Para bankir mengakui, semakin banyak dana masyarakat yang tak berhak ikut dalam program penjaminan. Ada dua penyebab mengapa dana masyarakat tak bisa mengikuti program penjaminan yang digelar Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Penyebab pertama, nilai simpanan per rekening mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Penyebab kedua, simpanan tersebut mendapatkan imbalan bunga lebih tinggi dibandingkan bunga simpanan wajar yang ditentukan LPS.
Seberapa banyak dana yang tidak masuk program penjaminan karena alasan pertama bisa kita lihat dari data LPS per akhir 2008. Nilai total kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp 2 miliar adalah Rp 955,11 triliun. Jika total dana masyarakat di perbankan mencapai Rp 1.768,72 triliun, berarti dana yang tak berhak mengikuti penjaminan karena punya saldo di atas Rp 2 miliar sebesar Rp 813,61 triliun.
Direktur Ritel Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan, hanya sekitar 1-2 persen dari total rekening deposito di Bank Mega yang bernilai di atas Rp 2 miliar. Tapi, deposito kakap ini memang mendominasi porsi deposito. "Mereka memilih dengan sadar konsekuensi tidak dijamin oleh LPS," imbuh Kostaman.
Bank punya risiko
Namun, sulit menghitung seberapa besar dana masyarakat di bank yang tak ikut program penjaminan karena mendapatkan bunga lebih tinggi dari bunga LPS. Keberadaan dana semacam ini hanya terungkap dari keterangan para pengelola bank.
Wakil Direktur Utama PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) Sukatmo Padmosukarso mengakui, 80 persen deposito di banknya memiliki nilai nominal tak lebih dari Rp 2 miliar. Tapi, dari 80 persen total deposito tersebut, sebanyak 60 persen tidak masuk dalam program penjaminan karena memberi bunga di atas bunga LPS.
Kostaman maupun Sukatmo yakin para nasabah sudah mengetahui simpanan mereka tak dijamin LPS. "Itu terserah nasabah bila tidak mau menggunakan bunga LPS. Nasabah yang mendapat bunga di atas bunga LPS jelas tahu kalau uangnya tidak dijamin oleh LPS," tandas Sukatmo.
Merujuk kondisi ekonomi yang tak menentu, para bankir pernah mendesak agar LPS menaikkan saldo simpanan yang berhak masuk program penjaminan. "Sudah terlambat jika baru dinaikkan sekarang. Seharusnya peningkatan dilakukan September lalu ketika bank di seluruh dunia melakukannya," ujar Kostaman.
Jika saat itu LPS menaikkan nilai dana yang masuk program penjaminan, bank-bank tidak perlu memasang bunga tinggi seperti sekarang. Mereka pun bakal lebih fleksibel mengikuti penurunan BI Rate dan bunga LPS.
Jadi, biaya dana yang ditanggung bank tidak akan seberat sekarang. Bila LPS menaikkan nilai penjaminan sekarang, pengaruhnya tidak akan signifikan lagi.
Akan tetapi, menurut ekonom Standard Chartered Bank Indonesia Eric A Sugandi, sudah saatnya bank menghitung ulang untung rugi mengiming-iming bunga tinggi ke nasabah. Bankir harus mewaspadai risiko likuiditas macet akibat tidak mampu membayar beban bunga itu. "Jangan sampai maksud hati menjaga likuiditas, di sisi lain likuiditas justru terancam," ujarnya.
Ia menambahkan, bank juga harus mengantisipasi kondisi itu dengan memarkir DPK di instrumen yang aman sekaligus memberi hasil tinggi. (Ade Jun Firdaus, Dian Pitaloka Saraswati/Kontan)
Penyebab pertama, nilai simpanan per rekening mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Penyebab kedua, simpanan tersebut mendapatkan imbalan bunga lebih tinggi dibandingkan bunga simpanan wajar yang ditentukan LPS.
Seberapa banyak dana yang tidak masuk program penjaminan karena alasan pertama bisa kita lihat dari data LPS per akhir 2008. Nilai total kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp 2 miliar adalah Rp 955,11 triliun. Jika total dana masyarakat di perbankan mencapai Rp 1.768,72 triliun, berarti dana yang tak berhak mengikuti penjaminan karena punya saldo di atas Rp 2 miliar sebesar Rp 813,61 triliun.
Direktur Ritel Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan, hanya sekitar 1-2 persen dari total rekening deposito di Bank Mega yang bernilai di atas Rp 2 miliar. Tapi, deposito kakap ini memang mendominasi porsi deposito. "Mereka memilih dengan sadar konsekuensi tidak dijamin oleh LPS," imbuh Kostaman.
Bank punya risiko
Namun, sulit menghitung seberapa besar dana masyarakat di bank yang tak ikut program penjaminan karena mendapatkan bunga lebih tinggi dari bunga LPS. Keberadaan dana semacam ini hanya terungkap dari keterangan para pengelola bank.
Wakil Direktur Utama PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) Sukatmo Padmosukarso mengakui, 80 persen deposito di banknya memiliki nilai nominal tak lebih dari Rp 2 miliar. Tapi, dari 80 persen total deposito tersebut, sebanyak 60 persen tidak masuk dalam program penjaminan karena memberi bunga di atas bunga LPS.
Kostaman maupun Sukatmo yakin para nasabah sudah mengetahui simpanan mereka tak dijamin LPS. "Itu terserah nasabah bila tidak mau menggunakan bunga LPS. Nasabah yang mendapat bunga di atas bunga LPS jelas tahu kalau uangnya tidak dijamin oleh LPS," tandas Sukatmo.
Merujuk kondisi ekonomi yang tak menentu, para bankir pernah mendesak agar LPS menaikkan saldo simpanan yang berhak masuk program penjaminan. "Sudah terlambat jika baru dinaikkan sekarang. Seharusnya peningkatan dilakukan September lalu ketika bank di seluruh dunia melakukannya," ujar Kostaman.
Jika saat itu LPS menaikkan nilai dana yang masuk program penjaminan, bank-bank tidak perlu memasang bunga tinggi seperti sekarang. Mereka pun bakal lebih fleksibel mengikuti penurunan BI Rate dan bunga LPS.
Jadi, biaya dana yang ditanggung bank tidak akan seberat sekarang. Bila LPS menaikkan nilai penjaminan sekarang, pengaruhnya tidak akan signifikan lagi.
Akan tetapi, menurut ekonom Standard Chartered Bank Indonesia Eric A Sugandi, sudah saatnya bank menghitung ulang untung rugi mengiming-iming bunga tinggi ke nasabah. Bankir harus mewaspadai risiko likuiditas macet akibat tidak mampu membayar beban bunga itu. "Jangan sampai maksud hati menjaga likuiditas, di sisi lain likuiditas justru terancam," ujarnya.
Ia menambahkan, bank juga harus mengantisipasi kondisi itu dengan memarkir DPK di instrumen yang aman sekaligus memberi hasil tinggi. (Ade Jun Firdaus, Dian Pitaloka Saraswati/Kontan)