DEBUT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat acungan jempol ketika berani menahan Aulia Pohan (besan SBY), meski diinapkan di penjara Brimob yang tertutup bagi umum. Sayangnya, ketika mau menyeret Anggodo dan skandal Bank Century, pimpinan KPK dikriminalkan. Demikian juga begitu Ketua KPK Antasari Azhar saat itu yang menginginkan para koruptor di berbagai lembaga negara di pusat dan daerah-daerah diusut tuntas, membuat para penguasa menjadi gerah. Pasalnya, mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan korupsi berjamaah terselubung secara mulus.
Antasari juga berani menyeret para jaksa “nakal” seperti jaksa Urip Tri Gunawan yang disuap Artalyta Suryani (Ayin). Untuk itulah, diduga ada konspirasi seperti pergolakan “Cicak vs Buaya” dan juga rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Maka, tak heran jika Antasari Azhar dituntut hukuman mati sebagai shock teraphy bagi para pemberantas korupsi KPK agar tidak menyeret para penguasa di negeri ini. Ingat! KPK dibentuk saat Megawati jadi Presiden. Tuntutan jaksa untuk Antasari dihukum mati diduga ada pesanan dari “bos” atasan jaksa, dengan mengabaikan pendapat para pakar hukum.
Bumi sudah terbalik, kebenaran dan kejujuran semakin langka. Rezim penguasa bertindak sesuka hatinya dalam menikmati kue kekuasaan tanpa pernah merasakan orgasme. Akibatnya, dengan semudah mungkin melakukan pembobolan uang rakyat Rp 6,7 triliun dengan berdalih untuk “penyelamatan” Bank ‘abal-abal’ Century sebagai bank kecil yang berpenyakitan. Anehnya lagi, uang yang digunakan untuk kepentingan kelompok tersebut diaku sebagai peruntukan keuntungan terhadap negara.
Belakangan, rezim penguasa malah mempermasalahkan kewenangan penyadapan oleh KPK sebagai lembaga super body. Melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), rezim penguasa merancang peraturan yang mengharuskan KPK lapor dulu kepada “pihak penguasa” apabila akan melakukan penyadapan terhadap para terduga koruptor. Sikap penguasa ini menjadi aneh, sehingga mendapat protes dari berbagai kalangan aktivis anti korupsi. Pasalnya, jika harus izin dulu untuk menyadap koruptor, maka si "Maling" itu keburu kabur. Terlebih lagi kalau yang disadap itu ternyata adalah kebetulan pihak yang dimintai izin penyadapan oleh KPK. Aneh negeri ini?!
Inilah bentuk intervensi penguasa politik di negeri ini terhadap lembaga hukum. Politik bisa mengatur sesuka hati terhadap penegakan hukum di negeri ini. Jauh sekali misalnya dengan Amerika, bahwa Jaksa Agung bisa menyeret Presiden jika melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran lainnya. Nampaknya, lain lubuk lain belalang. Di negara ini, bilamana penguasa paranoid, akan seenaknya mengatur proses hukum. Yang benar bisa disalahkan, yang salah bisa dibenarkan asalkan loyal kepada rezim penguasa.
Bahkan, untuk mengakali Undang-undang sekarang ini rezim penguasa “keranjingan” dengan bikin Perppu (Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang). Kita khawatir, jangan sampai Perppu hanya untuk melanggar peraturan perundangan di atasnya dan menjadi alat ampuh untuk digunakan sebagai pembenaman kekeliruan dan kesalahan, ditambah lagi dengan kebohongan, fitnah dan penciptaan konflik yang disengaja.
Memang, masyarakat bangsa ini harus segera membuka mata dan belajar dari pengalaman. Pilihlah pemimpin yang jujur, jangan memilih pemimpin karena gelar dan popularitas, terlebih lagi karena imbalan kucuran uang (money politics). Almarhum Gus Dur pernah bilang, banyak profesor dan doktor yang jadi “maling”. Maka, syarat utama jadi pemimpin adalah jujur. Jangan lihat titel atau gelar yang ditempel pada calon yang dipilih. Soal kepintaran, bisa menunjuk para pembantunya yang alih di bidangnya masing-masing.
