Image KEN ANGROK, sang pendiri kerajaan Singosari itu, bisa dibilang tadinya preman juga. Ia memulai karir sebagai bandit dan jawara. Tentu, dia bukanlah orang pertama yang membuka akses ke kekuasaan lewat jalur "bawah tanah". Sejarah negeri ini memperlihatkan bahwa pada zaman pra-kolonial pun, jago, jawara, centeng, dan sejenisnya sudah jamak. Karena, memang ketokohan semacam itu merupakan sisi lain dari kekuasaan itu sendiri. Dalam hal ini, ia merupakan implementasi tak formal dari kekuasaan. Karena itu, sejarah preman di negeri ini bisa ditelusuri hingga jauh.
Pada zaman Hindia Belanda, premanisme tumbuh lebih subur. Pada masa ini, para preman semakin tampil ke permukaan. Di Batavia misalnya, para jagoan menguasai jaringan tenaga kerja. Mereka juga menjalin hubungan dengan jaringan pedagang Arab, dalang, pokrol bambu, guru-guru mengaji, serta pentolan-pentolan rampok di kampung-kampung pantai utara Karawang dan hutan-hutan di kaki gunung sebelah selatan. Hubungan tersebut kerap dimanfaatkan untuk menggerogoti kekuasaan kolonial. Karenanya, penguasa kolonial perlu mengerahkan Marsose dan Veldpolitie (polisi kota) untuk menghadapi para jagoan.
Selain pribumi, geng Cina dan Arab eksis juga hingga tahun 1945. Pada tahun 1942 contohnya, Karawang dicekam oleh kelompok Oey Soe Peng dan Tan Goan Kiat. Namun, menurut sejarawan Robert Cribb, para jagoan itu sebenarnya tak pernah membentuk serikat rahasia terstruktur seperti yang ada di Cina. Jadi, ikatan mereka relatif longgar dan cenderung mengandalkan patronase saja. Bukan formal organisatoris.
Modal seorang jawara atau centeng dalam membangun patronase adalah kedigdayaan, nyali serta lobi. Seorang pentolan preman biasanya dipercaya sakti dan pemberani. Selain kebal, mereka bisa membekali pengikutnya dengan jimat. Hubungan dengan penegak hukum mereka jalin, baik secara diam-diam maupun terbuka.. Acap juga mereka bertindak sebagai polisi informal bagi para tuan-tuan tanah yang menyewa mereka. Berkat hubungan baik, sering mereka tak perlu mendekam di bui, sekalipun telah membantai lawan. Hukum besi berlaku bagi mereka: yang kuat dan gesit menjadi pialang kekuasaan, sedangkan yang lemah dan lamban segera menjadi penghuni bui kolonial di Cipinang atau Glodok.
Zaman revolusi bisa dibilang merupakan era kejayaan para preman. Situasi yang serba-bergolak serta sumber daya perjuangan yang minim, membuat mereka dilirik oleh kaum pergerakan progresif. Contohnya antara lain Haji Darip, Pak Macem, Kiai Nurali, Camat Nata, dan Bang Pi-ie. Lasykar Rakyat Jakarta Raya, misalnya, beraliansi dengan Haji Darip, Pak Macem, K.H. Nurali, dan Camat Nata dalam menghadapi penjajah. Sosok para jagoan tersebut bisa mencerminkan ideologi kaum preman saat itu.
Haji Darip berbasis di Bekasi. Wilayah kekuasaannya mencakup Bekasi, Pulogadung, Klender, dan Jatinegara. Pemimpin Barisan Rakyat Indonesia itu, menurut Cribb, menggabungkan perampokan dengan patriotisme. Mangsa mereka adalah orang berkulit terang (Cina, Indo, Eropa) dan berkulit gelap (Ambon dan Timor).
Muhammad Arif alias Haji Darip lahir sekitar tahun 1900. Ayahnya, Gempur, adalah penguasa lama Klender. Pada usia tujuh tahun Haji Darip bersekolah di Mekah. Tiga tahun kemudian ia kembali ke Klender. Lalu, bekerja di jawatan kereta api dan menjadi jagoan. Ia terlibat dalam pemogokan kereta api pada tahun 1923. Lewat Barisan Rakyat Indonesia, jawara yang sempat menjadi pedagang itu menguasai lintasan kereta api di Jakarta Barat. Ia banyak berperan dalam Revolusi '45.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, tokoh yang dihormati sebagai pemimpin agama dan dianggap sakti itu tampil sebagai penguasa Klender. Ia berpengaruh dan disegani para pemimpin Republik di Jakarta. Hubungan pribadinya dengan tokoh revolusi Surabaya, Moestopo, telah mengengkat pamornya.
