Pondok pesantren (Ponpes) Senin-Kamis di Notoyudan, Kecamatan Ngampilan, Jogjakarta ini bisa dibilang nyempal dari ciri-ciri ponpes pada umumnya.
Biasanya, penuntut ilmu di pondok pesantren (ponpes) hanya terbagi dua, yakni santri putra dan santri putri. Namun di Ponpes Senin-Kamis ini, para santrinya `istimewa`. Yang ada hanyalah santri waria karena ponpes ini memang dikhususnya untuk mereka.
Karena itu, ponpes yang didirikan mantan aktivis waria bernama Maryani yang pernah `beroperasi` di Kota Surabaya ini, mengundang polemik. Banyak yang mendukung, tapi ada pula yang mencurigai keberadaannya. Meski demikian, ponpes yang baru berdiri sekitar 3 bulan ini, banyak diminati.
"Setahu saya, pondok pesantren khusus waria yang ada di Indonesia ya baru pesantren kami ini. Meski khusus waria, tapi kami juga menerima kaum lesbi dan gay sebagai santri. Sebab, seperti halnya waria, lesbi itu perempuan tapi berjiwa laki-laki.
Sedangkan gay itu laki-laki berjiwa perempuan," terang Maryani, pencetus sekaligus pimpinan Ponpes Senin-Kamis, saat ditemui Surya di markas Ponpes Senin-Kamis, Jumat (14/11) kemarin.
Ponpes yang berada di tengah permukiman itu sulit dikenali andai saja tidak ada papan nama yang menyebut jelas “Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis” di bagian depannya. Sebab, di bangunan sederhana yang dijadikan sebagai ponpes itu, yang lebih terlihat kesibukannya sehari-hari adalah salon kecantikan dan rias pengantin “Ariyani” milik Maryani.
Ponpes itu memang menyatu dengan salon “Ariyani” dan juga tempat tinggal Maryani. Bangunannya tak seberapa luas dan memiliki beberapa ruang. Ruang tamu merangkap salon, ruang tengah sekaligus ruang tidur para santri, dua kamar tidur kecil, ruang dapur dan kamar mandi.
Menurut Maryani, tidak gampang menarik para waria untuk belajar agama, apalagi dengan sistem pesantren, yang mengharuskan santri menginap di ponpes. Karena itu, Ponpes Khusus Waria Senin-Kamis ini hanya menyelenggarakan kegiatan pada hari Minggu petang hingga Senin malam.
Hal ini untuk menyesuaikan dengan kesibukan dan keinginan para santri ponpes, yang berasal dari beragam profesi. Ada yang pekerja salon, pengamen atau `pekerja malam`.
Meski demikian, kata Maryani, minat para waria untuk mengikuti kegiatan ponpes yang baru berdiri sekitar 3 bulan ini, tergolong tinggi. Saat ini, jumlah santrinya sekitar 25 orang.
"Dulu, kegiatan pesantren dilakukan setiap Senin dan Kamis, karena itulah pesantren ini dinamakan Ponpes Senin-Kamis. Alasan pemilihan nama Senin-Kamis karena hari Senin dan Kamis biasanya digunakan oleh orang Jawa untuk bertirakat atau beribadah, misalnya puasa," jelas Maryani, waria kelahiran 15 Agustus 1960 ini.
Para santri di Ponpes Senin-Kamis ini dibimbing oleh 25 ustadz yang datang dari berbagai tempat di Jogjakarta. Antara lain Ustdaz Heri Banaran, Ustadz Heri Gunungkidul, dan Ustadz Andi. Mereka datang ke sana atas perintah KH Hamrolie Harun MSc, pendiri dan pengasuh utama Pengajian Mujahadah Al Falah Jogjakarta.
KH Hamrolie berperan besar bagi lahirnya Ponpes Senin-Kamis. Menurut Maryani, ide untuk mendirikan ponpes khusus waria bermula dari kegiatannya mengikuti pengajian di tempat KH Hamrolie di kawasan Pathuk, Jogjakarta, sekitar 10 tahun lalu.
Kegiatan Ponpes
Apa saja materi kegiatan yang diikuti oleh para santri waria di ponpes tersebut?
Maryani menjelaskan, kegiatan ponpes dimulai pada Minggu pukul 17.30 WIB dengan salat magrib.
Setelah itu, sepanjang Minggu malam sampai Senin subuh, para santri menjalani berbagai kegiatan seperti zikir kesehatan dan zikir ekonomi, membaca salawat nariyah 100 kali dan beberapa wirid lainnya. Juga diadakan salat tahajud, dan makan sahur untuk puasa sunah Senin.
Kegiatan ini dipungkasi dengan olahraga pada Senin pukul 05.00 WIB.
