Dibalik Kudeta Negara oleh Amerika Serikat Sejak 1893
Stephen Kinzer (mantan penulis New York Times yang menghimpun berita di 5 benua) dalam bukunya “Overthrow: America’s Century of Regime Change from Hawaii to Atuntaqui” berusaha mengulas motif terbesar politisi Amerika dalam serangkaian pengulingan pemerintah luar negeri yakni sejak 1893 di Kerajaan Hawaii hingga 2003 di Irak. Dalam bukunya, Kinzer menyebutkan negaranya (AS) ikut terlibat dalam serangkaian pengulingan pemerintahan dari Hawaii, Kuba, Costa Rica, Filipina, Nikaraguai, Honduras, Iran, Guatemala, Vietnam Selatan, Chili, Grenada, Panama, Afganistan dan terakhir Irak.
Setelah berakhirnya perang dunia II, motif terbesar dari politik luar negeri Amerika Serikat adalah menguasai paham liberalis ala Amerika serta penguasaan ekonomi strategis dari hulu hingga hilir. Pertama adalah perang ideologis melawan komunis Uni Soviet, namun secara bersamaan Amerika melakukan penjajah ekonomi terhadap sumber-sumber daya alam yang bernilai tinggi seperti minyak bumi, emas, timah, bauksit, tembaga, dan tidak terkecuali kekayaan hutan. Sasaran utama adalah negara-negara yang tidak mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat untuk mengucilkan negara Uni Soviet, negara yang tidak menerima perusahaannya menguasai dan mengeksploitasi sebebasnya sumber daya alam, atau negara yang tidak “mendengar nasehat” paman Sam untuk menerima bantuan keuangan disertai penjeratan ekonomi.
Setelah Uni Soviet mulai mengalami kehancuran di era 1980-an (runtuh di tahun 1990), fokus Amerika berubah menjadi ekonomi. Berbagai tekanan bahkan pengulingan negara-negara di Asia maupun Amerika Latin lebih disebabkan oleh ekonomi atau saya sebut sebagai “perang ekonomi”. Dalam menjalankan perang ekonomi, Amerika membawa isu-isu lain seperti kediktatoran penguasa, teroris, komunis, atau pelanggaran HAM oleh pemimpin negeri yang sedang ditargetkan. Isu-isu dibuat, dikembangkan sedemikian rupa sehingga publik internasional terkecoh, dan akhirnya perang ekonomi atas mendapat persetujuan dari PBB.
Dalam hal ini perang ekonomi sangat erat hubungannya dengan politik. Untuk melancarkan serangan ataupun kudeta, haruslah melalui persetujuan kongres yang mana para politikus bertengger. Skandal politik-ekonomi internal AS merupakan pionir dari pengkudetaan sebuah negara. Agar resolusi yang dikeluarkan kongres AS terlihat “mulia” dan tidak dikritik oleh rakyatnya, maka skenario pencitraan negatif terhadap negara atau pemimpin negara mulai dilancarkan. Agen-agen khusus dikirimkan ke negara tersebut, penghasutan demi penghasutan dilakukan untuk merongrong pemerintah yang sedang berkuasa. Orang-orang yang berpotensi menjadi penghianat akan didekatin oleh agen-agen CIA yang kemudian diubah menjadi “penyelamat” negara yang disebut sebagai “diktator”, berbahaya dan sebagainya.
Setelah rakyat di negara tersebut mulai terpecah dan laporan sejumlah media khusus yang tersebar ke dunia internasional, maka langkah Kongres AS menjadi semakin ringan. Orang-orang terdekat Presiden maupun oknum anggota Kongres akan mewacanakan serangan ke negara tersebut. Karena gemerlipan dollar yang akan mereka dan kroni mereka terima, maka mau bagaimanapun serangan harus terjadi, dengan alasan apapun, meskipun sebagian anggota kongres tidak menyetujuinya. Meskipun rakyatnya tidak menyetujuinya. Lobi-lobi di PBB pun akhirnya Amerikalah yang benar. Seranganpun dilancarkan untuk menguasai secara ekonomi maupun politik terhadap negara tersebut. Para pemimpin negara yang terlalu nasioanalis dan tidak mengikuti agenda AS, maka mereka menjadi target operasi dan bahkan dibunuh. Mulai dari pembunuhan Presiden Panama (Pres. Omar Torrijos) dan Equator (Pres. Jaime Roldos) oleh CIA hingga kudeta Iran, Pengulingan Soekarno di Indonesia, dan sejumlah negara Amerika Latin dan Asia. Termasuk kudeta oleh Pres. Chili Jend Pinnochet.