Di Cibarusa, tenggara Jakarta, pada masa yang sama berkuasa Pak Macem. Ia memimpin kelompok perampok yang sebagian besar anggotanya pejuang berpengalaman. Kegiatan mereka adalah penjarahan, teror, dan mengupayakan hak menentukan nasib sendiri. Di Cibarusa, tokoh intelijen Zulkifli Lubis pernah aktif. Kabarnya, ia pernah merekrut para penjahat Nusakambangan untuk keperluan operasinya.Tak jelas apakah ia berhubungan dengan Pak Macem juga.
Masih pada zaman revolusi, Iman Syafei yang akrab dipanggil Bang Pi-ie menguasai Senen. Bos kelompok Oesaha Pemuda Indonesia itu kelak masuk militer dan berdinas di Divisi Siliwangi. Banyak yang percaya bahwa ia mampu mengalirkan massa ke jalanan di Jakarta untuk unjuk rasa politik. Dalam peristiwa 17 Oktober 1952, disinyalir dia berperan dalam menggerakkan demonstran yang menentang parlemen.
Bang Pi-ie merupakan salah satu pentolan preman yang mencapai kedudukan tertinggi di pemerintahan. Jagoan yang meninggal pada tahun 1982 itu menjadi Menteri Negara Urusan Keamanan Rakyat dalam Kabinet 100 Menteri yang dibentuk Bung Karno pada 21 Februari 1966.
Pada masa revolusi itu, Kiai Haji Nurali "memegang" daerah berpaya-paya di utara Bekasi. Camat Nata dan Bantir di Bekasi. Pak Utom di Cianjur, Bubar di Karawang, Haji Akhmad Khaerun di Tangerang.
Perkembangan selanjutnya, beberapa jagoan itu mulai berorientasi pada kekuasaan formal. Bubar misalnya membenum diri sebagai Bupati Karawang dan menduduki kantor kabupaten. Haji Masum di Cilincing dan Haji Eman di Telukpucung, mengambil alih posisi pemerintah setempat. Pak Macem menjadi Kepala Polisi Cibarusa. Bantir dari Bekasi menjadi mantri polisi, Nata menjadi camat.
Haji Akhmad Khaerun menobatkan diri sebagai "bapak rakyat". Ia melangsungkan revolusi rakyat pada 18 Oktober '45, dengan menghalau seluruh aparat pemerintah setempat. Bupati Tangerang minggat ke Jakarta. Komite Nansional Indonesia Tangerang dibubarkan pada 21 Oktober '45 dan Khaerun menggantikan lembaga itu dengan presidium beranggota empat orang. Orang Jepang, Cina dan Eropa ditangkapi. Kalau tak diusir, mereka dihabisi. Hubungan dengan Jakarta diputus. Tangerang dinyatakan sebagai daerah otonom.
Khaerun, veteran aksi Partai Komunis Indonesia tahun 1926 di Tangerang itu, ahli kebatinan. Pendukungnya--banyak yang haji--dipersenjatai dan mereka disebut lasykar ubel-ubel. Khaerun bersahabat dengan Syekh Abdullah, peranakan Arab pimpinan Barisan Berani Mati atau Lasykar Hitam.
Pentolan kakap lebih suka membentuk lembaga kekuasaan sendiri, tanpa mengusik kekuasaan resmi. Contohnya, Haji Darip di Bekasi.
Ketika hubungan lasykar dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) makin buruk, para jawara itu pun terimbas. Sebagian dari mereka tewas dan yang masih mujur hanya dilucuti. Sebab, dianggap membangkang terhadap kekuasaan resmi. TNI terus berkonsolidasi dan lasykar-lasykar semakin tak mendapat tempat. Bahkan, akhirnya lenyap, baik karena melebur maupun karena diharamkan. Akan halnya preman, mereka tetap eksis sampai sekarang. Hanya mereka tak berpolitik secara terbuka lagi. Memang masih ada saja yang bereksperimen politik, terutama pada masa pembangkangan daerah terhadap pusat. Tapi, hasilnya tak begitu berarti.
* Pascarevolusi
Menyempitnya ruang gerak mereka bersamaan dengan konsolidasi TNI, membuat preman-preman lama tadi tersisih dari pentas besar. Keterbatasan lapangan kerja dan sulitnya ekonomi, menjadikan mereka kian tereliminasi. Akibatnya, banyak dari mereka yang mencoba menekuni kehidupan normal.
