Saya mendengungkan Islam agama kasih-sayang dan mengutuk perbuatan Amerika dan Israel di tanah Palestina, tapi saya harus malu karena ulah saudara seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.
dwi-asih-kartika-ningrum Yang berhak serukan jihad adalah ulama“Islam agama kasih-sayang, haramkan ummat berpecahan. Islam agama kasih-sayang, satukan manusia di dunia.”
Selirik bait dari sebuah lagu nasyid yang sudah beredar kasetnya, yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang indah dan penuh kasih sayang, baik antar pemeluk agama lain maupun dalam Islam sendiri. Islam sebagai salah satu agama terbesar di dunia, memiliki basis masa yang besar untuk bisa mengusung persatuan dan kesatuan dalam ummat Islam itu sendiri, yang dengan kedigjayaannya akan dengan mudah menaklukkan dunia.
Dalam kalangan umat Islam, Al-Qur’an menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistimewaan ini hanya dilakukan dalam bentuk simbolik dengan pahala sebagai bentuk balasannya. Dan menunjukkan hal yang indah-indah kepada khalayak ramai, tanpa mengerti arti sesungguhnya. Sementara kemaknaanya hampir atau telah dilupakan, telah lepas dari konteks kemaknaannya yang substantif, tidak melihatnya dari sisi historis sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dengan segala keilahiannya ditujukan untuk kepentingan manusia, itulah mengapa Al-Qur’an diturunkan selama kurang lebih 23 tahun, yaitu ditujukan untuk menangani kerealitasan yang ada.
Dengan menggunakan pendekatan logika antara teks dan konteks yang melihat realita, maka jelas Al-Qur’an adalah wahyu yang membebaskan manusia dan mendeklarasikan kemerdekaan untuk semua. Tetapi dengan perbedaan tafsir, yang dikatakan membebaskan, bahkan justru mempertegas batas perbedaan dan menebar intoleransi, bahkan antar ummat Islam itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an disebutkan “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..” (Baqarah:256). Perkataan Tuhan telah merepresentasikan bahwa Islam bukan agama paksaan, dan menghargai perbedaan. Contoh sikap Rasulullah SAW pun saling menghargai kepada ummat nasrani dan Yahudi. Sangat disayangkan apabila banyak ummat Islam sendiri yang kemudian bertindak keras kepada ummat Islam yang lainnya, bahkan hingga menimbulkan perpecahan.
Mereka berdalih ingin saling mengingatkan sesuai Firman Tuhan Al-Ashr:3, yang mengatakan untuk saling menasehati kepada sesama manusia. Tetapi saudara, dalam mengingatkan pun, Rasulullah SAW telah mencontohkan yang baik. Etika dalam menasehati telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Tetapi bagaimana dengan mereka yang menasehati saat ini? Mereka mengaku telah berkiblat pada Allah SWT dan Rasulullah SAW, tetapi perilaku mereka tidak mencerminkan sikap itu.
Menasehati untuk memperbaiki keadaan adalah mulia. Kebaikan itu akan menjadi buruk ketika nasehat kepada kebikan itu tidak disampaikan dengan cara yang benar dan baik, misal dengan tutur kata lembut. Si penerima nasehat tidak akan menganggap hal itu adalah bentuk “menggurui”.
Catatan sejarah tindakan anarkis yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) sejak berdiri tahun 1998, sudah banyak. Mulai dari tindakan pengrusakkan fasilitas umum, hingga timbul adanya korban jiwa. Mereka menganggap tindakan mereka baik-baik saja dan itu adalah tindakan untuk menghancurkan kebathilan.
Yang berhak adalah ulama
Saya jadi teringat dengan ulama pembesar di MUI, dalam suatu format debat terbuka yang diadakan di sebuah televisi swasta, saya merasakan bahwa yang berhak mengumandangkan jihad ataupun tidak, yang berhak ber-ijtihad ataupun tidak, adalah ulama. Orang biasa tidak memiliki hak untuk ber-ijtihad, karena dianggap tidak berilmu. Begitu pula dengan pembubuhan gelar “Ustadz”, “Syekh”, dan gelar lain, tidak ada aturan baku untuk membubuhkan gelar itu. Asal dia berilmu agama dan punya kharisma, sepertinya itu saja.
Ulama pemegang tampuk kekuasaan FPI/KLI ber-ijtihad bahwa kebathilan harus dimusnahkan dengan cara apapun, bahkan kekerasan sekalipun. Pada kasus ini, publik pengagum FPI tak pernah sadar atas tindakan eksploitatifnya, karena sudah terjebak pada pemahaman ”apapun yang dilakukannya selalu benar”, karena sang “wali” tidak melarang. Itulah “wali” yang tak akan pernah salah.