***********
Seperti saya sebutkan di atas, dibalik semua pengulingan pemerintah resmi di berbagai negara adalah ideologis (sebelum Uni Soviet Runtuh) dan kepentingan ekonomi atau perusahaan multinasional atau MNC (multinational company) sejak perang dingin hingga sekarang. Dan seperti kita tahu bahwa setelah Soekarno berhasil digulingkan, maka sumber-sumber daya alam strategis kita resmi dikuasi oleh MNC Freeport, Caltex (sekarang Chevron), Alcoa, Exxon, Total, dan banyak MNC lainnya. pada tahun 1967. Kekayaan SDA Indonesia telah dijatahkan pada Konferesni Jenewa oleh sejumlah menteri Kabinet Soeharto dengan sejumlah pemimpin MNC, Word Bank, IMF, dan IGGI.
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top” - John Pilger : Power in Motion (halaman 37)
Diambil dari : Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967
3 Langkah Menuju Penghancuran
Menurut Kinzer dalam Overthrow, dari belasan kudeta yang terjadi di negara Amerika Latin dan Asia sejak 1893, setiap rancangan kudeta selalu melalui 3 proses atau langkah yakni: (catatan: Kinzer lebih melihat motif yang kedua dari kudeta yakni perang ekonomi, sedangkan motif perang ideologi tidak terlalu banyak dikupas)
Pertama :
Perusahaan multinasional Amerika yang akan/sedang menghadapi sejumlah ancaman dari pemerintah negara bersangkutan yang menuntut pembayaran pajak, merombak undang-undang buruh atau lingkungan hidup. Adakalanya Presiden negara tersebut yang berjiwa nasionalis akan menasionalisasi perusahaan multinasional tersebut atau mendesak penjualan sebagian aset atau lahannya. Dalam hal ini, perusahaan MNC akan meminta pertolongan kepada kongres agar mereka dapat tetap eksis mengeksploitasi kekayaan negara tersebut.
[Catatan] Hugo Chavez, Presiden Venezuela telah beberapa kali mengalami ancaman kudeta dan usaha pembunuhan yang disinyalir dilakukan CIA. Hanya pemimpin yang berintegritas dan memperjuangkan kepentingan negara yang berani menasionalisasi aset-aset strategis negara, bukan dengan menjualnya. Pemerintah Megawati dan SBY-JK jelas bukan ciri pemimpin yang saya maksud. Mereka telah menjual aset-aset strategis dengan harga yang sangat murah, dan SBY-JK di tahun 2008 berencana mengobral 44 BUMN. Semua ini tidak lain adalah kepentingan asing. Menanggapi masalah buruh dan lingkungan, beberapa undang-undang kita sudah disetir dan dicekokin oleh kepentingan pemerintah asing dan perusahaan multinasional. Dalam catatan Prof. Amien Rais, banyak undang-undang dan peraturan pemerintah sejak reformasi dan khususnya sejak Pemerintahan Megawati hingga SBY-JK yang mewakili kepentingan IMF, Word Bank (kaki tangan Amerika dan sekutunya) daripada kepentingan negara dan bangsa Indonesia. (Silahkan baca buku : Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia)
Kedua :
Politikus Amerika Serikat melihat bahwa kemunduran perusahaan multinasional Amerika sebagai ancaman keamanan Amerika. Kinzer mengatakan bahwa, “Mereka (politikus) mengubah motivasi dari ekonomi menjadi strategi politik ataupun strategi kawasan. Mereka menganggap bahwa rezim pemerintah yang akan (sedang) menganggu/mengusik perusahaan Amerika berarti pemerintahan anti-Amerikan, refresif, diktator, dan ada kemungkinan negara tersebut menjadi alat bagi kekuatan asing lain untuk mengusik Amerika“.
