Sebut saja aku Amanda, usia 25 tahun, calon ibu dari seorang anak berusia tiga bulan di dalam rahimku, yang pernah kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di salah satu kota pelajar di Jawa Timur. Tidak sedikit orang yang mengatakan aku pintar, cantik, dan menarik. Tapi rupanya nasib tak setara dengan kecantikan fisikku. Terlahir sebagai anak sulung dari delapan bersaudara, di sebuah kota kecil di Trenggalek Jatim, perjalanan hidupku bagaikan sebuah cerita sedih bersambung yang tak pernah berakhir … bagaikan sumur tanpa dasar. Kisahku bermula ketika aku lulus SMU beberapa tahun silam. Meski dengan kondisi ekonomi pas-pasan, aku bertekad ingin menggapai kehidupan masa depan yang lebih baik dengan kuliah. Kedua orang tua mendukungku, bahkan karena ingin anaknya bisa mengangkat status sosial ekonomi keluarga, mereka rela menjual sepetak sawah-satu-satunya benda keluarga yang berharga dan memungkinkan dijual, untuk bekal aku kuliah.
Jadilah aku mahasiswi. Sebagai anak kampung, penampilanku biasa-biasa saja, bahkan banyak yang bilang aku terlalu polos dan lugu, enggak cocok jadi anak kuliahan. Padahal, teman-temanku rata-rata ‘penggila mode’. Apa aku yang salah ambil tempat kuliah ya? Kenapa aku bisa terjebak dalam lingkungan perkuliahan (yang ternyata) mahasiswanya rata-rata dari kalangan ‘the have’? Kembali lagi, mungkin karena aku terlalu kuper, sehingga untuk masuk kuliahpun aku tak punya banyak referensi tentang perguruan tinggi yang harus kupilih. Padahal, di kota itu bejibun PTS bisa kupilih. Bahkan, ada juga PTS yang banyak ‘menampung’ orang udik tapi punya uang kuliah seperti aku. Nasi sudah jadi bubur basi! (Tak mungkin disantap lagi meski sudah disulap jadi bubur ayam).
Untuk menutup perasaan minder dan menghindari ’sirik mode’, aku sempat memutuskan untuk memakai jilbab. Tapi akhirnya kutanggalkan karena itu tidak membantuku, malah membuatku jadi seperti orang asing. Dan aku sadar betul, ada perasaan tidak tenang dalam hatiku karena jilbab itu kupakai bukan lantaran keikhlasan dan kesadaran, namun semata-mata karena sebab lain. (sekedar tahu, sekarang pun aku memakai jilbab. Namun kali ini kupakai betul-betul karena panggilan hati).
Akhirnya, kegelisahanku tertangkap juga oleh salah seorang dosenku, sebut saja Jerry. Dia lelaki setengah matang, berperawakan tegap, tampan dengan kumis dan cambang khas seorang perlente. Diam-diam laki-laki yang betah membujang dengan usianya yang di atas kepala empat itu terus memperhatikan aku. Dia seakan terus menguntitku, kemanapun aku pergi. Hingga akhirnya, entah kapan mulainya, tak berapa lama dia menjadi teman curhat istimewa bagiku. Bahkan, perlahan-lahan dia mulai membantu keuangan bulananku yang mulai kembang kempis.
Namun ternyata, tidak ada makan siang yang gratis! Semua yang diberikan Jerry kepadaku, harus kutebus mahal dengan kehormatanku. Aku dipaksa menyerahkan keperawananku di sebuah kamar hotel di kawasan wisata tak jauh dari kota tempatku kuliah. Tentu saja, setelah ‘laki-laki biadab’ itu membubuhkan sesuatu di minumanku. Keperawananku sakit, tapi lebih sakit lagi perasaanku. Aku merasa menjadi perempuan paling kotor di dunia. Tiba-tiba saja bayangan wajah ibu, bapak, dan adik-adikku di kampung melintas begitu saja. Semuanya bagaikan ingin menelanku hidup-hidup. Tapi untunglah itu hanya ilusi ketakutan atas segala dosa yang baru saja kulakukan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tapi Jerry nampak tenang. Bahkan dia sama sekali tidak menyatakan penyesalannya. Tak ada kata maaf pun meluncur dari bibirnya. Dia hanya mengatakan bahwa dengan ‘pengorbanan kecil’ ini dia akan membuat hidupku berubah. Berubah? Ya Tuhan …Ternyata yang dia maksud dengan berubah itu adalah merubah Amanda yang kuper, polos dan lugu ini menjadi Amanda yang glamour, bebas, dan binal !
