Jakarta - Wakil rakyat ternyata benar-benar merepresentasikan rakyat. Bukan hanya berupa harapan yang baik, tetapi juga perilakunya yang tidak baik. Dan MM melakukan itu. Anggota DPR dari Fraksi PDIP itu dituding menista Desi Firdiyanti. Melecehkan secara seksual terhadap asistennya itu.
�
Dalam pengakuannya, gadis itu tidak hanya direnggut keperawanannya. Malah dalam banyak kejadian, dia disuruh melakukan tarian telanjang. Itu sebelum dia diajak hubungan badan.
�
Kalau saat melakukan hubungan itu gadis ini kesakitan, sudah disediakan pil penahan sakit. Juga, maaf, diberi minyak pelicin vagina. Perangkat untuk 'ritus seks' itu� se-dus dibawa Desi dan diserahkan pada Badan Kehormatan (BK) DPR.
�
Pengakuan blak-blakan Desi itu menyentak banyak pihak. Sebab belum hilang dari ingatan kasus 'sang wakil' dengan Maria Eva, pedangdut yang mengguncangkan jagat Senayan. Kini disusul kasus serupa, dengan kisah pengadeganan yang lebih seru. Menyamai film porno yang beredar di pasar gelap.
�
Contoh dampak laku tak baik itu juga jelas efeknya. Politisi berasal dari Golkar yang diprediksi bakal menempati posisi Menteri Agama terpental. Dia harus tersingkir dari jabatannya sebagai wakil rakyat, dan keluarga, terutama anak-anak harus ikut menanggung malu. Karier, reputasi, harga diri dan harmonisasi sirna hanya gara-gara seks yang tidak pada tempatnya.
�
Dan kini, di tengah sorotan wakil rakyat disuap, dan dipertanyakan nurani serta nalurinya untuk memperjuangkan nasib rakyat, justru kasus itu terulang kembali. Malah bobotnya lebih 'gila'. Apalagi itu dilakukan di ruang yang harusnya steril dari tindakan-tindakan tak terpuji macam itu, yaitu di tempat kerja wakil rakyat.
�
Wakil rakyat ini telah menista Desi. Dia mengeksploitasi tubuh gadis itu untuk kepuasan pribadi. Dia telah merendahkan martabat gadis ini, dan menginjak-injak harkatnya sebagai perempuan. Tragisnya, Desi menuruti semua kegilaan itu karena dia takut kehilangan pekerjaan. �
�
Maka, ketika kehormatan sudah digadaikan tapi pekerjaan yang dicintainya hilang, Desi membuka aib itu. Kebobrokan yang harusnya tidak dilakukan wakil rakyat digeber terang-terangan. Gadis ini meniskalakan rasa malu dan merendahkan diri sendiri. Desi memaparkannya ke publik. Masa depannya telah hancur, dan nampaknya, dia ingin sekaligus menghancurkan orang yang membuatnya ternoda dan hina.
�
Namun kenapa itu harus terjadi pada wakil rakyat? Padahal mereka adalah rakyat pilihan, yang minimal secara moral harusnya terjaga.
�
Ketimpangan-ketimpangan macam itu naga-naganya akan terus berlanjut. Itu sebagai konsekuensi logis dari 'hilangnya' partai secara ideologis. Para kader partai sudah tidak punya 'sesuatu' yang harus diperjuangkan. Sesuatu itu adalah kekuasaan untuk memperbaiki tatanan.
�
Akibatnya yang dikejar wakil rakyat berhenti hanya sampai berkuasa. Dan jika itu sudah diraih, yang diburu akhirnya kekayaan, dan kesenangan. Mereka melakukan rayuan pada rakyat agar memilihnya. Dan ketika terpilih, tindakannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk menyenangkan diri sendiri.
�
Saya jadi ingat Semaun dalam novelnya Student Hijau. Betapa lelaki yang komunis itu, yang memegang uang partai, ketika istrinya sedang ngidam dan minta dibelikan buah apel, ia tak hendak menggunakan uang itu. Ia rela jadi pengemis demi sebuah apel.
�
Untuk itu, kalau kuantitas 'politisi busuk' itu kian hari terus bertambah, tak terbayangkan bagaimana rupa negeri ini ke depan. BK DPR dan partai asal politisi itu harus tegas bertindak. Jika tidak, maka wakil rakyat itu tak beda dengan blantik sapi yang melakukan jual beli kebijakan. Dan bejat moral yang rakyat awam pun jijik mendengarnya.
Keterangan Penulis:
Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com. ( detikcom )