[Catatan]Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah kita saat ini terutama tim Ekonomi SBY-JK merupakan lulusan-lulusan Amerika, dan dari berbagai kebijakannya, sangatlah jelas bahwa mereka merupakan pengikut setia “Washington Consensus“. Mereka cukup men”Tuhan”-kan paham liberalisme kapitalis di negeri ini. Kebijakan penunjukkan Exxon Mobil sebagai pemimpin dalam pengolahan Blok Cepu setelah kunjungan (eks) Menlu AS Condola Rize dengan Pres. SBY merupakan salah satu contoh yang jelas. Toh, masa’ Indonesia yang sudah 63 tahun merdeka tidak mampu memimpin pengolahan Blok Cepu. Belum lagi, pemerintah SBY-JK men”Tuhan”kan kedatangan (eks) Pres. George W Bush pada November 2006. Saya ingat sekali bahwa ketika Bush datang, pemerintah SBY melakukan pengamanan yang sangat berlebihan. Membuat helipad di kebun Raya Bogor, tapi akhirnya tidak digunakan. Bahkan, sinyal selular di kota Bogor di jam. Belum lagi, agenda penjualan dan privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, dan masih banyak lagi.
Ketiga :
Langkah ketiga atau langkah terakhir sebelum “eksekusi” adalah pengiringan opini publik. Para politisi AS akan berusaha mengintervensi publik dan mengulirkan opini perjuangan rakyat atas ‘kebaikan’ vs ‘kejahatan’, dengan slogan “merubah bangsa yang tertindas dari rezim brutal dan menyebutnya sebagai pemerintah diktator, karena pemerintah mereka mengancam eksitensi perusahaan Amerika”.
[Catatan] Hal dialami oleh Pres. Omar Torrijos yang memperjuangkan kesejahteraan sebagian besar rakyatnya yang miskin yang tentu bersinggungan dengan perusahaan minyak Amerika dan sejumlah perusahaan lokal yang liberalis kapitalis. Skenariopun dilakukan dengan melakukan kekacauan ekonomi yang disertai provokasi bahwa Pres. Omar Torrijos memimpin secara diktator, membatasi hak para pengusaha kaya untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Dan ketika rakyat telah “termakan” pengiringan opini tersebut, maka CIA akan mudah membunuh orang-orang yang silang kepentingan dengan Amerika. Dan akhirnya Sang Presiden berhasil dibunuh dalam ledakan helikopter. Hal yang serupa pada sosok Jaime Raldos, presiden Ekuator.
Begitu juga, nasib Pres. Soekarno. Dalam catatan Peter D Scott (Profesor di University of California Berkeley) dalam bukunya “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967 (Gratis), setelah resmi “merdeka jilid II” melalui Konferensi Meja Bundar, pemerintah Soekarno yang anti liberalisme-kapitalis-neokolonialisme menghadapi ancaman serius bagi eksistensi hegemoni Amerika. Amerika yang mulai perang dingin dengan Rusia, akhirnya semakin mengila-gila untuk menguasai sebanyak mungkin kepentingan politik dan ekonominya diberbagai penjara dunia. Berbagai pemberontakan di Indonesia disutradarai oleh CIA. Dan bukti yang tidak terelakan dari operasi CIA di Indonesia adalah tertangkapnya dua tentara Amerika yang menyuplai senjata pada pemberontak PRRI-Semesta setelah pesawat yang dikendarainya di tembak jatuh oleh pasukan TNI Indonesia.
