ABG Hamil 7 Bulan Ngamen di Tengah Malam !

Di saat remaja lain seusianya tidur nyenyak di kasur empuk, Riri, sebut saja namanya begitu, harus berperang mengusir nyamuk. ABG usia 15 tahun ini masih mondar mandir di sela- sela kepadatan lalu lintas di seputar perempatan Harmoni, Jakarta Pusat.

Bermodal kecrek-kecrek terbuat dari botol minuman, Riri yang berwajah manis tengah hamil 7 bulan ini mengamen di sela-sela kendaraan yang berhenti di lampu merah. Dia mengamen mulai pukul 22:00.

Menjelang dinihari dia pulang ke ‘rumah’ di bawah kolong jembatan. Uang Rp20 ribu hasil malam itu sudah cukup buat dia. Dia bersiap tidur di ‘rumah’ yang berbentuk lapak disekat triplek setinggi sekitar 50 Cm untuk tidur beralaskan karpet dengan tumpukan baju sebagai alas kepala.

Gete, remaja pria yang mengaku ‘suami’ Fitri yang juga mencari nafkah dengan mengamen setia menemani Riri. Tiga remaja jalanan lainnya yang juga menghuni kolong jembatan tak pernah mengusik mereka.

BETAH HIDUP DI KOLONG
Bagi lima remaja jalanan yang hidup di kolong jembatan, ‘rumah’ mereka itu tempat yang nyaman. Walau tanpa lampu penerangan, pantulan cahaya dari gedung sekitar sudah cukup.

"Hidup di sini terasa lebih nyaman, mau kemana-mana dekat karena lokasinya strategis,” ungkap Aga,20, pengamen sahabat Riri sambil memperkenalkan teman-temannya.

Untuk pergi mandi di sekitar perkantoran Harmoni atau mengamen, mereka harus keluar dari kolong dengan menaiki tangga kayu. Tapi kalau hanya sekadar buang air besar dan kecil cukup nyandar di dinding jembatan. Mencuci pakaian dilakukan di sungai di bawah tempat tinggal mereka.

“Semua gratis tidak ada yang bayar. Hidup di sini yang penting bisa menjalin kebersamaan dan menjaga ketertiban. Semua penghuni di sini kerja, nggak ada yang nganggur,” papar remaja asal Palembang ini. Pagi menjadi joki three in one, siang mengamen, dilanjutkan malam hari. penghasilan mereka rata-rata antara Rp20-25 ribu per hari, cukup untuk menyambung hidup.

Udara dingin malam mulai terasa di badan, serbuan gigitan nyamuk sangat terasa di bawah kolong jembatan itu. Tapi bagi mereka itu hal yang biasa, cukup diolesi krim anti nyamuk.

Riri terlihat diam, dia hanya merebahkan diri di lapak yang dihuni bersama ‘suami’. Tidak jelas apakah keduanya menikah resmi atau tidak. Dia tak mau bercerita tentang keluarganya di Palembang serta kenapa dia hidup menggelandang di Jakarta. Dia juga belum terfikir bagaimana nanti kalau melahirkan, siapa yang membiayai persalinan serta akan tidur di mana si jabang bayi nantinya. “Yang penting kita mikir hari ini saja,” ucapnya pendek.

Hunian di kolong jembatan ini hanya berjarak beberapa meter dari pos polisi lalulintas buat mereka adalah sebuah kenyamanan, sebab polisi adalah sahabat mereka. Petugas juga tidak pernah melarang mereka tinggal di tempat itu. “Yang penting mereka tidak berbuat kriminal,” kata polantas yang berjaga di perempatan jalan.

Petugas trantib dan linmas juga tidak pernah mengganggu kehidupannya. Kehidupan gelandangan di kolong jembatan juga bisa ditemui di Jembatan Cideng, Karet Bivak, Dukuh Atas dan lainnya.

BOCAH LAMPU MERAH
Riri adalah salah satu potret kehidupan remaja jalanan yang menggelandang sejak masih bocah. Di setiap lampu merah setidaknya ada sekitar 10 anak jalanan mengamen, meminta-minta ataupun mengelap kaca mobil.

Di perempatan Tomang misalnya, sejumlah bocah berebut menghampiri setiap mobil yang berhenti. ‘Racun…racun… wanita racun dunia...,” lantunan lagu orang dewasa itu keluar dari mulut bocah delapan tahun yang mengaku bernama Anto.

Uluran uang Rp1.000 dari pengendara mobil langsung disambar pengamen cilik ini, lalu ia pindah memepet sebuah taksi lalu menyanyikan lagu yang sama. Ketika wanita penumpang taksi tak memberi uang, umpatan kata-kata kotor keluar dari mulut bocah yang tidak mengenakan alas kaki itu. “Ya ampun, anak sekecil itu ngomongnya bisa kotor begitu..,” kata wanita penumpang taksi tadi.

Di stasiun kereta, anak-anak jalanan juga harus hidup keras berbaur dengan preman dan pencopet untuk mengais rezeki. Mereka menyapu gerbong sambil mengemis atau mengamen. Itulah gambaran yaang sering ditemui di sudut-sudut Jakarta. Kerasnya kehidupan ibukota telah membentuk mental anak-anak itu menjadi keras, demi mencari sesuap nasi dan bertahan hidup.

Poskota
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris