NYAWA Sukirman yang meninggal karena tertimpa reklame roboh di depan Hotel JW Marriott seperti tidak ada harganya. Manajemen hotel memberikan santunan Rp 5 juta. Santunan itu diembel-embeli pernyataan agar keluarga tidak menuntut secara hukum.
Hal itu diungkapkan Lina Muzdalifah, anak pertama Sukirman, kepada Yulyani, anggota Komisi B DPRD Surabaya. Dalam pertemuan di kediaman Yulyani tersebut, Lina mengungkapkan keluh kesah tentang nasib ayahnya. Dia berpendapat, kematian ayahnya tidak mendapatkan perhatian yang layak dari manajemen hotel dan pemkot.
Menurut Lina, hotel sejauh ini hanya memberikan santunan Rp 5 juta yang diberikan sehari setelah ayahnya meninggal dunia. Saat itu, dua orang yang mengaku sebagai staf hotel mendatangi rumahnya. Mereka membawa uang yang katanya diberikan untuk membantu keluarga korban. "Ini uang santunan dari kami, mohon diterima," kata Lina menirukan ucapan salah seorang utusan hotel tersebut.
Uang itu dibungkus amplop putih. Tanpa berpikir panjang, Lina menerima dan langsung menyimpannya tanpa menghitung isi amplop terlebih dahulu. Dua orang itu pun meminta tanda terima uang atas yang diterimanya tersebut. Bukan mengeluarkan kuitansi, mereka malah membuat surat pernyataan di atas kertas HVS yang dibawanya.
"Tulisannya pakai tulis tangan," ujarnya. Dalam surat itu disebutkan, keluarga Sukirman telah menerima uang santunan dari Hotel JW Marriott. Tidak ada penyebutan nominal yang diberikan. Dua orang itu juga menempelkan meterai di bagian bawah surat.
Karena sedang kalut dan sedih akibat ditinggal mati sang ayah, Lina tidak meneliti secara detail isi surat tersebut. Setelah membaca sekilas, perempuan 30 tahun itu langsung membubuhkan tanda tangan di atas meterai. "Waktu itu, saya tidak berpikir apa-apa. Karena sedang banyak tamu, langsung saya tanda tangani saja," ucapnya.
Setelah menandatangani, seorang tetangganya membaca surat tersebut. Dia kaget setelah mendapati salah satu klausul surat yang menyatakan bahwa santunan itu diberikan agar keluarga korban tidak menuntut secara perdata maupun pidana. Tidak lama kemudian, dua orang tersebut pamit, meski hari sedang hujan.
Lina sempat meminta kopian surat tersebut. "Tapi, ditolak. Katanya akan mengirim orang untuk menyampaikan fotokofi surat itu ke rumah," ujar ibu dua anak itu. Namun, hingga saat ini, utusan yang dijanjikan tersebut tidak pernah datang.
Tetangganya yang membaca surat itu langsung memberi tahu Lina. Dia menyalahkan Lina karena telah menandatangani surat tersebut tanpa berpikir panjang. "Saya juga tidak tahu. Lha, sedang sedih. Baru Sabtu saya ketemu bapak, tiba-tiba dikabari sudah meninggal," katanya.
Perempuan yang saat ini tinggal di Gresik tersebut mengaku menyesal setelah tersadar bahwa di surat tersebut ada klausul seperti itu. Dia malah menyayangkan sikap manajemen hotel yang memaksanya secara sembunyi-sembunyi untuk tidak menuntut secara hukum.
Karena itulah, dia kini kebingungan. Mau menuntut, telanjur menandatangani surat pernyataan. Tapi, dia menyesalkan sikap hotel yang menganggap remeh kematian ayahnya. "Mosok nyawane bapak diregani Rp 5 juta," ungkapnya dengan nada sedikit kesal.
Fauzan, saudara ipar Lina, menambahkan, saat ini keluarganya kebingungan. Sukirman yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga telah meninggal dunia.
Pria 49 tahun itu mengatakan, hingga saat ini, asuransi Sukirman juga belum diuruskan. "Masih nunggu hotel," katanya. Dia menjelaskan, saat di rumah sakit, ada petugas yang memaksanya agar jenazah Sukirman diotopsi. Jika tidak, keluarga tidak akan mendapatkan asuransi.
Menanggapi hal itu, keluarga menolak otopsi tersebut. "Kenapa mesti diotopsi, banyak orang tahu matinya karena reklame," tegasnya. Dia menduga, hal itulah yang membuat pengurusan asuransi Sukirman terkatung-katung.
Tidak hanya santunan yang minim, perwakilan tim reklame maupun pemkot belum pernah mengunjunginya. Fauzan mengaku tidak mengharapkan apa-apa. Hanya, seharusnya ada komunikasi antara pemkot dan keluarganya. Apalagi, kematian Sukirman terkait dengan birokrasi pemkot.
Menanggapi hal tersebut, Yulyani mengaku trenyuh. Dia meminta agar pemkot tidak melalaikan nyawa rakyatnya yang menjadi korban kebijakan pemerintah. "Jangan yang kaya-kaya saja yang dikunjungi. Orang yang tidak kaya seharusnya dapat perhatian. Mana empati wali kota?" ujarnya.