Belum lagi, video palsu hubungan seks antara Pres. Soekarno dan agen KGB yang sengaja dibuat oleh CIA untuk menjatuhkan citra Soekarno di mata rakyatnya (namun tidak dipublikasi CIA, karena misinya sudah hampir sukses di tahun 60-an). Dan krisis ekonomi yang dilanda Indonesia di tahun 1960-an hingga 1966 (inflasi mencapai 600% di tahun 1966) juga tidak luput dari infiltrasi ekonom perusak AS di Indonesia.
Penutup
Dari sejumlah Capres yang bermunculan di 2009, hanya ada dua capres yang saya nilai memiliki agenda dan keberanian tegas menegakkan konstitusi UUD 1945 dalam bidang ekonomi, dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi akar rumput. Dalam bidang ekonomi, capres memiliki visi membangun ekonomi kerakyatan, membatasi penguasaan aset strategis oleh swasta dan asing, dan penguasaan kembali aset-aset strategis nasional untuk diolah dan dibangun kembali demi kepentingan nasional. Proporsi anggaran yang membangkitkan industri UKM dan peningkatan skill pekerja.Dan efisiensi anggaran pendidikan dengan penegakan law inforcement.
Dalam bidang pemberantasan korupsi, sang Capres berani mengusut kasus/skandal korupsi yang melibatkan petinggi negara yang mengeluarkan kebijakan merugikan triliunan rupiah, seperti kasus BLBI, penjualan BCA, penjualan BUMN, UU titipan Amerika. Kasus korupsi yang telah ditangani hingga saat ini, masihlah sangat kecil dibanding ratusan triliun kerugian negara akibat policy yang didalangi kepentingang asing, parpol, dan pengusaha.
Hingga saat ini, KPK belum berhasil mengusut korupsi yang paling besar dan berbahaya, yakni “korupsi policy oleh penguasa”. Siapakah dua capres tersebut? Silahkan teman-teman cermatin sendiri siapa mereka (satunya sudah kandas karena dari Independen). Yang pasti, presiden ke-5 dan ke-6 RI, bukan golongan di atas. Mereka masih asyik dengan kepentingan asing dan pengusaha yang memenangkan pilpres 2004.
Stephen Kinzer (mantan penulis New York Times yang menghimpun berita di 5 benua) dalam bukunya “Overthrow: America’s Century of Regime Change from Hawaii to Atuntaqui” berusaha mengulas motif terbesar politisi Amerika dalam serangkaian pengulingan pemerintah luar negeri yakni sejak 1893 di Kerajaan Hawaii hingga 2003 di Irak. Dalam bukunya, Kinzer menyebutkan negaranya (AS) ikut terlibat dalam serangkaian pengulingan pemerintahan dari Hawaii, Kuba, Costa Rica, Filipina, Nikaraguai, Honduras, Iran, Guatemala, Vietnam Selatan, Chili, Grenada, Panama, Afganistan dan terakhir Irak.
Setelah berakhirnya perang dunia II, motif terbesar dari politik luar negeri Amerika Serikat adalah menguasai paham liberalis ala Amerika serta penguasaan ekonomi strategis dari hulu hingga hilir. Pertama adalah perang ideologis melawan komunis Uni Soviet, namun secara bersamaan Amerika melakukan penjajah ekonomi terhadap sumber-sumber daya alam yang bernilai tinggi seperti minyak bumi, emas, timah, bauksit, tembaga, dan tidak terkecuali kekayaan hutan. Sasaran utama adalah negara-negara yang tidak mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat untuk mengucilkan negara Uni Soviet, negara yang tidak menerima perusahaannya menguasai dan mengeksploitasi sebebasnya sumber daya alam, atau negara yang tidak “mendengar nasehat” paman Sam untuk menerima bantuan keuangan disertai penjeratan ekonomi.
