Tak mudah memang mewajibkan para pekerja seks komersial menggunakan kondom. Pelanggan atau lelaki hidung belang merasa tidak nikmat bila menggunakannya.
Rediscoveri Nitta, Manajer Program Penanggulangan AIDS pada kelompok Berisiko Tinggi Yayasan Kusuma Buana sudah membekali para PSK ilmu rayuan, "Mas, make kondom itu enak, tidak terasa kok. Pokoknya saya pakein. Saya pakekin pake mulut ya...!"
Sayang, upaya ini masih bisa dibilang gagal. Para pelanggan lelaki kerap enggan memakai kondom bila diminta. Para hidung belang berkilah bahwa, memakai kondom, kenikmatannya kurang. "Enak saja, orang sudah bayar kok tidak bersentuhan langsung," tutur Nitta meniru kata-kata para hidung belang.
Akibatnya, sudah bisa ditebak, para PSK-lah yang menjadi korban. Saat ini, di Jakarta Barat ada sekitar 350.000 pelanggan dengan 13.600 PSK. "Kira-kira 10 persen dari PSK tersebut terkena infeksi menular seksual (IMS)," kata Nitta.
Karena itu, menurut Nitta, pengawasan terhadap penggunaan kondom mesti dilakukan secara ketat dan serius. Dari sisi regulasi, kata Nitta, sudah ada yang mengatur seperti dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang mengatakan bahwa di tempat hiburan wajib disediakan alat pencegahan, walau tidak eksplisit menyebut kondom.
Namun sayang, kontrol di lapangan sangat lemah. Ada tempat hiburan yang membiarkan pelanggannya tidak memakai kondom, tetapi tidak diambil tindakan. Demikian diungkapkan Nitta. Kontrol yang lemah dari pusat mengimbas pada tingkat bawah, yaitu tempat-tempat hiburan.
Sebenarnya, di antara para pengelola hiburan sudah ada kesepakatan untuk mewajibkan para pelanggan memakai kondom. Jika tidak, maka mereka tidak diterima di tempat tersebut. "Tapi, dalam perjalanan ini juga tidak jalan," sesal Nitta.
Alasannya adalah soal ekonomi. Dimulai dengan beberapa tempat hiburan yang menerima tamu tanpa kondom karena tuntutan ekonomi, lalu diikuti tempat hiburan lain karena takut ditinggalkan pelanggannya. "Memang sulit, tetapi ini mesti terus kita perjuangkan," tekad Nitta.
"Sekarang ini kuncinya ada pada laki-laki dan tempat hiburan," tegas Nitta. Ia mengakui, laki-laki sangat sulit untuk dijangkau. Kalau untuk PSK-nya sudah mereka beri masukan serta edukasi dan mereka bisa mengerti. Sekalipun demikian, usaha-usaha edukasi untuk para laki-laki terus dilakuan.
"Kami adakan Pojok Informasi di tempat-tempat berisiko tinggi, seperti terminal, stasiun, pangkalan-pangkalan truk, daerah perdagangan seperti Glodok. Kalau di perusahaan, kami memilih tempat yang karyawannya didominasi laki-laki dengan mobilitas tinggi serta banyak uang, seperti perusahaan gas dan minyak, manufaktur, dan pelabuhan," kata Nitta. Harapannya, penyebaran HIV/AIDS dapat ditekan dengan kesadaran menggunakan kondom.
Rediscoveri Nitta, Manajer Program Penanggulangan AIDS pada kelompok Berisiko Tinggi Yayasan Kusuma Buana sudah membekali para PSK ilmu rayuan, "Mas, make kondom itu enak, tidak terasa kok. Pokoknya saya pakein. Saya pakekin pake mulut ya...!"
Sayang, upaya ini masih bisa dibilang gagal. Para pelanggan lelaki kerap enggan memakai kondom bila diminta. Para hidung belang berkilah bahwa, memakai kondom, kenikmatannya kurang. "Enak saja, orang sudah bayar kok tidak bersentuhan langsung," tutur Nitta meniru kata-kata para hidung belang.
Akibatnya, sudah bisa ditebak, para PSK-lah yang menjadi korban. Saat ini, di Jakarta Barat ada sekitar 350.000 pelanggan dengan 13.600 PSK. "Kira-kira 10 persen dari PSK tersebut terkena infeksi menular seksual (IMS)," kata Nitta.
Karena itu, menurut Nitta, pengawasan terhadap penggunaan kondom mesti dilakukan secara ketat dan serius. Dari sisi regulasi, kata Nitta, sudah ada yang mengatur seperti dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang mengatakan bahwa di tempat hiburan wajib disediakan alat pencegahan, walau tidak eksplisit menyebut kondom.
Namun sayang, kontrol di lapangan sangat lemah. Ada tempat hiburan yang membiarkan pelanggannya tidak memakai kondom, tetapi tidak diambil tindakan. Demikian diungkapkan Nitta. Kontrol yang lemah dari pusat mengimbas pada tingkat bawah, yaitu tempat-tempat hiburan.
Sebenarnya, di antara para pengelola hiburan sudah ada kesepakatan untuk mewajibkan para pelanggan memakai kondom. Jika tidak, maka mereka tidak diterima di tempat tersebut. "Tapi, dalam perjalanan ini juga tidak jalan," sesal Nitta.
Alasannya adalah soal ekonomi. Dimulai dengan beberapa tempat hiburan yang menerima tamu tanpa kondom karena tuntutan ekonomi, lalu diikuti tempat hiburan lain karena takut ditinggalkan pelanggannya. "Memang sulit, tetapi ini mesti terus kita perjuangkan," tekad Nitta.
"Sekarang ini kuncinya ada pada laki-laki dan tempat hiburan," tegas Nitta. Ia mengakui, laki-laki sangat sulit untuk dijangkau. Kalau untuk PSK-nya sudah mereka beri masukan serta edukasi dan mereka bisa mengerti. Sekalipun demikian, usaha-usaha edukasi untuk para laki-laki terus dilakuan.
"Kami adakan Pojok Informasi di tempat-tempat berisiko tinggi, seperti terminal, stasiun, pangkalan-pangkalan truk, daerah perdagangan seperti Glodok. Kalau di perusahaan, kami memilih tempat yang karyawannya didominasi laki-laki dengan mobilitas tinggi serta banyak uang, seperti perusahaan gas dan minyak, manufaktur, dan pelabuhan," kata Nitta. Harapannya, penyebaran HIV/AIDS dapat ditekan dengan kesadaran menggunakan kondom.