Kini, kembali menyoal pengusutan tuntas skandal Bank Century, beranikah KPK membongkarnya? Ingat, Plt KPK Tumpak Hatorangan dulu dipilih menjadi anggota KPK di saat SBY berkuasa, terlebih saat itu Ketua KPK adalah Taufiqurraman Ruki yang juga tim suksesnya SBY. Terlebih lagi, Wakil Ketua KPK Bibit dan Chandra sebelum diaktifkan lagi menjadi pimpinan KPK, sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Presiden SBY. Entah ada deal atau tidak dalam pertemuan tertutup di Istana tersebut, tinggal tunggu saja apakah keduanya berani mengungkap kasus Century atau takut akan dikriminalisasi lagi seperti halnya Antasari?
Maklum, sedikit sekali bahkan bisa dihitung dengan jari manusia Indonesia yang rela meninggalkan jabatan untuk berjuang demi kebenaran dan keadilan seperti aktivis “kawakan” Sri Bintang Pamungkas. Tokoh militan ini sudah berani membuat buku berjudul “Saya Musuh Politik Soeharto” di saat penguasa Orde Baru itu masih hidup dan berkuasa serta ditakuti oleh seluruh orang termasuk mereka di parpol yang sekarang ini seolah-olah berani vokal. Akibatnya, Sri Bintang harus dicopot dari jabatan Ketua Jurusan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) dan terpental dari profesinya sebagai konsultan PT Summa Internasional, selain juga harus dicopot dari jabatannya sebagai anggota DPR RI lewat PPP.
Maka, beranikah Tumpak, Bibit, Chandra, Haryono dan Jasin meniru sikap Sri Bintang yang heroik? Nampaknya, mustahil. Asal saja, jangan ada pejabat hukum negara yang ‘duduk manis’ yang penting menanti harapan mendapat kursi kabinet di saat ada reshuffle nanti atau jabatan komisaris di BUMN. Namun, kita masih yakin KPK akan mampu mengusut tuntas kasus Century yang sebenarnya. Terlebih lagi, jika ada tekanan massa mahasiswa dan demo dari kalangan aktivis/LSM. Apakah KPK perlu didemo setiap hari agar tidak “meleng” dalam menyelidiki dan menyidik skandal Bank Century?
Yang jelas, kalau KPK tidak berani mengusut kebobrokan kasus Century, berarti lembaga ini sudah kehilangan nilai kebangsaannya. Dan, tidak ada artinya perjuangan rakyat kemarin yang membela Bibit-Chandra dibebaskan dari cengkeraman penguasa. Terlebih lagi, KPK bisa dituding sudah berniat melindungi/berkolusi para mafia kasus. Barang siapa diam saja apabila mengetahui suatu perbuatan kejahatan maka dia sebenarnya ikut berbuat dosa, apalagi dia memiliki kewenangan tetapi tidak mau berbuat, maka tunggulah adzab di neraka!
Antasari juga berani menyeret para jaksa “nakal” seperti jaksa Urip Tri Gunawan yang disuap Artalyta Suryani (Ayin). Untuk itulah, diduga ada konspirasi seperti pergolakan “Cicak vs Buaya” dan juga rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Maka, tak heran jika Antasari Azhar dituntut hukuman mati sebagai shock teraphy bagi para pemberantas korupsi KPK agar tidak menyeret para penguasa di negeri ini. Ingat! KPK dibentuk saat Megawati jadi Presiden. Tuntutan jaksa untuk Antasari dihukum mati diduga ada pesanan dari “bos” atasan jaksa, dengan mengabaikan pendapat para pakar hukum.
Bumi sudah terbalik, kebenaran dan kejujuran semakin langka. Rezim penguasa bertindak sesuka hatinya dalam menikmati kue kekuasaan tanpa pernah merasakan orgasme. Akibatnya, dengan semudah mungkin melakukan pembobolan uang rakyat Rp 6,7 triliun dengan berdalih untuk “penyelamatan” Bank ‘abal-abal’ Century sebagai bank kecil yang berpenyakitan. Anehnya lagi, uang yang digunakan untuk kepentingan kelompok tersebut diaku sebagai peruntukan keuntungan terhadap negara.
Belakangan, rezim penguasa malah mempermasalahkan kewenangan penyadapan oleh KPK sebagai lembaga super body. Melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), rezim penguasa merancang peraturan yang mengharuskan KPK lapor dulu kepada “pihak penguasa” apabila akan melakukan penyadapan terhadap para terduga koruptor. Sikap penguasa ini menjadi aneh, sehingga mendapat protes dari berbagai kalangan aktivis anti korupsi. Pasalnya, jika harus izin dulu untuk menyadap koruptor, maka si "Maling" itu keburu kabur. Terlebih lagi kalau yang disadap itu ternyata adalah kebetulan pihak yang dimintai izin penyadapan oleh KPK. Aneh negeri ini?!