Setelah Uni Soviet mulai mengalami kehancuran di era 1980-an (runtuh di tahun 1990), fokus Amerika berubah menjadi ekonomi. Berbagai tekanan bahkan pengulingan negara-negara di Asia maupun Amerika Latin lebih disebabkan oleh ekonomi atau saya sebut sebagai “perang ekonomi”. Dalam menjalankan perang ekonomi, Amerika membawa isu-isu lain seperti kediktatoran penguasa, teroris, komunis, atau pelanggaran HAM oleh pemimpin negeri yang sedang ditargetkan. Isu-isu dibuat, dikembangkan sedemikian rupa sehingga publik internasional terkecoh, dan akhirnya perang ekonomi atas mendapat persetujuan dari PBB.
Dalam hal ini perang ekonomi sangat erat hubungannya dengan politik. Untuk melancarkan serangan ataupun kudeta, haruslah melalui persetujuan kongres yang mana para politikus bertengger. Skandal politik-ekonomi internal AS merupakan pionir dari pengkudetaan sebuah negara. Agar resolusi yang dikeluarkan kongres AS terlihat “mulia” dan tidak dikritik oleh rakyatnya, maka skenario pencitraan negatif terhadap negara atau pemimpin negara mulai dilancarkan. Agen-agen khusus dikirimkan ke negara tersebut, penghasutan demi penghasutan dilakukan untuk merongrong pemerintah yang sedang berkuasa. Orang-orang yang berpotensi menjadi penghianat akan didekatin oleh agen-agen CIA yang kemudian diubah menjadi “penyelamat” negara yang disebut sebagai “diktator”, berbahaya dan sebagainya.
Setelah rakyat di negara tersebut mulai terpecah dan laporan sejumlah media khusus yang tersebar ke dunia internasional, maka langkah Kongres AS menjadi semakin ringan. Orang-orang terdekat Presiden maupun oknum anggota Kongres akan mewacanakan serangan ke negara tersebut. Karena gemerlipan dollar yang akan mereka dan kroni mereka terima, maka mau bagaimanapun serangan harus terjadi, dengan alasan apapun, meskipun sebagian anggota kongres tidak menyetujuinya. Meskipun rakyatnya tidak menyetujuinya. Lobi-lobi di PBB pun akhirnya Amerikalah yang benar. Seranganpun dilancarkan untuk menguasai secara ekonomi maupun politik terhadap negara tersebut. Para pemimpin negara yang terlalu nasioanalis dan tidak mengikuti agenda AS, maka mereka menjadi target operasi dan bahkan dibunuh. Mulai dari pembunuhan Presiden Panama (Pres. Omar Torrijos) dan Equator (Pres. Jaime Roldos) oleh CIA hingga kudeta Iran, Pengulingan Soekarno di Indonesia, dan sejumlah negara Amerika Latin dan Asia. Termasuk kudeta oleh Pres. Chili Jend Pinnochet.
***********
Seperti saya sebutkan di atas, dibalik semua pengulingan pemerintah resmi di berbagai negara adalah ideologis (sebelum Uni Soviet Runtuh) dan kepentingan ekonomi atau perusahaan multinasional atau MNC (multinational company) sejak perang dingin hingga sekarang. Dan seperti kita tahu bahwa setelah Soekarno berhasil digulingkan, maka sumber-sumber daya alam strategis kita resmi dikuasi oleh MNC Freeport, Caltex (sekarang Chevron), Alcoa, Exxon, Total, dan banyak MNC lainnya. pada tahun 1967. Kekayaan SDA Indonesia telah dijatahkan pada Konferesni Jenewa oleh sejumlah menteri Kabinet Soeharto dengan sejumlah pemimpin MNC, Word Bank, IMF, dan IGGI.
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top” - John Pilger : Power in Motion (halaman 37)
Diambil dari : Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967
3 Langkah Menuju Penghancuran
Menurut Kinzer dalam Overthrow, dari belasan kudeta yang terjadi di negara Amerika Latin dan Asia sejak 1893, setiap rancangan kudeta selalu melalui 3 proses atau langkah yakni: (catatan: Kinzer lebih melihat motif yang kedua dari kudeta yakni perang ekonomi, sedangkan motif perang ideologi tidak terlalu banyak dikupas)
Pertama :
Perusahaan multinasional Amerika yang akan/sedang menghadapi sejumlah ancaman dari pemerintah negara bersangkutan yang menuntut pembayaran pajak, merombak undang-undang buruh atau lingkungan hidup. Adakalanya Presiden negara tersebut yang berjiwa nasionalis akan menasionalisasi perusahaan multinasional tersebut atau mendesak penjualan sebagian aset atau lahannya. Dalam hal ini, perusahaan MNC akan meminta pertolongan kepada kongres agar mereka dapat tetap eksis mengeksploitasi kekayaan negara tersebut.