Perlahan para preman dari zaman revolusi ini surut. Usia mengadang mereka. Posisi mereka diambil oleh angkatan muda yang orientasi dan gayanya lain. Fenomena ini tampak makin jelas menjelang dekade '60-an. Di Medan misalnya, menurut kriminolog Purnianti Simangunsong, pada tahun 1958-60 muncul geng-geng. Mereka mengidentifikasi diri dengan simbol-simbol, topi, dan sepeda motor. Mereka dinamakan crossboy, karena sering nongkrong di perempatan jalan. Hal serupa terjadi di kota-kota besar semacam Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung. Tapi, menurut Rachmat Hidayat, Bandung-lah yang memulai berandalan bergaya cross boy itu. "Bandung lebih dulu dari Jakarta. Jakarta waktu itu belum ada apa-apa," ujar dia. Setelah Bandung, menurut Rachmat, menyusul Medan, baru Surabaya dan kemudian Jakarta.
Kelompok preman yang mencuat di Bandung pada tahun 1960-an dan 1970-an, antara lain Dollar di Cicadas dan Kobra di Bandung Tengah serta pusat kota. Kobra merupakan akronim dari nama pimpinanya, Kolonel Bratamanggala. Kobra kemudian dipegang Tatto Bratamanggala, anak angkat sang kolonel. Padepokan mereka sekarang bernama BBC (Buah Batu Club) dan dikomandani Kenken.
Selain itu, ada juga kelompok lain seperti Panbor, Sakarima, dan Cikaso Besi. Seiring waktu, para pentolan preman Bandung pun silih berganti. Namun, nama seperti Rachmat Hidayat, Kolonel Bratamanggala, Tatto, Kenken, Alex Bima (Cicadas), Suwarna, dan Yaya (Sakarima), Abas Ali (Cikaso Besi), Ade Madjid (Sukajadi), Martin Bule, Yudi Fox (Merdeka) atau Polce (Tongkeng) tetap dikenang.
Pada awal tahun 1960-an yang dominan di Medan adalah kelompok etnik. Seperti preman Karo, Batak, Aceh, Minang, dan Jawa. Agar tak gontok-gontokan lagi, H.M. Yoenan Effendi Nasution alias Pendi Keling pada tahun 1963 mencoba mempersatukannya dalam Persatuan Pemuda Kota Medan (P2KM). Tapi, organisasi ini tak berusia panjang. Bermunculan kelompok
baru yang namanya selalu memakai boys. Misalnya, Atla Boys pimpinan Richard Simanjuntak, Singa Boys (Jalan Singamangaraja).
Ada juga geng anak orang kaya yang kerjanya pesta dan hura-hura. "Waktu itu geng anak kaya ini bergaya ala James Dean dan Rock Hudson. Gaya twin-nya seperti Cubby Checker," kata seorang pentolan tahun 1960-an. Sampai saat itu, kelompok-kelompok ini tetap menjauhi tindak kriminal. Preman Medan baru terorganisasi setelah Pemuda Pancasila lahir.
Menginjak tahun 1960-an muncul dua kelompok kuat di Surabaya, yaitu Giant dan Viking. Kedua kelompok itu bersaing ketat dan kerap bentrok. Selain itu, ada juga geng perempuan, yakni Selendang Biru. Ibarat merpati yang mencari pasangan, cewek-cewek yang doyan merokok dan minum ini selalu hadir ketika Giant dan Viking perang tanding. Ganja dan morfin masih longgar saat itu.
Pasca-generasi ini muncul kelompok Besi Tua. Sebagian besar anggotanya orang Madura dan berlatar belakang kaum marginal. Musiknya dangdut. Setelah itu yang mencuat adalah kelompok band. Yang terkemuka adalah AKA. Band ini punya sejumlah pasukan, termasuk Lapendoz (laki-laki penuh dosa).
Hingga paro pertama tahun 1980-an, berandalan ugal-ugalan merupakan ciri khas premanisme di Indonesia. Setelah itu yang mencolok adalah premanisme yang digalang oleh organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP), seperti PP, Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan ABRI, Pemuda Panca-Marga atau Warga Jaya. Apakah dengan demikian preman kembali mendapat akses politik? Bisa juga.
Laporan Arinto TW, Abdul Manan, Aendra HM, Bambang Soedjiantoro