Jaksa mengancam saksi akan dipenjarakan kalau tidak menyerahkan uang Rp600 juta. Pelapor memiliki bukti rekaman.
Belum selesai mengurusi aksi suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali harus mengurusi oknum jaksa nakal. Seorang jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan berinisial H dilaporkan Syamsul Bahri, Direktur Politeknik Negeri Sriwijaya (Polsri) Palembang ke Komisi tersebut, Senin (23/6) kemarin. Syamsul datang ke KPK didampingi petugas dari Indonesian Corruption Watch (ICW).
Syamsul sebenarnya masih masuk DPO (daftar pencarian orang) atas dugaan korupsi pengadaan peralatan laboratorium dan bengkel Polsri. Di tingkat pengadilan tinggi ia divonis bebas, dan jaksa mengajukan kasasi. Selain Syamsul, terdakwa dalam kasus ini adalah Syaifullah, staf pembantu keuangan Polsri). Kebetulan kasus yang terungkap pada 2006 silam itu ditangani antara lain jaksa H. Kesempatan itulah yang diduga dimanfaatkan H untuk mengeruk keuntungan. Jaksa tindak pidana khusus itu dilaporkan memeras Syamsul dan saksi M Helmi Shahab, saat itu Pembantu Direktur II Polsri. Dugaan pemerasan itu diperkuat alat bukti transfer dan pengakuan orang yang mentransfer uang jutaan.
Kepada Handoyo, Bidang Pengaduan Masyarakat KPK, pelapor menceritakan aksi pemerasan itu dilakukan dengan cara mengancam Syamsul dan saksi Helmi Shahab akan dipenjarakan kalau tidak memberikan uang pelicin. Merasa takut dengan ancaman itu, saksi Helmi mengirimkan 10 persen dari total Rp600 juta yang diminta. Eh, tak lama setelah duit 60 juta rupiah ditransfer, saksi juga menerima telepon dari seorang yang mengaku jaksa dari Kejari Sukabumi, Jawa Barat, berinisial IB, yang meminta uang dan laptop.
Tanpa sepengetahuan kedua jaksa, aksi pemerasan itu ternyata direkam. Begitu pelapor menunjukkan bukti rekaman, si jaksa akhirnya mengembalikan 50 juta dari 60 juta yang sudah diserahkan. “Begitu kami kasih hasil rekaman, rupanya ada respons. Dia kembalikan 50 juta. Tapi yang 10 juta lagi belum dikembalikan,” jelas Syamsul. Tetapi, gara-gara tak memenuhi permintaan tersebut akhirnya Syamsul Bahri dan Helmi dinyatakan sebagai tersangka kasus lain, yaitu tuduhan penyalahgunaan dana non reguler dan sertifikasi program ekstensi Polsri.
Pengacara Syamsul Bahrie, Humphrey R. Djemat juga sudah melayangkan pengaduan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan atas aksi pemerasan yang dilakukan jaksa H. Dalam surat pengaduan yang salinannya diperoleh hukumonline, Humphrey meminta Kejaksaan menghentikan proses hukum terhadap kasus dana nonreguler dan sertifikasi program ekstensi. Selain itu, Kejaksaan diminta memberikan tindakan tegas terhadap jaksa H. Namun sejak pengaduan itu dimasukkan 3 Agustus tahun silam, kata Syamsul, belum ada kejelasan tindakan Kejaksaan Agung. Bahkan yang terjadi kemudian, jaksa H kembali ditunjuk sebagai penyidik perkara dugaan korupsi dana non reguler dan sertifikasi program ekstensi tadi.
Dalam pertemuan dengan pelapor, Handoyo mengatakan bahwa KPK segera berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Sementara mengenai aksi pemerasannya kemungkinan bakal ditangani sendiri oleh KPK. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung B.D Nainggolan mengaku belum tahu persis kasus pemerasan yang dilakukan oknum jaksa di Kejati Sumatera Selatan tersebut.
Menurut Emerson Yuntho, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Pengadilan ICW, substansi yang dilaporkan ke KPK adalah dugaan pemerasannya. Meskipun ICW mendampingi Syamsul Bahri bukan berarti ICW ingin membela Syamsul dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Pelaporan ke KPK justru untuk membongkar dugaan pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa.
Dihukum
Selain Syamsul Bahri dan Helmi Habib, nama lain yang terseret dalam perkara korupsi di Polsri adalah Syaifullah. Pria kelahiran Agustus 1954 itu ditahan penyidik sejak 10 November 2006. Jaksa menjerat Syaifullah dengan tuduhan melanggar pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menuntut terdakwa lima tahun penjara.
Pada 26 April 2007, Pengadilan Negeri Palembang menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan wajib membayar uang pengganti Rp104 juta. Tiga bulan kemudian, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang tetap menghukum terdakwa tiga tahun, bahkan menaikkan jumlah uang pengganti yang harus dibayar menjadi Rp209 juta. Upaya terdakwa dan jaksa mengajukan kasasi kandas. Pada 29 November 2007 lalu, majelis hakim kasasi beranggotakan Soedarno, Imron Anwari dan Timor P. Manurung menolak permohonan kasasi jaksa dan terdakwa tersebut.
Kini, Syamsul Bahri juga tengah menunggu putusan kasasi atas perkara yang dituduhkan jaksa.
