Bocah-bocah yang mestinya masih menikmati dunia bermain dan belajar dipaksa melawan kerasnya kehidupan. Mereka eksploitasi dan bekerja. Ini bisa dilihat dimana-mana mulai dari perempatan lampu merah, di tengah laut sebagai germal hingga gadis-gadis belia di tengah keremangan tempat hiburan sebagai pekerja seks.
Padahal, kini telah ada dua lembaga yang memfokuskan diri untuk anak-anak. Ada Komnas PA (Komisi Perlindungan Anak) dan KPAI (Pelindungan Anak Indonesia). Banyak persoalan yang menimpa anak Indonesia, hanya beberapa saja yang tersentuh.
Pernikahan dini Luftiana Ulfa,12, dengan Pujiono Cahyono Widiyanto alias Syeh Puji,49, menuai kontroversi luas. Berbagai kalangan menentang, bahkan Komnas PA gigih berjuang membatalkan pernikahan gadis belia itu. Tapi ketika puluhan gadis belia bertebaran di arena hiburan malam menjadi pemuas seks lelaki, tak ada yang bereaksi.
Menjawab tudingan itu, Sekretaris Komnas PA Arist Merdeka Sirait menganggap wajar. Alasannya, masyarakat hanya mengikuti perkembangan kasus besar. “Padahal, sepanjang tahun ini ada 1.926 kasus kekerasan terhadap anak yang kami tangani dan hanya tiga kasus yang menyangkut artis,” ujarnya.
“Sisanya dari keluarga biasa, termasuk perebutan anak di keluarga polisi dan tentara.” Sejumlah anak di bawah umur yang menjadi pekerja seks juga telah dikembalikan ke kampungnya. Contoh lain, evakuasi 61 anak pekerja seks di Tanjung Priok pada Juli 2008, pada September bekerja sama dengan Polsek Tamansari mengevakuasi 12 anak yang bekerja di spa.
Di luar dunia prostitusi, sejumlah anak yang bekerja di sarang burung walet di Cengkareng serta 31 anak di bawah usia 14 tahun yang bekerja di pabrik elektronik di Bekasi juga dibebaskan. Bocah-bocah pemungut bawang di Pasar Induk Sayur dan Buah Kramatjati pun menjadi target.
“Kami mencarikan sekolah untuk mereka sehingga anak-anak itu tak kehilangan kesempatan untuk belajar,” katanya.
Komnas PA mendapat dana dari Departeman Sosial Rp 100 juta pada 2008, naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp68 juta yang digunakan untuk operasional dan menggaji karyawan. Sebelumnya juga mendapat bantuan dari Unicef dan pengusaha. Namun, untuk 2008 mereka tak mengajukannya. Sedangkan dana dari pengusaha besarnya Rp50 juta hingga Rp70 juta setahun. Diakuinya, dana itu sangat kecil. “Bahkan ketika menangani kasus Ulfa di Semarang, kami datang dengan biaya sendiri,” katanya.
ANGGARAN KPAI Rp10 MILIAR
Secara terpisah, Masnasari, Ketua KPAI, mengatakan tugasnya tak seperti Komnas PA yang terjun langsung ke tatanan masyarakat karena KPAI mengawasi dan mendorong pemerintah, eksekutif dan judikatif untuk melaksanakan hak atas anak.
“Kami mensosialisasikan agar tak ada lagi trafficking termasuk menjadikan anak sebagai pekerja seks,” katanya. “Selanjutnya kami memantau bagaimana peraturan yang ada ditindaklanjuti,”
Memberi contoh kasus Ulfa, KPAI telah menyurati Gubernur dan Kapolda Jateng. Katanya, ada peraturan yang dilangkahi Syeh Puji sehingga pria itu harus berhadapan dengan hukum.
“Pemantauan kami, sudah 9 saksi diperiksa. Semoga kasusnya cepat digelar di pengadilan agar tak ada ulfa-ulfa lainnya,” harapnya.
“Kita menyelesaikan persoalan anak-anak dengan melihat masalah dan menuntaskan sampai akhir, tidak ditinggal setelah mendapat publikasi kita juga menganggap tidak penting dipublikasikan,” tambahnya. Sebanyak 486 kasus, separuhnya telah selesai.