Misinterpretasi ini akan berujung pada Islam yang otoriter. Dan pada akhirnya berujung pada pencitraan Islam sebagai kekerasan, tidak ramah dan intoleran. Pemikiran oleh negara-negara Barat ini memang menjadikan beban psikologis umat Islam Indonesia yang sangat dalam. Lebih lagi ketika pencitraan itu berujung pada sebutan Islam adalah teroris. Hal ini dipicu oleh adanya dakwah kultural dari tiap aliran dalam tubuh Islam yang berbeda-beda.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam aksi kekerasan dan pelaku kekerasan yang membuat jatuhnya korban di negara yang berlandaskan hukum. Karena itu, Presiden minta hukum ditegakkan dengan memberi sanksi secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan aksi kekerasan. (Kompas, 3 Juni 2008).
Kasus penyerangan yang dilakukan FPI/KLI kepada AKKBB, sekalipun mungkin AKKBB bersalah, hal itu tidak dibenarkan. Karena negara Indonesia merupakan negara yang memiliki undang-undang hukum yang jelas dan memiliki perangkat alat pengaman dari POLRI dan TNI yang siap sedia mengamankan negara. Sekalipun negara ini adalah negara yang berdemokrasi, dan dalam konstitusional disebutkan bahwa pembentukan ormas dibolehkan, tetapi norma hukum antar ormas juga perlu diindahkan.
Tindakan meninjau keberadaan ormas berbasis agama (FPI/KLI) yang disebut radikal, merupakan langkah nyata Indonesia untuk mengembalikan citra Islam di mata dunia, dan menyelamatkan warganya dari intervensi golongan yang berbeda. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.
Sekalipun ini adalah sebuah konspirasi dunia untuk mencoreng nama Islam, tindakan kekerasan dan saling menyerang dalam tubuh agama itu sendiri, hal ini tetap tidak dibenarkan. Adanya dua ideologi dan aliran berbeda yang saling berseteru dalam sebuah tubuh, maka kehancuran telah dipesan untuk segera dibeli.
Kekerasan menjadi langkah alternatif yang disebut efektif untuk meniadakan golongan yang berbeda. Hal ini menimbulkan inklusifisme bagi golongan tertentu, yang sebetulnya akan menodai seutuhnya ajaran yang mereka anut. Sebagai seorang muslim, saya tidak akan mudah untuk mengatakan bahwa agama lain adalah benar. Tapi bagaimanapun saya cukup malu ketika mendengungkan Islam agama kasih sayang dan mengutuk perbuatan Amerika dan Israel di tanah Palestina, tetapi kenyataan yang ada adalah saya harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.
* Penulis Dwi Asih Kartika Ningrum adalah mahasiswa Universitas Indonesia.
dwi-asih-kartika-ningrum Yang berhak serukan jihad adalah ulama“Islam agama kasih-sayang, haramkan ummat berpecahan. Islam agama kasih-sayang, satukan manusia di dunia.”
Selirik bait dari sebuah lagu nasyid yang sudah beredar kasetnya, yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang indah dan penuh kasih sayang, baik antar pemeluk agama lain maupun dalam Islam sendiri. Islam sebagai salah satu agama terbesar di dunia, memiliki basis masa yang besar untuk bisa mengusung persatuan dan kesatuan dalam ummat Islam itu sendiri, yang dengan kedigjayaannya akan dengan mudah menaklukkan dunia.
Dalam kalangan umat Islam, Al-Qur’an menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistimewaan ini hanya dilakukan dalam bentuk simbolik dengan pahala sebagai bentuk balasannya. Dan menunjukkan hal yang indah-indah kepada khalayak ramai, tanpa mengerti arti sesungguhnya. Sementara kemaknaanya hampir atau telah dilupakan, telah lepas dari konteks kemaknaannya yang substantif, tidak melihatnya dari sisi historis sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dengan segala keilahiannya ditujukan untuk kepentingan manusia, itulah mengapa Al-Qur’an diturunkan selama kurang lebih 23 tahun, yaitu ditujukan untuk menangani kerealitasan yang ada.
Dengan menggunakan pendekatan logika antara teks dan konteks yang melihat realita, maka jelas Al-Qur’an adalah wahyu yang membebaskan manusia dan mendeklarasikan kemerdekaan untuk semua. Tetapi dengan perbedaan tafsir, yang dikatakan membebaskan, bahkan justru mempertegas batas perbedaan dan menebar intoleransi, bahkan antar ummat Islam itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an disebutkan “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..” (Baqarah:256). Perkataan Tuhan telah merepresentasikan bahwa Islam bukan agama paksaan, dan menghargai perbedaan. Contoh sikap Rasulullah SAW pun saling menghargai kepada ummat nasrani dan Yahudi. Sangat disayangkan apabila banyak ummat Islam sendiri yang kemudian bertindak keras kepada ummat Islam yang lainnya, bahkan hingga menimbulkan perpecahan.