[Catatan] Hugo Chavez, Presiden Venezuela telah beberapa kali mengalami ancaman kudeta dan usaha pembunuhan yang disinyalir dilakukan CIA. Hanya pemimpin yang berintegritas dan memperjuangkan kepentingan negara yang berani menasionalisasi aset-aset strategis negara, bukan dengan menjualnya. Pemerintah Megawati dan SBY-JK jelas bukan ciri pemimpin yang saya maksud. Mereka telah menjual aset-aset strategis dengan harga yang sangat murah, dan SBY-JK di tahun 2008 berencana mengobral 44 BUMN. Semua ini tidak lain adalah kepentingan asing. Menanggapi masalah buruh dan lingkungan, beberapa undang-undang kita sudah disetir dan dicekokin oleh kepentingan pemerintah asing dan perusahaan multinasional. Dalam catatan Prof. Amien Rais, banyak undang-undang dan peraturan pemerintah sejak reformasi dan khususnya sejak Pemerintahan Megawati hingga SBY-JK yang mewakili kepentingan IMF, Word Bank (kaki tangan Amerika dan sekutunya) daripada kepentingan negara dan bangsa Indonesia. (Silahkan baca buku : Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia)
Kedua :
Politikus Amerika Serikat melihat bahwa kemunduran perusahaan multinasional Amerika sebagai ancaman keamanan Amerika. Kinzer mengatakan bahwa, “Mereka (politikus) mengubah motivasi dari ekonomi menjadi strategi politik ataupun strategi kawasan. Mereka menganggap bahwa rezim pemerintah yang akan (sedang) menganggu/mengusik perusahaan Amerika berarti pemerintahan anti-Amerikan, refresif, diktator, dan ada kemungkinan negara tersebut menjadi alat bagi kekuatan asing lain untuk mengusik Amerika“.
[Catatan]Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah kita saat ini terutama tim Ekonomi SBY-JK merupakan lulusan-lulusan Amerika, dan dari berbagai kebijakannya, sangatlah jelas bahwa mereka merupakan pengikut setia “Washington Consensus“. Mereka cukup men”Tuhan”-kan paham liberalisme kapitalis di negeri ini. Kebijakan penunjukkan Exxon Mobil sebagai pemimpin dalam pengolahan Blok Cepu setelah kunjungan (eks) Menlu AS Condola Rize dengan Pres. SBY merupakan salah satu contoh yang jelas. Toh, masa’ Indonesia yang sudah 63 tahun merdeka tidak mampu memimpin pengolahan Blok Cepu. Belum lagi, pemerintah SBY-JK men”Tuhan”kan kedatangan (eks) Pres. George W Bush pada November 2006. Saya ingat sekali bahwa ketika Bush datang, pemerintah SBY melakukan pengamanan yang sangat berlebihan. Membuat helipad di kebun Raya Bogor, tapi akhirnya tidak digunakan. Bahkan, sinyal selular di kota Bogor di jam. Belum lagi, agenda penjualan dan privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, dan masih banyak lagi.
Ketiga :
Langkah ketiga atau langkah terakhir sebelum “eksekusi” adalah pengiringan opini publik. Para politisi AS akan berusaha mengintervensi publik dan mengulirkan opini perjuangan rakyat atas ‘kebaikan’ vs ‘kejahatan’, dengan slogan “merubah bangsa yang tertindas dari rezim brutal dan menyebutnya sebagai pemerintah diktator, karena pemerintah mereka mengancam eksitensi perusahaan Amerika”.