Kemudian, kegiatan Senin diawali pada pukul 08.00 WIB dengan salat dhuha 8 rakaat dengan dua kali salam. Rangkaian aktivitas yang dilakukan pada Senin, antara lain belajar membaca Alquran dan belajar salat (bagi yang belum bisa), membaca tasbih 500 kali, dan berbuka puasa.
Kegiatan Senin dipungkasi pada pukul 19.30 WIB, saat para santri pulang ke tempat masing-masing.
"Para santri tidak harus mengikuti kegiatan secara penuh. Boleh mengambil sebagian kegiatan sesuai kemampuan masing-masing," jelas Maryani.
Berapa biaya setiap waria yang nyantri di ponpes itu? Menurut Maryani, mereka tak dipungut bayaran, alias gratis. Para santri biasanya datang hanya membawa pakaian dan peralatan untuk mandi dan berhias, sedangkan sarung dan mukena sudah tersedia di ponpes.
"Saya sediakan sarung dan mukena, biar mereka memilih sendiri mau pakai yang mana, yang mereka anggap nyaman. Saya sendiri biasa memakai mukena karena saya sudah merasa menjadi perempuan," tegas waria yang memiliki anak perempuan hasil adopsi berusia delapan tahun bernama Rizki Ariyani tersebut.
Ditanya mengenai biaya yang dia keluarkan untuk mengelola ponpes waria tersebut, Maryani menolak menyebutkan. Alasannya, dia merasa ikhlas sehingga tak perlu merinci dana yang sudah dikeluarkan maupun memperkirakan dana yang akan dikeluarkan.
Namun, Ny Sarni yang sehari-hari membantu Maryani mengatakan, rata-rata uang yang dikeluarkan Maryani secara pribadi untuk kegiatan ponpes selama Minggu petang hingga Senin malam sekitar Rp 100.000.
“Kalau ada orang yang membantu, saya terima. Tapi saya tidak pernah meminta-minta bantuan ke para donatur karena tidak mau dituduh mendirikan pesantren hanya untuk kedok mencari uang," tandas Maryani.
Dia bersyukur, masih ada orang-orang yang peduli kepada kaum waria. Misalnya, para ustadz yang bersedia mengajar para santri waria dengan tanpa dipungut bayaran, bahkan kadang-kadang malah memberi bantuan.
"Pada bulan puasa lalu, misalnya, ada ustadz yang membantu makanan atau makanan kecil," kenangnya.
Maryani juga bersyukur karena keberadaan ponpesnya diterima oleh masyarakat setempat, termasuk pihak takmir masjid di kampungnya. "Pak Dulmajid, takmir masjid di kampung ini, juga mendukung ponpes kami," kata Maryani.
Sumber artikel
Biasanya, penuntut ilmu di pondok pesantren (ponpes) hanya terbagi dua, yakni santri putra dan santri putri. Namun di Ponpes Senin-Kamis ini, para santrinya `istimewa`. Yang ada hanyalah santri waria karena ponpes ini memang dikhususnya untuk mereka.
Karena itu, ponpes yang didirikan mantan aktivis waria bernama Maryani yang pernah `beroperasi` di Kota Surabaya ini, mengundang polemik. Banyak yang mendukung, tapi ada pula yang mencurigai keberadaannya. Meski demikian, ponpes yang baru berdiri sekitar 3 bulan ini, banyak diminati.
"Setahu saya, pondok pesantren khusus waria yang ada di Indonesia ya baru pesantren kami ini. Meski khusus waria, tapi kami juga menerima kaum lesbi dan gay sebagai santri. Sebab, seperti halnya waria, lesbi itu perempuan tapi berjiwa laki-laki.
Sedangkan gay itu laki-laki berjiwa perempuan," terang Maryani, pencetus sekaligus pimpinan Ponpes Senin-Kamis, saat ditemui Surya di markas Ponpes Senin-Kamis, Jumat (14/11) kemarin.
Ponpes yang berada di tengah permukiman itu sulit dikenali andai saja tidak ada papan nama yang menyebut jelas “Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis” di bagian depannya. Sebab, di bangunan sederhana yang dijadikan sebagai ponpes itu, yang lebih terlihat kesibukannya sehari-hari adalah salon kecantikan dan rias pengantin “Ariyani” milik Maryani.
Ponpes itu memang menyatu dengan salon “Ariyani” dan juga tempat tinggal Maryani. Bangunannya tak seberapa luas dan memiliki beberapa ruang. Ruang tamu merangkap salon, ruang tengah sekaligus ruang tidur para santri, dua kamar tidur kecil, ruang dapur dan kamar mandi.
Menurut Maryani, tidak gampang menarik para waria untuk belajar agama, apalagi dengan sistem pesantren, yang mengharuskan santri menginap di ponpes. Karena itu, Ponpes Khusus Waria Senin-Kamis ini hanya menyelenggarakan kegiatan pada hari Minggu petang hingga Senin malam.
Hal ini untuk menyesuaikan dengan kesibukan dan keinginan para santri ponpes, yang berasal dari beragam profesi. Ada yang pekerja salon, pengamen atau `pekerja malam`.
