Subsidi kepada partai politik tidak lagi diberikan berdasarkan kursi melainkan dihitung berdasarkan jumlah suara yang diperoleh masing-masing partai politik sama persis seperti yang pernah diberlakukan pada Pemilu 1999. Uang negara yang akan habis bisa mencapai triliunan rupiah.
Enam Puluh enam partai sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, Selasa pagi 13 Mei 2008. Dari jumlah itu, KPU masih akan melakukan verifikasi hingga akhir Mei tapi apa pun hasil verifikasi itu tak akan berarti banyak untuk mengurangi jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Jumlah partai politik itu sekaligus mencatatkan sejarah baru dalam kehidupan politik Indonesia, setelah jumlah partai politik pada Pemilu 1955 yang berjumlah 35 partai politik. Di luar 66 partai politik yang sudah mendaftar itu, sebetulnya masih tersisa 16 partai yang tidak kebagian jatah. Di dunia, Indonesia tercatat sebagai satu-satunya negara dengan jumlah partai politik paling banyak.
Dengan jumlah sebanyak itu, maka uang negara yang juga akan disisihkan kepada partai politik juga akan semakin besar. Pada Pemilu 1999, negara harus mengeluarkan anggaran hingga Rp 112 miliar setiap tahun untuk mengongkosi partai politik. Uang itu diberikan kepada partai politik berdasarkan setiap suara yang didapat oleh setiap partai politik. Satu suara dihargai Rp 1.000. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak pada pemilu itu seperti PDI-P mendulang uang negara jauh lebih banyak, tentu.
Anggaran yang dikeluarkan oleh negara dengan pola subsidi semacam itu mencapai Rp 112 miliar per tahun dan dibayarkan selama lima tahun. Jumlah itu hampir mencapai 10 kali lipat lebih besar dibanding subsidi yang sama pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, subsidi uang negara kepada partai politik diberikan berdasarkan kursi yang diperoleh setiap partai politik di DPR. Harganya Rp 21 juta untuk setiap kursi per tahun. Dengan jumlah 550 kursi di DPR, uang negara yang harus dibayarkan kepada partai politik mencapai Rp 11,5 miliar atau Rp 57,5 miliar selama lima tahun.
Namun sistem atau pola subsidi semacam itu lalu diubah oleh anggota DPR dan tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Subsidi tidak lagi diberikan berdasarkan kursi melainkan dihitung berdasarkan jumlah suara yang diperoleh masing-masing partai politik sama persis seperti yang pernah diberlakukan pada Pemilu 1999.
Tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Bab XV Keuangan Pasal 34, ayat 3 “Bantuan keuangan APBN/APBD …diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.” Dengan kalimat lain, jumlah uang negara yang harus dikeluarkan oleh pemerintah juga akan semakin besar.
Belum ada kepastian nilai dari subsidi yang akan dikeluarkan oleh negara untuk setiap suara yang diperoleh setiap partai politik. Kalau mengikuti laju inflasi selama 10 tahun terakhir, maka setiap suara yang didapat oleh setiap partai politik bisa dihargai 10 kali lipat dari nilai subsidi yang pernah diberikan pada Pemilu 1999 yang sebesar Rp 1.000 per kursi.
Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia pada 2009 diperkirakan mencapai 231,3 juta jiwa. Sekitar 70 persen atau sekitar 161 juta dari jumlah itu adalah kelompok usia pemilih. Jika dianggap suara yang terkumpul sekitar 130 juta, maka uang negara yang akan dikeluarkan bisa mencapai Rp 1,3 triliun dan itu akan dibayarkan setiap tahun selama lima tahun.
Biaya-biaya untuk partai politik yang harus dikeluarkan oleh negara itu belum termasuk anggaran yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilu 2009. Awal tahun ini, KPU telah mengajukan anggaran hingga Rp 47,9 triliun. Jumlah itu meliputi anggaran untuk persiapan pemilu pada 2008 sebesar Rp 18,6 triliun dan anggaran pada 2009 Rp 29,3 triliun. Jika berkaca pada APBN 2008 yang mencapai Rp 836 triliun maka anggaran yang diajukan KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 mencapai hampir 5 persen dari total APBN.
Tahun ini pemerintah berniat menaikkan harga BBM dengan alasan untuk menyumpal defisit APBN. Sejumlah orang diberitakan telah mengakhiri hidup mereka karena tak kuat menanggung tekanan hidup akibat melonjaknya harga-harga pangan, terutama. Di tengah kesedihan dan rintihan sebagian besar orang Indonesia itu, partai politik sedang bersiap-siap untuk berhura-hura menghabiskan uang rakyat.
Kelak jika para anggota partai politik itu sudah terpilih menjadi wakil rakyat yang terhormat, mereka masih akan tetap disusui dengan uang negara: gaji puluhan juta sebulan, uang rapat, uang reses, tunjangan pinjaman mobil dan perumahan dengan bunga yang sangat rendah, uang komisi, dan sebagainya. Mereka para anggota DPR itu telah menjadi kelas menengah baru tersendiri: menikmati kemakmuran ekonomi. Atas nama demokrasi, kata mereka. Untuk kepentingan rakyat, katanya. Untuk kehidupan rakyat yang lebih baik, janjinya.