Mengenai dana Rp10 milyar, Masnasari mengatakan uang itu baru turun setelah pihaknya menjalankan kegiatan yang sudah diatur dalam Daftar Isian Pelaksaan Anggaran (DIPA) yang diajukan setahun sebelumnya. Dari jumlah itu, setengahnya dipakai untuk menggaji lebih dari 40 karyawan dan pengeluaran rutin.
“Sisanya yang untuk biaya operasional belum habis 70 persennya,” ujarnya. Ia juga membantah lembaganya hanya mengurusi anak-anak selebriti. “Sepanjang periode kedua ini tak ada kasus anak artis yang kami tangani,” katanya. Seperti diketahui, rebutan anak Tamara Bleszynski-Tengku Rafli serta pasangan Dhani Dewa-Maia, KPAI turun tangan.
SUDAH OPTIMAL
Psikolog UI Sinto B Adelar menilai lembaga-lembaga peduli anak selama ini sudah bekerja optimal. “Banyak pekerjaan-pekerjaan mereka yang tidak dipublikasikan. Misalnya menangani anak-anak jermal, pekerja anak,” tutur Sinto.
Menurut Sinto, persoalan anak bukan sekedar tanggungjawab lembaga-lembaga anak. Masyarakat termasuk anggota dewan memiliki tanggungjawab serupa. Wanita yang rajin mengikuti kasus-kasus pekerja anak ini mengaku banyak orangtua yang kurang peduli pada anak. Pelacuran yang melibatkan anak adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh orangtua. Alasan mereka sangat klasik, kesulitan ekonomi. “Jadi saya pikir ini alasan yang mengada-ada.”
LAPORKAN KE MASYARAKAT
Wakil Ketua Fraksi PKB, Effendi Choiri menegaskan seharusya KPAI melaporkan kegiatan yang telah dilakukan kepada masyarakat. “Dana yang dikucurkan itu kan dari masyarakat. Tunjukkan hasil kerjanya, jangan diam saja,” tandas Effendi Choiri.
Deded Sukandar, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) DKI Jakarta, mengaku mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan. Terutama anak di bawah umur yang bekerja melalui jalur informal. “Karena mereka disalurkan bukan dari lembaga yang jelas.”
poskota
Padahal, kini telah ada dua lembaga yang memfokuskan diri untuk anak-anak. Ada Komnas PA (Komisi Perlindungan Anak) dan KPAI (Pelindungan Anak Indonesia). Banyak persoalan yang menimpa anak Indonesia, hanya beberapa saja yang tersentuh.
Pernikahan dini Luftiana Ulfa,12, dengan Pujiono Cahyono Widiyanto alias Syeh Puji,49, menuai kontroversi luas. Berbagai kalangan menentang, bahkan Komnas PA gigih berjuang membatalkan pernikahan gadis belia itu. Tapi ketika puluhan gadis belia bertebaran di arena hiburan malam menjadi pemuas seks lelaki, tak ada yang bereaksi.
Menjawab tudingan itu, Sekretaris Komnas PA Arist Merdeka Sirait menganggap wajar. Alasannya, masyarakat hanya mengikuti perkembangan kasus besar. “Padahal, sepanjang tahun ini ada 1.926 kasus kekerasan terhadap anak yang kami tangani dan hanya tiga kasus yang menyangkut artis,” ujarnya.
“Sisanya dari keluarga biasa, termasuk perebutan anak di keluarga polisi dan tentara.” Sejumlah anak di bawah umur yang menjadi pekerja seks juga telah dikembalikan ke kampungnya. Contoh lain, evakuasi 61 anak pekerja seks di Tanjung Priok pada Juli 2008, pada September bekerja sama dengan Polsek Tamansari mengevakuasi 12 anak yang bekerja di spa.
Di luar dunia prostitusi, sejumlah anak yang bekerja di sarang burung walet di Cengkareng serta 31 anak di bawah usia 14 tahun yang bekerja di pabrik elektronik di Bekasi juga dibebaskan. Bocah-bocah pemungut bawang di Pasar Induk Sayur dan Buah Kramatjati pun menjadi target.