[Catatan] Hal dialami oleh Pres. Omar Torrijos yang memperjuangkan kesejahteraan sebagian besar rakyatnya yang miskin yang tentu bersinggungan dengan perusahaan minyak Amerika dan sejumlah perusahaan lokal yang liberalis kapitalis. Skenariopun dilakukan dengan melakukan kekacauan ekonomi yang disertai provokasi bahwa Pres. Omar Torrijos memimpin secara diktator, membatasi hak para pengusaha kaya untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Dan ketika rakyat telah “termakan” pengiringan opini tersebut, maka CIA akan mudah membunuh orang-orang yang silang kepentingan dengan Amerika. Dan akhirnya Sang Presiden berhasil dibunuh dalam ledakan helikopter. Hal yang serupa pada sosok Jaime Raldos, presiden Ekuator.
Begitu juga, nasib Pres. Soekarno. Dalam catatan Peter D Scott (Profesor di University of California Berkeley) dalam bukunya “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967 (Gratis), setelah resmi “merdeka jilid II” melalui Konferensi Meja Bundar, pemerintah Soekarno yang anti liberalisme-kapitalis-neokolonialisme menghadapi ancaman serius bagi eksistensi hegemoni Amerika. Amerika yang mulai perang dingin dengan Rusia, akhirnya semakin mengila-gila untuk menguasai sebanyak mungkin kepentingan politik dan ekonominya diberbagai penjara dunia. Berbagai pemberontakan di Indonesia disutradarai oleh CIA. Dan bukti yang tidak terelakan dari operasi CIA di Indonesia adalah tertangkapnya dua tentara Amerika yang menyuplai senjata pada pemberontak PRRI-Semesta setelah pesawat yang dikendarainya di tembak jatuh oleh pasukan TNI Indonesia.
Belum lagi, video palsu hubungan seks antara Pres. Soekarno dan agen KGB yang sengaja dibuat oleh CIA untuk menjatuhkan citra Soekarno di mata rakyatnya (namun tidak dipublikasi CIA, karena misinya sudah hampir sukses di tahun 60-an). Dan krisis ekonomi yang dilanda Indonesia di tahun 1960-an hingga 1966 (inflasi mencapai 600% di tahun 1966) juga tidak luput dari infiltrasi ekonom perusak AS di Indonesia.
Penutup
Dari sejumlah Capres yang bermunculan di 2009, hanya ada dua capres yang saya nilai memiliki agenda dan keberanian tegas menegakkan konstitusi UUD 1945 dalam bidang ekonomi, dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi akar rumput. Dalam bidang ekonomi, capres memiliki visi membangun ekonomi kerakyatan, membatasi penguasaan aset strategis oleh swasta dan asing, dan penguasaan kembali aset-aset strategis nasional untuk diolah dan dibangun kembali demi kepentingan nasional. Proporsi anggaran yang membangkitkan industri UKM dan peningkatan skill pekerja.Dan efisiensi anggaran pendidikan dengan penegakan law inforcement.
Dalam bidang pemberantasan korupsi, sang Capres berani mengusut kasus/skandal korupsi yang melibatkan petinggi negara yang mengeluarkan kebijakan merugikan triliunan rupiah, seperti kasus BLBI, penjualan BCA, penjualan BUMN, UU titipan Amerika. Kasus korupsi yang telah ditangani hingga saat ini, masihlah sangat kecil dibanding ratusan triliun kerugian negara akibat policy yang didalangi kepentingang asing, parpol, dan pengusaha.
Hingga saat ini, KPK belum berhasil mengusut korupsi yang paling besar dan berbahaya, yakni “korupsi policy oleh penguasa”. Siapakah dua capres tersebut? Silahkan teman-teman cermatin sendiri siapa mereka (satunya sudah kandas karena dari Independen). Yang pasti, presiden ke-5 dan ke-6 RI, bukan golongan di atas. Mereka masih asyik dengan kepentingan asing dan pengusaha yang memenangkan pilpres 2004.