pelaku yang beranggapan bahwa sang korbanlah yang cari gara-gara.Serbia saat ini hanya punya tiga rumah perlindungan bagi perempuan korban KDRT dan masih banyak yang menganggap pelakunya adalah "lelaki sejati".
okezone