Kemarin Jawa Pos menghubungi Marketing Communications JW Marriott Wieke Trisnandini. Karena tak tahu, dia lantas menghubungi manajemen. Setelah itu, Wieke menelepon koran ini. Dia menyatakan tidak bisa memberikan keterangan. Dia juga belum bisa membeberkan hasil investigasi yang dilakukan hotelnya soal rubuhnya reklame tersebut.
http://jawapos.co.id/metropolis/inde...tail&nid=42201
Hal itu diungkapkan Lina Muzdalifah, anak pertama Sukirman, kepada Yulyani, anggota Komisi B DPRD Surabaya. Dalam pertemuan di kediaman Yulyani tersebut, Lina mengungkapkan keluh kesah tentang nasib ayahnya. Dia berpendapat, kematian ayahnya tidak mendapatkan perhatian yang layak dari manajemen hotel dan pemkot.
Menurut Lina, hotel sejauh ini hanya memberikan santunan Rp 5 juta yang diberikan sehari setelah ayahnya meninggal dunia. Saat itu, dua orang yang mengaku sebagai staf hotel mendatangi rumahnya. Mereka membawa uang yang katanya diberikan untuk membantu keluarga korban. "Ini uang santunan dari kami, mohon diterima," kata Lina menirukan ucapan salah seorang utusan hotel tersebut.
Uang itu dibungkus amplop putih. Tanpa berpikir panjang, Lina menerima dan langsung menyimpannya tanpa menghitung isi amplop terlebih dahulu. Dua orang itu pun meminta tanda terima uang atas yang diterimanya tersebut. Bukan mengeluarkan kuitansi, mereka malah membuat surat pernyataan di atas kertas HVS yang dibawanya.
"Tulisannya pakai tulis tangan," ujarnya. Dalam surat itu disebutkan, keluarga Sukirman telah menerima uang santunan dari Hotel JW Marriott. Tidak ada penyebutan nominal yang diberikan. Dua orang itu juga menempelkan meterai di bagian bawah surat.
Karena sedang kalut dan sedih akibat ditinggal mati sang ayah, Lina tidak meneliti secara detail isi surat tersebut. Setelah membaca sekilas, perempuan 30 tahun itu langsung membubuhkan tanda tangan di atas meterai. "Waktu itu, saya tidak berpikir apa-apa. Karena sedang banyak tamu, langsung saya tanda tangani saja," ucapnya.
Setelah menandatangani, seorang tetangganya membaca surat tersebut. Dia kaget setelah mendapati salah satu klausul surat yang menyatakan bahwa santunan itu diberikan agar keluarga korban tidak menuntut secara perdata maupun pidana. Tidak lama kemudian, dua orang tersebut pamit, meski hari sedang hujan.
Lina sempat meminta kopian surat tersebut. "Tapi, ditolak. Katanya akan mengirim orang untuk menyampaikan fotokofi surat itu ke rumah," ujar ibu dua anak itu. Namun, hingga saat ini, utusan yang dijanjikan tersebut tidak pernah datang.
Tetangganya yang membaca surat itu langsung memberi tahu Lina. Dia menyalahkan Lina karena telah menandatangani surat tersebut tanpa berpikir panjang. "Saya juga tidak tahu. Lha, sedang sedih. Baru Sabtu saya ketemu bapak, tiba-tiba dikabari sudah meninggal," katanya.
Perempuan yang saat ini tinggal di Gresik tersebut mengaku menyesal setelah tersadar bahwa di surat tersebut ada klausul seperti itu. Dia malah menyayangkan sikap manajemen hotel yang memaksanya secara sembunyi-sembunyi untuk tidak menuntut secara hukum.
Karena itulah, dia kini kebingungan. Mau menuntut, telanjur menandatangani surat pernyataan. Tapi, dia menyesalkan sikap hotel yang menganggap remeh kematian ayahnya. "Mosok nyawane bapak diregani Rp 5 juta," ungkapnya dengan nada sedikit kesal.
Fauzan, saudara ipar Lina, menambahkan, saat ini keluarganya kebingungan. Sukirman yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga telah meninggal dunia.
Pria 49 tahun itu mengatakan, hingga saat ini, asuransi Sukirman juga belum diuruskan. "Masih nunggu hotel," katanya. Dia menjelaskan, saat di rumah sakit, ada petugas yang memaksanya agar jenazah Sukirman diotopsi. Jika tidak, keluarga tidak akan mendapatkan asuransi.
Menanggapi hal itu, keluarga menolak otopsi tersebut. "Kenapa mesti diotopsi, banyak orang tahu matinya karena reklame," tegasnya. Dia menduga, hal itulah yang membuat pengurusan asuransi Sukirman terkatung-katung.
Tidak hanya santunan yang minim, perwakilan tim reklame maupun pemkot belum pernah mengunjunginya. Fauzan mengaku tidak mengharapkan apa-apa. Hanya, seharusnya ada komunikasi antara pemkot dan keluarganya. Apalagi, kematian Sukirman terkait dengan birokrasi pemkot.
Menanggapi hal tersebut, Yulyani mengaku trenyuh. Dia meminta agar pemkot tidak melalaikan nyawa rakyatnya yang menjadi korban kebijakan pemerintah. "Jangan yang kaya-kaya saja yang dikunjungi. Orang yang tidak kaya seharusnya dapat perhatian. Mana empati wali kota?" ujarnya.
Kemarin Jawa Pos menghubungi Marketing Communications JW Marriott Wieke Trisnandini. Karena tak tahu, dia lantas menghubungi manajemen. Setelah itu, Wieke menelepon koran ini. Dia menyatakan tidak bisa memberikan keterangan. Dia juga belum bisa membeberkan hasil investigasi yang dilakukan hotelnya soal rubuhnya reklame tersebut.
http://jawapos.co.id/metropolis/inde...tail&nid=42201