Benar kata orang, demokrasi mahal harganya. Untuk Indonesia, biaya mahal demokrasi itu, sayangnya telah semakin meminggirkan rakyatnya untuk menikmati kemakmuran karena partai politik dan orang-orangnya telah mengambil lebih banyak jatah untuk mereka. Lalu kalau demikian, benar butuhkah rakyat dengan partai politik sebanyak itu dan juga orang-orangnya, yang jangankan untuk menghafal bahkan untuk melihat daftarnya di kartu suara kelak, niscaya sangat sulit itu? oleh Rusdi Mathari
Enam Puluh enam partai sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, Selasa pagi 13 Mei 2008. Dari jumlah itu, KPU masih akan melakukan verifikasi hingga akhir Mei tapi apa pun hasil verifikasi itu tak akan berarti banyak untuk mengurangi jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Jumlah partai politik itu sekaligus mencatatkan sejarah baru dalam kehidupan politik Indonesia, setelah jumlah partai politik pada Pemilu 1955 yang berjumlah 35 partai politik. Di luar 66 partai politik yang sudah mendaftar itu, sebetulnya masih tersisa 16 partai yang tidak kebagian jatah. Di dunia, Indonesia tercatat sebagai satu-satunya negara dengan jumlah partai politik paling banyak.
Dengan jumlah sebanyak itu, maka uang negara yang juga akan disisihkan kepada partai politik juga akan semakin besar. Pada Pemilu 1999, negara harus mengeluarkan anggaran hingga Rp 112 miliar setiap tahun untuk mengongkosi partai politik. Uang itu diberikan kepada partai politik berdasarkan setiap suara yang didapat oleh setiap partai politik. Satu suara dihargai Rp 1.000. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak pada pemilu itu seperti PDI-P mendulang uang negara jauh lebih banyak, tentu.
Anggaran yang dikeluarkan oleh negara dengan pola subsidi semacam itu mencapai Rp 112 miliar per tahun dan dibayarkan selama lima tahun. Jumlah itu hampir mencapai 10 kali lipat lebih besar dibanding subsidi yang sama pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, subsidi uang negara kepada partai politik diberikan berdasarkan kursi yang diperoleh setiap partai politik di DPR. Harganya Rp 21 juta untuk setiap kursi per tahun. Dengan jumlah 550 kursi di DPR, uang negara yang harus dibayarkan kepada partai politik mencapai Rp 11,5 miliar atau Rp 57,5 miliar selama lima tahun.
Namun sistem atau pola subsidi semacam itu lalu diubah oleh anggota DPR dan tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Subsidi tidak lagi diberikan berdasarkan kursi melainkan dihitung berdasarkan jumlah suara yang diperoleh masing-masing partai politik sama persis seperti yang pernah diberlakukan pada Pemilu 1999.
Tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Bab XV Keuangan Pasal 34, ayat 3 “Bantuan keuangan APBN/APBD …diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.” Dengan kalimat lain, jumlah uang negara yang harus dikeluarkan oleh pemerintah juga akan semakin besar.
Belum ada kepastian nilai dari subsidi yang akan dikeluarkan oleh negara untuk setiap suara yang diperoleh setiap partai politik. Kalau mengikuti laju inflasi selama 10 tahun terakhir, maka setiap suara yang didapat oleh setiap partai politik bisa dihargai 10 kali lipat dari nilai subsidi yang pernah diberikan pada Pemilu 1999 yang sebesar Rp 1.000 per kursi.
Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia pada 2009 diperkirakan mencapai 231,3 juta jiwa. Sekitar 70 persen atau sekitar 161 juta dari jumlah itu adalah kelompok usia pemilih. Jika dianggap suara yang terkumpul sekitar 130 juta, maka uang negara yang akan dikeluarkan bisa mencapai Rp 1,3 triliun dan itu akan dibayarkan setiap tahun selama lima tahun.
Biaya-biaya untuk partai politik yang harus dikeluarkan oleh negara itu belum termasuk anggaran yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilu 2009. Awal tahun ini, KPU telah mengajukan anggaran hingga Rp 47,9 triliun. Jumlah itu meliputi anggaran untuk persiapan pemilu pada 2008 sebesar Rp 18,6 triliun dan anggaran pada 2009 Rp 29,3 triliun. Jika berkaca pada APBN 2008 yang mencapai Rp 836 triliun maka anggaran yang diajukan KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 mencapai hampir 5 persen dari total APBN.
Tahun ini pemerintah berniat menaikkan harga BBM dengan alasan untuk menyumpal defisit APBN. Sejumlah orang diberitakan telah mengakhiri hidup mereka karena tak kuat menanggung tekanan hidup akibat melonjaknya harga-harga pangan, terutama. Di tengah kesedihan dan rintihan sebagian besar orang Indonesia itu, partai politik sedang bersiap-siap untuk berhura-hura menghabiskan uang rakyat.
Kelak jika para anggota partai politik itu sudah terpilih menjadi wakil rakyat yang terhormat, mereka masih akan tetap disusui dengan uang negara: gaji puluhan juta sebulan, uang rapat, uang reses, tunjangan pinjaman mobil dan perumahan dengan bunga yang sangat rendah, uang komisi, dan sebagainya. Mereka para anggota DPR itu telah menjadi kelas menengah baru tersendiri: menikmati kemakmuran ekonomi. Atas nama demokrasi, kata mereka. Untuk kepentingan rakyat, katanya. Untuk kehidupan rakyat yang lebih baik, janjinya.
Benar kata orang, demokrasi mahal harganya. Untuk Indonesia, biaya mahal demokrasi itu, sayangnya telah semakin meminggirkan rakyatnya untuk menikmati kemakmuran karena partai politik dan orang-orangnya telah mengambil lebih banyak jatah untuk mereka. Lalu kalau demikian, benar butuhkah rakyat dengan partai politik sebanyak itu dan juga orang-orangnya, yang jangankan untuk menghafal bahkan untuk melihat daftarnya di kartu suara kelak, niscaya sangat sulit itu? oleh Rusdi Mathari