Meski demikian, kata Maryani, minat para waria untuk mengikuti kegiatan ponpes yang baru berdiri sekitar 3 bulan ini, tergolong tinggi. Saat ini, jumlah santrinya sekitar 25 orang.
"Dulu, kegiatan pesantren dilakukan setiap Senin dan Kamis, karena itulah pesantren ini dinamakan Ponpes Senin-Kamis. Alasan pemilihan nama Senin-Kamis karena hari Senin dan Kamis biasanya digunakan oleh orang Jawa untuk bertirakat atau beribadah, misalnya puasa," jelas Maryani, waria kelahiran 15 Agustus 1960 ini.
Para santri di Ponpes Senin-Kamis ini dibimbing oleh 25 ustadz yang datang dari berbagai tempat di Jogjakarta. Antara lain Ustdaz Heri Banaran, Ustadz Heri Gunungkidul, dan Ustadz Andi. Mereka datang ke sana atas perintah KH Hamrolie Harun MSc, pendiri dan pengasuh utama Pengajian Mujahadah Al Falah Jogjakarta.
KH Hamrolie berperan besar bagi lahirnya Ponpes Senin-Kamis. Menurut Maryani, ide untuk mendirikan ponpes khusus waria bermula dari kegiatannya mengikuti pengajian di tempat KH Hamrolie di kawasan Pathuk, Jogjakarta, sekitar 10 tahun lalu.
Kegiatan Ponpes
Apa saja materi kegiatan yang diikuti oleh para santri waria di ponpes tersebut?
Maryani menjelaskan, kegiatan ponpes dimulai pada Minggu pukul 17.30 WIB dengan salat magrib.
Setelah itu, sepanjang Minggu malam sampai Senin subuh, para santri menjalani berbagai kegiatan seperti zikir kesehatan dan zikir ekonomi, membaca salawat nariyah 100 kali dan beberapa wirid lainnya. Juga diadakan salat tahajud, dan makan sahur untuk puasa sunah Senin.
Kegiatan ini dipungkasi dengan olahraga pada Senin pukul 05.00 WIB.
Kemudian, kegiatan Senin diawali pada pukul 08.00 WIB dengan salat dhuha 8 rakaat dengan dua kali salam. Rangkaian aktivitas yang dilakukan pada Senin, antara lain belajar membaca Alquran dan belajar salat (bagi yang belum bisa), membaca tasbih 500 kali, dan berbuka puasa.
Kegiatan Senin dipungkasi pada pukul 19.30 WIB, saat para santri pulang ke tempat masing-masing.
"Para santri tidak harus mengikuti kegiatan secara penuh. Boleh mengambil sebagian kegiatan sesuai kemampuan masing-masing," jelas Maryani.
Berapa biaya setiap waria yang nyantri di ponpes itu? Menurut Maryani, mereka tak dipungut bayaran, alias gratis. Para santri biasanya datang hanya membawa pakaian dan peralatan untuk mandi dan berhias, sedangkan sarung dan mukena sudah tersedia di ponpes.
"Saya sediakan sarung dan mukena, biar mereka memilih sendiri mau pakai yang mana, yang mereka anggap nyaman. Saya sendiri biasa memakai mukena karena saya sudah merasa menjadi perempuan," tegas waria yang memiliki anak perempuan hasil adopsi berusia delapan tahun bernama Rizki Ariyani tersebut.
Ditanya mengenai biaya yang dia keluarkan untuk mengelola ponpes waria tersebut, Maryani menolak menyebutkan. Alasannya, dia merasa ikhlas sehingga tak perlu merinci dana yang sudah dikeluarkan maupun memperkirakan dana yang akan dikeluarkan.
Namun, Ny Sarni yang sehari-hari membantu Maryani mengatakan, rata-rata uang yang dikeluarkan Maryani secara pribadi untuk kegiatan ponpes selama Minggu petang hingga Senin malam sekitar Rp 100.000.
“Kalau ada orang yang membantu, saya terima. Tapi saya tidak pernah meminta-minta bantuan ke para donatur karena tidak mau dituduh mendirikan pesantren hanya untuk kedok mencari uang," tandas Maryani.
Dia bersyukur, masih ada orang-orang yang peduli kepada kaum waria. Misalnya, para ustadz yang bersedia mengajar para santri waria dengan tanpa dipungut bayaran, bahkan kadang-kadang malah memberi bantuan.
"Pada bulan puasa lalu, misalnya, ada ustadz yang membantu makanan atau makanan kecil," kenangnya.
Maryani juga bersyukur karena keberadaan ponpesnya diterima oleh masyarakat setempat, termasuk pihak takmir masjid di kampungnya. "Pak Dulmajid, takmir masjid di kampung ini, juga mendukung ponpes kami," kata Maryani.
Sumber artikel