“Kami mencarikan sekolah untuk mereka sehingga anak-anak itu tak kehilangan kesempatan untuk belajar,” katanya.
Komnas PA mendapat dana dari Departeman Sosial Rp 100 juta pada 2008, naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp68 juta yang digunakan untuk operasional dan menggaji karyawan. Sebelumnya juga mendapat bantuan dari Unicef dan pengusaha. Namun, untuk 2008 mereka tak mengajukannya. Sedangkan dana dari pengusaha besarnya Rp50 juta hingga Rp70 juta setahun. Diakuinya, dana itu sangat kecil. “Bahkan ketika menangani kasus Ulfa di Semarang, kami datang dengan biaya sendiri,” katanya.
ANGGARAN KPAI Rp10 MILIAR
Secara terpisah, Masnasari, Ketua KPAI, mengatakan tugasnya tak seperti Komnas PA yang terjun langsung ke tatanan masyarakat karena KPAI mengawasi dan mendorong pemerintah, eksekutif dan judikatif untuk melaksanakan hak atas anak.
“Kami mensosialisasikan agar tak ada lagi trafficking termasuk menjadikan anak sebagai pekerja seks,” katanya. “Selanjutnya kami memantau bagaimana peraturan yang ada ditindaklanjuti,”
Memberi contoh kasus Ulfa, KPAI telah menyurati Gubernur dan Kapolda Jateng. Katanya, ada peraturan yang dilangkahi Syeh Puji sehingga pria itu harus berhadapan dengan hukum.
“Pemantauan kami, sudah 9 saksi diperiksa. Semoga kasusnya cepat digelar di pengadilan agar tak ada ulfa-ulfa lainnya,” harapnya.
“Kita menyelesaikan persoalan anak-anak dengan melihat masalah dan menuntaskan sampai akhir, tidak ditinggal setelah mendapat publikasi kita juga menganggap tidak penting dipublikasikan,” tambahnya. Sebanyak 486 kasus, separuhnya telah selesai.
Mengenai dana Rp10 milyar, Masnasari mengatakan uang itu baru turun setelah pihaknya menjalankan kegiatan yang sudah diatur dalam Daftar Isian Pelaksaan Anggaran (DIPA) yang diajukan setahun sebelumnya. Dari jumlah itu, setengahnya dipakai untuk menggaji lebih dari 40 karyawan dan pengeluaran rutin.
“Sisanya yang untuk biaya operasional belum habis 70 persennya,” ujarnya. Ia juga membantah lembaganya hanya mengurusi anak-anak selebriti. “Sepanjang periode kedua ini tak ada kasus anak artis yang kami tangani,” katanya. Seperti diketahui, rebutan anak Tamara Bleszynski-Tengku Rafli serta pasangan Dhani Dewa-Maia, KPAI turun tangan.
SUDAH OPTIMAL
Psikolog UI Sinto B Adelar menilai lembaga-lembaga peduli anak selama ini sudah bekerja optimal. “Banyak pekerjaan-pekerjaan mereka yang tidak dipublikasikan. Misalnya menangani anak-anak jermal, pekerja anak,” tutur Sinto.
Menurut Sinto, persoalan anak bukan sekedar tanggungjawab lembaga-lembaga anak. Masyarakat termasuk anggota dewan memiliki tanggungjawab serupa. Wanita yang rajin mengikuti kasus-kasus pekerja anak ini mengaku banyak orangtua yang kurang peduli pada anak. Pelacuran yang melibatkan anak adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh orangtua. Alasan mereka sangat klasik, kesulitan ekonomi. “Jadi saya pikir ini alasan yang mengada-ada.”
LAPORKAN KE MASYARAKAT
Wakil Ketua Fraksi PKB, Effendi Choiri menegaskan seharusya KPAI melaporkan kegiatan yang telah dilakukan kepada masyarakat. “Dana yang dikucurkan itu kan dari masyarakat. Tunjukkan hasil kerjanya, jangan diam saja,” tandas Effendi Choiri.
Deded Sukandar, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) DKI Jakarta, mengaku mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan. Terutama anak di bawah umur yang bekerja melalui jalur informal. “Karena mereka disalurkan bukan dari lembaga yang jelas.”
poskota