Cerita Tentang korupsi bukan hal yang biasa di negeri ini. Tapi korupsi yang melibatkan ‘orang-orang baik’ telah menjadi penyakit yang menggerogoti manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Korupsi sekali lagi mebutakan para pejabat, penguasa dan mereka yang berlabel orang baik. Bahkan di lingkup kampus (mahasiswa, birokrat) praktek haram ini biasa juga terjadi secara kecil-kecilan. Walau untuk mengungkapnya butuh investigasi yang mendalam.
Berasal dari bahasa Latin corruptio, dari kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Transparency International mendefenisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan koruptor adalah orang yang melakukan kegiatan itu.
Inilah yang terjadi pada beberapa wakil rakyat di DPR. Prilaku korupsi telah merajalela dan terjadi secara sistematis. Suap menyuap demi kelancaran proyek menjadi sesuatu yang dianggap lumrah/lazim dan tak melanggar norma dan pranata sosial. Jadi, mungkin ada benarnya jika seorang bupati/walikota ingin mendapat dana, mesti menyiapkan ‘mahar’ sebagai uang pelicin kepada oknum anggota dewan minimal Rp 500 juta. Sama halnya dengan seorang pengusaha yang ingin memegang proyek di suatu daerah, maka milyaran rupiah mesti disiapkan.
Setelah anggarannya disetujui, maka tambahan fulus pun akan mangalir ke kantong-kantong para wakil rakyat tersebut. Aneh bin ajaib, mungkin ini yang disebut mencuri uang (rakyat) di rumah sendiri dan mereka (koruptor) dikenal sebagai tikus dalam karung.
Akibat prilaku para koruptor tersebut membuat negeri ini terpuruk dan berada pada posisis buntut sebagai negara terkorup. Di Asia, Negeri ini bersama Bangladesh adalah negara terkorup. Parahnya lagi, dari semua kasus korupsi, lembaga legislatif (parlemen) menjadi institusi paling korup. Slank pun merilis lagu untuk menyinggung para wakil rakyat di gedung dewan tersebut. ”Mau tau gak mafia di Senayan? Kerjanya tukang buat peraturan.
Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Begitulah slank mengilustrasikan kerja para anggota dewan. Ironisnya, sebagian wakil rakyat yang merasa tersinggung inign menuntu grup musik tersebut. Namun tak lama setelah itu politisi senayan, Al Amin Nasution (PPP) tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat kasus suap. Seperti kotak pandora, kasus itu kemudian menjadi bola salju yang jadi pemicu terungkapnya kasus suap lainnya di parlemen.
Walhasil, satu persatu para koruptor di DPR itu mulai ditangkap KPK. Hamka Yandhu (Partai Golkar), Anthoni Zeidra Abidin (Partai Golkar), Sarjan Tahir (Partai Demokrat), Bulyan Royan (Partai Bintang Reformasi). Sementara itu dari data ICW disebutkan terdapat 1.437 anggota DPRD dari seluruh Indonesia telah diproses hukum akibat kasus korupsi. Akibat kasus ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif mengalami penurunan.
Para wakil rakyat ini memang seperti serigala yang rakus, tak pernah jera dan belajar dari kasus yang menimpa rekan sejawatnya. Pembangkangan terhadap Tuhan kembali dilakukan oleh Abdul Hadi Jamal (PAN). politisi ini ditangkap KPK bersama sejumlah uang hasil suap di mobilnya. Pada kasus ini AHD cukup sial dan tak punya malu, pasalnya beberapa hari sebelumnya para pimpinan partai politik menadatangani deklarasi anti korupsi. Sungguh terlalu.
Para koruptor selalu dikisahkan dalam setiap lakon sebagai orang baik. Namun dibalik itu mereka tak bisa berbuat benar, Sepandai-pandai menyimpan keburukan, suatu saat akan tercium juga. Lalu akhirnya mereka mendekam di bui dan dikucilkan dari masyarakat. Sigmound Freud mengatakan bahwa korupsi terjadi karena faktor kepribadian. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sifat rakus, berorientasi pada kenikmatan dengan menambah materi.
Begitu juga dengan Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406) yang mengungkapkan faktor utama korupsi adalah hawa nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah.
Kebudayaan kita memang tak seperti di Jepang, masyarakatnya melakukan Harakiri apabila telah berbuat malu demgan menjadi koruptor. Begitu juga di Cina yang mengharuskan hukuman mati buat para pencuri uang rakyat. Tapi masyarakat Bugis-Makassar memiliki nilai siri na pacce sebagai prinsip yang mengatur kehidupan. Apabila itu dilanggar, maka harga dirinya akan hilang. Ironisnya, koruptor mungkin telah melupakan nilai itu. Sebab mereka tak merasa malu atau berdosa jika mencuri uang rakyat.
Seorang teman saya pernah berujar jika koruptor bisa dikategorikan politisi busuk. Penampilan mereka harum, tapi kemana-mana bawa sampah dan secara moralitas menghawatirkan.
Ismawan As
Mahasiswa Unhas 2003