Sarana Harapan Indocorp (SHI) yang akan memproduksi, memasarkan dan mendistribusikan blue energy mengatakan, blue energy dibuat dengan substitusi hidrogen pada karbon tak jenuh. Namun jika ada inovasi baru dan ingin orang lain percaya, maka konsep itu harus dipaparkan pada publik.
"Ilmu pengetahuan harus bisa dibuktikan. Peneliti boleh salah, tapi nggak boleh bohong. Namanya juga penelitian," ujar Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto.
Hal itu disampaikan Unggul kepada detikcom, Rabu (28/5/2008).
Unggul mengatakan, memang tidak ada keharusan memberitahu lembaga riset pemerintah seperti BPPT atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Itu haknya dia. Tergantung yang punya, mau nggak dia berbagi sama orang lain. Tetapi kalau mau orang lain percaya mestinya harus bisa dijelaskan. Nggak bisa klaim kalau ini murah, dari mana?" kata dia.
Penelitian itu bisa dijelaskan, imbuhnya, salah satunya melalui jurnal ilmiah. "Atau kalau nggak mau bocor ya bentuk saja tim kecil dari BPPT dan LIPI. Nanti mereka diminta nggak boleh membuka rahasia," ujar dia.
Unggul juga mengatakan bawahannya yang sempat mengunjungi stan tempat blue energy dipamerkan di Konferensi Internasional Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu, tidak mendapat informasi yang banyak.
"Nggak dapat info banyak. Alasannya rahasia, entah mau dipatenkan atau apa," kata dia.
Tapi Unggul meyakini, penelitian blue energy ini tidak jauh dari teknologi yang dikenal selama ini, memakai hidrokarbon untuk menghasilkan energi dan mencari cara yang paling murah untuk menghasilkan hidrogen.
"Itulah intinya. Kalau mau ke Jakarta kita mau lewat mana, Yogya atau lewat mana. Masalahnya biaya," tandas dia. ( nwk / nrl )
"Ilmu pengetahuan harus bisa dibuktikan. Peneliti boleh salah, tapi nggak boleh bohong. Namanya juga penelitian," ujar Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto.
Hal itu disampaikan Unggul kepada detikcom, Rabu (28/5/2008).
Unggul mengatakan, memang tidak ada keharusan memberitahu lembaga riset pemerintah seperti BPPT atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Itu haknya dia. Tergantung yang punya, mau nggak dia berbagi sama orang lain. Tetapi kalau mau orang lain percaya mestinya harus bisa dijelaskan. Nggak bisa klaim kalau ini murah, dari mana?" kata dia.
Penelitian itu bisa dijelaskan, imbuhnya, salah satunya melalui jurnal ilmiah. "Atau kalau nggak mau bocor ya bentuk saja tim kecil dari BPPT dan LIPI. Nanti mereka diminta nggak boleh membuka rahasia," ujar dia.
Unggul juga mengatakan bawahannya yang sempat mengunjungi stan tempat blue energy dipamerkan di Konferensi Internasional Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu, tidak mendapat informasi yang banyak.
"Nggak dapat info banyak. Alasannya rahasia, entah mau dipatenkan atau apa," kata dia.
Tapi Unggul meyakini, penelitian blue energy ini tidak jauh dari teknologi yang dikenal selama ini, memakai hidrokarbon untuk menghasilkan energi dan mencari cara yang paling murah untuk menghasilkan hidrogen.
"Itulah intinya. Kalau mau ke Jakarta kita mau lewat mana, Yogya atau lewat mana. Masalahnya biaya," tandas dia. ( nwk / nrl )