Sumber artikel
Belum selesai mengurusi aksi suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali harus mengurusi oknum jaksa nakal. Seorang jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan berinisial H dilaporkan Syamsul Bahri, Direktur Politeknik Negeri Sriwijaya (Polsri) Palembang ke Komisi tersebut, Senin (23/6) kemarin. Syamsul datang ke KPK didampingi petugas dari Indonesian Corruption Watch (ICW).
Syamsul sebenarnya masih masuk DPO (daftar pencarian orang) atas dugaan korupsi pengadaan peralatan laboratorium dan bengkel Polsri. Di tingkat pengadilan tinggi ia divonis bebas, dan jaksa mengajukan kasasi. Selain Syamsul, terdakwa dalam kasus ini adalah Syaifullah, staf pembantu keuangan Polsri). Kebetulan kasus yang terungkap pada 2006 silam itu ditangani antara lain jaksa H. Kesempatan itulah yang diduga dimanfaatkan H untuk mengeruk keuntungan. Jaksa tindak pidana khusus itu dilaporkan memeras Syamsul dan saksi M Helmi Shahab, saat itu Pembantu Direktur II Polsri. Dugaan pemerasan itu diperkuat alat bukti transfer dan pengakuan orang yang mentransfer uang jutaan.
Kepada Handoyo, Bidang Pengaduan Masyarakat KPK, pelapor menceritakan aksi pemerasan itu dilakukan dengan cara mengancam Syamsul dan saksi Helmi Shahab akan dipenjarakan kalau tidak memberikan uang pelicin. Merasa takut dengan ancaman itu, saksi Helmi mengirimkan 10 persen dari total Rp600 juta yang diminta. Eh, tak lama setelah duit 60 juta rupiah ditransfer, saksi juga menerima telepon dari seorang yang mengaku jaksa dari Kejari Sukabumi, Jawa Barat, berinisial IB, yang meminta uang dan laptop.
Tanpa sepengetahuan kedua jaksa, aksi pemerasan itu ternyata direkam. Begitu pelapor menunjukkan bukti rekaman, si jaksa akhirnya mengembalikan 50 juta dari 60 juta yang sudah diserahkan. “Begitu kami kasih hasil rekaman, rupanya ada respons. Dia kembalikan 50 juta. Tapi yang 10 juta lagi belum dikembalikan,” jelas Syamsul. Tetapi, gara-gara tak memenuhi permintaan tersebut akhirnya Syamsul Bahri dan Helmi dinyatakan sebagai tersangka kasus lain, yaitu tuduhan penyalahgunaan dana non reguler dan sertifikasi program ekstensi Polsri.
Pengacara Syamsul Bahrie, Humphrey R. Djemat juga sudah melayangkan pengaduan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan atas aksi pemerasan yang dilakukan jaksa H. Dalam surat pengaduan yang salinannya diperoleh hukumonline, Humphrey meminta Kejaksaan menghentikan proses hukum terhadap kasus dana nonreguler dan sertifikasi program ekstensi. Selain itu, Kejaksaan diminta memberikan tindakan tegas terhadap jaksa H. Namun sejak pengaduan itu dimasukkan 3 Agustus tahun silam, kata Syamsul, belum ada kejelasan tindakan Kejaksaan Agung. Bahkan yang terjadi kemudian, jaksa H kembali ditunjuk sebagai penyidik perkara dugaan korupsi dana non reguler dan sertifikasi program ekstensi tadi.
Dalam pertemuan dengan pelapor, Handoyo mengatakan bahwa KPK segera berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Sementara mengenai aksi pemerasannya kemungkinan bakal ditangani sendiri oleh KPK. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung B.D Nainggolan mengaku belum tahu persis kasus pemerasan yang dilakukan oknum jaksa di Kejati Sumatera Selatan tersebut.
Menurut Emerson Yuntho, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Pengadilan ICW, substansi yang dilaporkan ke KPK adalah dugaan pemerasannya. Meskipun ICW mendampingi Syamsul Bahri bukan berarti ICW ingin membela Syamsul dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Pelaporan ke KPK justru untuk membongkar dugaan pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa.
Dihukum
Selain Syamsul Bahri dan Helmi Habib, nama lain yang terseret dalam perkara korupsi di Polsri adalah Syaifullah. Pria kelahiran Agustus 1954 itu ditahan penyidik sejak 10 November 2006. Jaksa menjerat Syaifullah dengan tuduhan melanggar pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menuntut terdakwa lima tahun penjara.
Pada 26 April 2007, Pengadilan Negeri Palembang menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan wajib membayar uang pengganti Rp104 juta. Tiga bulan kemudian, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang tetap menghukum terdakwa tiga tahun, bahkan menaikkan jumlah uang pengganti yang harus dibayar menjadi Rp209 juta. Upaya terdakwa dan jaksa mengajukan kasasi kandas. Pada 29 November 2007 lalu, majelis hakim kasasi beranggotakan Soedarno, Imron Anwari dan Timor P. Manurung menolak permohonan kasasi jaksa dan terdakwa tersebut.
Kini, Syamsul Bahri juga tengah menunggu putusan kasasi atas perkara yang dituduhkan jaksa.
Sumber artikel