Sejak awal Januari 2010, aparat Dinas Pendapatan Pekanbaru semakin gencar menyatroni warung-warung kecil di seluruh wilayah Kota Bertuah itu untuk mengutip pajak 10 persen dari setiap nasi bungkus. Pemko Pekanbaru tidak membuat pengecualian, pokoknya seluruh warung, besar atau gurem, diwajibkan membayar pajak demi menutupi defisit anggaran daerah.
Pemungutan pajak yang terang-terangan memberatkan rakyat kecil itu merupakan pengembangan atas Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pajak Rumah Makan dan Restoran.
Pemungutan pajak ditetapkan berdasarkan omset pedagang setiap bulan. Kepala Pendapatan Daerah Pekanbaru, Sofyan pada sejumlah media lokal di Pekanbaru menyatakan, pembelakuan pajak nasi bungkus itu dimaksudkan untuk mengurangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2010 yang diperkirakan sebesar Rp 21 miliar.
Pemberlakuan pajak nasi bungkus itu langsung ditanggapi keras oleh Asosiasi Rumah Makan dan Minuman Riau (Asamari). Menurut Ketua Asamari, Yasni yang dihubungi hari Senin (11/1/2010) , pihaknya sangat berkeberatan dengan ketentuan pajak yang menyamaratakan rumah makan besar dan kecil.
“Semestinya ada klasifikasi terhadap pedagang sesuai dengan kemampuan warungnya. Untuk warung kecil, semestinya mereka tidak dikenakan pajak, karena yang membeli makanan di sana adalah orang-orang kecil. Pajak nasi bungkus itu hanya akan memberatkan masyarakat ekonomi menengah ke bawah,” ujar Yasni.
Yasni mengatakan, pihaknya sudah mencoba menyampaikan keberatan kepada Pemko Pekanbaru. Hanya saja, niat itu tidak ditanggapi.
Secara terpisah, Nazaruddin, penduduk Pekanbaru mengatakan, tindakan Pemko Pekanbaru menerapkan pajak untuk warung kecil merupakan tindakan tidak kurang tepat pada waktu yang tidak tepat. Tidak semestinya, daerah yang berjuluk Kota Minyak itu memperberat rakyat kecil untuk menutupi defisit anggaran pada APBD-nya.
“Masih banyak cara lain untuk menutupi defisit anggaran. Coba Pemko buat penghematan atau mengurangi bonus untuk PNS pasti defisit itu tertutupi, bukan malah membuat orang susah bertambah susah,” ujar Nazaruddin. kompas
Pemungutan pajak yang terang-terangan memberatkan rakyat kecil itu merupakan pengembangan atas Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pajak Rumah Makan dan Restoran.
Pemungutan pajak ditetapkan berdasarkan omset pedagang setiap bulan. Kepala Pendapatan Daerah Pekanbaru, Sofyan pada sejumlah media lokal di Pekanbaru menyatakan, pembelakuan pajak nasi bungkus itu dimaksudkan untuk mengurangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2010 yang diperkirakan sebesar Rp 21 miliar.
Pemberlakuan pajak nasi bungkus itu langsung ditanggapi keras oleh Asosiasi Rumah Makan dan Minuman Riau (Asamari). Menurut Ketua Asamari, Yasni yang dihubungi hari Senin (11/1/2010) , pihaknya sangat berkeberatan dengan ketentuan pajak yang menyamaratakan rumah makan besar dan kecil.
“Semestinya ada klasifikasi terhadap pedagang sesuai dengan kemampuan warungnya. Untuk warung kecil, semestinya mereka tidak dikenakan pajak, karena yang membeli makanan di sana adalah orang-orang kecil. Pajak nasi bungkus itu hanya akan memberatkan masyarakat ekonomi menengah ke bawah,” ujar Yasni.
Yasni mengatakan, pihaknya sudah mencoba menyampaikan keberatan kepada Pemko Pekanbaru. Hanya saja, niat itu tidak ditanggapi.
Secara terpisah, Nazaruddin, penduduk Pekanbaru mengatakan, tindakan Pemko Pekanbaru menerapkan pajak untuk warung kecil merupakan tindakan tidak kurang tepat pada waktu yang tidak tepat. Tidak semestinya, daerah yang berjuluk Kota Minyak itu memperberat rakyat kecil untuk menutupi defisit anggaran pada APBD-nya.
“Masih banyak cara lain untuk menutupi defisit anggaran. Coba Pemko buat penghematan atau mengurangi bonus untuk PNS pasti defisit itu tertutupi, bukan malah membuat orang susah bertambah susah,” ujar Nazaruddin. kompas