Perlahan namun pasti, perilaku dan kehidupanku pun mulai berubah. Lewat ‘tangan dingin’ Jerry, akhirnya aku menjadi ‘ayam kampus’ berkelas. Bukan hanya antar sesama penganut freesex seperti Jerry yang bisa menikmati tubuhku, tidak sedikit pejabat maupun pengusaha berkantong tebal yang pernah memeluk dan mereguk kenikmatan dariku. Uang pun tak lagi menjadi soal bagiku. Bahkan, sawah bapak yang pernah terjual di kampung sudah berhasil aku ganti dengan yang lebih luas. Begitu juga adikku nomor dua dan ketiga aku kuliahkan, meski tentu saja tak harus sekota denganku. (Karena di kampung aku mengaku menjadi Sekretaris di sebuah perusahaan ternama).
Lama-lama, aku pun menikmati pekerjaan ini. Aku sudah tidak perduli lagi dengan kasak-kusuk di kampus, atau diusir dari satu kos lalu pindah ke kos lain. Entahlah, segala bentuk dosa sudah kulakoni, dari free sexs, membohongi orang tua, termasuk menggugurkan kandungan hingga tiga kali. Dan aku tak lagi berfikir, apalagi berkhayal tentang surga karena aku begitu yakin bahwa tempatku memang di neraka jahanam!
Namun, memasuki tahun ke empat, tepatnya setahun lalu, tiba-tiba aku menemukan sesuatu yang ganjil dalam hatiku. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kurasakan, aku jatuh cinta kepada salah seorang pemilik konter handpone langgananku. Keseringan membeli pulsa, menukar handphone, membuatku diam-diam memperhatikan Ramzy-sebut saja begitu. Seorang pemuda yang sangat biasa, ramah, santun, lembut, dan suka mencandaiku dengan kalimat-kalimat yang ‘nyess’ di hati. Yang menarik perhatianku, Al-quran dan sajadah selalu saja menghiasi sudut paling atas rak di konternya.
Obrolan yang saling nyambung, perasaan teduh dan tenang bila menatap matanya, tutur katanya yang lembut, membuatku benar-benar tak berdaya. Hingga singkat kata, kami pun merasa saling cocok hati dan pacaran (meski dengan tata cara versi dia yang sangat sopan). Tak lama setelah saling mengungkapkan perasaan, dia pun melamarku ke kampung. Aku pun bahagia bukan kepalang. Bahkan saking bahagia nya aku lupa bahwa masih ada ‘tembok penghalang’ lain yang bisa saja meruntuhkan kebahagiaanku sewaktu-waktu.
Benar juga. Jerry ternyata tidak terima dengan perlakuanku yang langsung ‘hilang’ begitu saja darinya setelah aku jadian dengan Ramzy. Meski nomor handphone lama sudah kubuang, ternyata dia bisa melacak keberadaanku. akibatnya fatal, dia membeberkan semua aib masa laluku kepada Ramzy yang selama ini kusimpan rapat. Tentu saja Ramzy shock berat. Apalagi aku sempat berbohong kepadanya bahwa keperawananku sudah hilang sejak SMP karena belajar naik sepeda. Duh …aku memang salah, aku tak jujur mengatakan segalanya kepada Ramzy. Tapi aku terlalu sayang, terlalu cinta pada Ramzy dan takut akan kehilangannya. Aku takut kejujuranku akan membuatnya jadi membenciku. Aku merasa benar-benar bersalah. Bahkan seandainya, aku tak ingat banyaknya dosa yang telah kubuat dan tak ingat akan kesempatan bertobat yang telah diberikan Allah SWT, saat ini aku pasti sudah bunuh diri.
Apalagi kini aku tengah mengandung anak Ramzy. Memang usianya baru tiga bulan …namun cukup menjadi alasan kuat bagiku untuk tetap mempertahankan hidup. Meski (mungkin) nantinya Ramzy menceraikan aku setelah jabang bayi lahir, aku pasrah bila memang itu hukuman duniawi yang harus kujalani. Karena ternyata aku masih lebih takut hukum di akherat nanti. Tapi seandainya boleh berharap aku pasti tetap mendambakan Ramzy mau memaafkan aku.
Tapi yang jelas, meski masih serumah, hingga hari ini, dia masih saja diam membisu. Bahkan seolah-olah tidak menyadari kehadiranku di sisinya, sebagai istrinya. Tak ada kata marah, tak ada kata cerai dari mulutnya …namun sikapnya itu membuat aku semakin tersiksa. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Seatap dengan suami sah, tapi tidur sendiri, semuanya sendiri. Bahkan, Ramzy tak mau menyentuh sama sekali makanan yang kuhidangkan. Bila pulang kerja, dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar shalat. Duh, sampai kapan aku harus bersabar … ( sumber artikel )