Inilah bentuk intervensi penguasa politik di negeri ini terhadap lembaga hukum. Politik bisa mengatur sesuka hati terhadap penegakan hukum di negeri ini. Jauh sekali misalnya dengan Amerika, bahwa Jaksa Agung bisa menyeret Presiden jika melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran lainnya. Nampaknya, lain lubuk lain belalang. Di negara ini, bilamana penguasa paranoid, akan seenaknya mengatur proses hukum. Yang benar bisa disalahkan, yang salah bisa dibenarkan asalkan loyal kepada rezim penguasa.
Bahkan, untuk mengakali Undang-undang sekarang ini rezim penguasa “keranjingan” dengan bikin Perppu (Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang). Kita khawatir, jangan sampai Perppu hanya untuk melanggar peraturan perundangan di atasnya dan menjadi alat ampuh untuk digunakan sebagai pembenaman kekeliruan dan kesalahan, ditambah lagi dengan kebohongan, fitnah dan penciptaan konflik yang disengaja.
Memang, masyarakat bangsa ini harus segera membuka mata dan belajar dari pengalaman. Pilihlah pemimpin yang jujur, jangan memilih pemimpin karena gelar dan popularitas, terlebih lagi karena imbalan kucuran uang (money politics). Almarhum Gus Dur pernah bilang, banyak profesor dan doktor yang jadi “maling”. Maka, syarat utama jadi pemimpin adalah jujur. Jangan lihat titel atau gelar yang ditempel pada calon yang dipilih. Soal kepintaran, bisa menunjuk para pembantunya yang alih di bidangnya masing-masing.
Kini, kembali menyoal pengusutan tuntas skandal Bank Century, beranikah KPK membongkarnya? Ingat, Plt KPK Tumpak Hatorangan dulu dipilih menjadi anggota KPK di saat SBY berkuasa, terlebih saat itu Ketua KPK adalah Taufiqurraman Ruki yang juga tim suksesnya SBY. Terlebih lagi, Wakil Ketua KPK Bibit dan Chandra sebelum diaktifkan lagi menjadi pimpinan KPK, sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Presiden SBY. Entah ada deal atau tidak dalam pertemuan tertutup di Istana tersebut, tinggal tunggu saja apakah keduanya berani mengungkap kasus Century atau takut akan dikriminalisasi lagi seperti halnya Antasari?
Maklum, sedikit sekali bahkan bisa dihitung dengan jari manusia Indonesia yang rela meninggalkan jabatan untuk berjuang demi kebenaran dan keadilan seperti aktivis “kawakan” Sri Bintang Pamungkas. Tokoh militan ini sudah berani membuat buku berjudul “Saya Musuh Politik Soeharto” di saat penguasa Orde Baru itu masih hidup dan berkuasa serta ditakuti oleh seluruh orang termasuk mereka di parpol yang sekarang ini seolah-olah berani vokal. Akibatnya, Sri Bintang harus dicopot dari jabatan Ketua Jurusan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) dan terpental dari profesinya sebagai konsultan PT Summa Internasional, selain juga harus dicopot dari jabatannya sebagai anggota DPR RI lewat PPP.
Maka, beranikah Tumpak, Bibit, Chandra, Haryono dan Jasin meniru sikap Sri Bintang yang heroik? Nampaknya, mustahil. Asal saja, jangan ada pejabat hukum negara yang ‘duduk manis’ yang penting menanti harapan mendapat kursi kabinet di saat ada reshuffle nanti atau jabatan komisaris di BUMN. Namun, kita masih yakin KPK akan mampu mengusut tuntas kasus Century yang sebenarnya. Terlebih lagi, jika ada tekanan massa mahasiswa dan demo dari kalangan aktivis/LSM. Apakah KPK perlu didemo setiap hari agar tidak “meleng” dalam menyelidiki dan menyidik skandal Bank Century?
Yang jelas, kalau KPK tidak berani mengusut kebobrokan kasus Century, berarti lembaga ini sudah kehilangan nilai kebangsaannya. Dan, tidak ada artinya perjuangan rakyat kemarin yang membela Bibit-Chandra dibebaskan dari cengkeraman penguasa. Terlebih lagi, KPK bisa dituding sudah berniat melindungi/berkolusi para mafia kasus. Barang siapa diam saja apabila mengetahui suatu perbuatan kejahatan maka dia sebenarnya ikut berbuat dosa, apalagi dia memiliki kewenangan tetapi tidak mau berbuat, maka tunggulah adzab di neraka!