Mereka berdalih ingin saling mengingatkan sesuai Firman Tuhan Al-Ashr:3, yang mengatakan untuk saling menasehati kepada sesama manusia. Tetapi saudara, dalam mengingatkan pun, Rasulullah SAW telah mencontohkan yang baik. Etika dalam menasehati telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Tetapi bagaimana dengan mereka yang menasehati saat ini? Mereka mengaku telah berkiblat pada Allah SWT dan Rasulullah SAW, tetapi perilaku mereka tidak mencerminkan sikap itu.
Menasehati untuk memperbaiki keadaan adalah mulia. Kebaikan itu akan menjadi buruk ketika nasehat kepada kebikan itu tidak disampaikan dengan cara yang benar dan baik, misal dengan tutur kata lembut. Si penerima nasehat tidak akan menganggap hal itu adalah bentuk “menggurui”.
Catatan sejarah tindakan anarkis yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) sejak berdiri tahun 1998, sudah banyak. Mulai dari tindakan pengrusakkan fasilitas umum, hingga timbul adanya korban jiwa. Mereka menganggap tindakan mereka baik-baik saja dan itu adalah tindakan untuk menghancurkan kebathilan.
Yang berhak adalah ulama
Saya jadi teringat dengan ulama pembesar di MUI, dalam suatu format debat terbuka yang diadakan di sebuah televisi swasta, saya merasakan bahwa yang berhak mengumandangkan jihad ataupun tidak, yang berhak ber-ijtihad ataupun tidak, adalah ulama. Orang biasa tidak memiliki hak untuk ber-ijtihad, karena dianggap tidak berilmu. Begitu pula dengan pembubuhan gelar “Ustadz”, “Syekh”, dan gelar lain, tidak ada aturan baku untuk membubuhkan gelar itu. Asal dia berilmu agama dan punya kharisma, sepertinya itu saja.
Ulama pemegang tampuk kekuasaan FPI/KLI ber-ijtihad bahwa kebathilan harus dimusnahkan dengan cara apapun, bahkan kekerasan sekalipun. Pada kasus ini, publik pengagum FPI tak pernah sadar atas tindakan eksploitatifnya, karena sudah terjebak pada pemahaman ”apapun yang dilakukannya selalu benar”, karena sang “wali” tidak melarang. Itulah “wali” yang tak akan pernah salah.
Misinterpretasi ini akan berujung pada Islam yang otoriter. Dan pada akhirnya berujung pada pencitraan Islam sebagai kekerasan, tidak ramah dan intoleran. Pemikiran oleh negara-negara Barat ini memang menjadikan beban psikologis umat Islam Indonesia yang sangat dalam. Lebih lagi ketika pencitraan itu berujung pada sebutan Islam adalah teroris. Hal ini dipicu oleh adanya dakwah kultural dari tiap aliran dalam tubuh Islam yang berbeda-beda.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam aksi kekerasan dan pelaku kekerasan yang membuat jatuhnya korban di negara yang berlandaskan hukum. Karena itu, Presiden minta hukum ditegakkan dengan memberi sanksi secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan aksi kekerasan. (Kompas, 3 Juni 2008).
Kasus penyerangan yang dilakukan FPI/KLI kepada AKKBB, sekalipun mungkin AKKBB bersalah, hal itu tidak dibenarkan. Karena negara Indonesia merupakan negara yang memiliki undang-undang hukum yang jelas dan memiliki perangkat alat pengaman dari POLRI dan TNI yang siap sedia mengamankan negara. Sekalipun negara ini adalah negara yang berdemokrasi, dan dalam konstitusional disebutkan bahwa pembentukan ormas dibolehkan, tetapi norma hukum antar ormas juga perlu diindahkan.
Tindakan meninjau keberadaan ormas berbasis agama (FPI/KLI) yang disebut radikal, merupakan langkah nyata Indonesia untuk mengembalikan citra Islam di mata dunia, dan menyelamatkan warganya dari intervensi golongan yang berbeda. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.
Sekalipun ini adalah sebuah konspirasi dunia untuk mencoreng nama Islam, tindakan kekerasan dan saling menyerang dalam tubuh agama itu sendiri, hal ini tetap tidak dibenarkan. Adanya dua ideologi dan aliran berbeda yang saling berseteru dalam sebuah tubuh, maka kehancuran telah dipesan untuk segera dibeli.
Kekerasan menjadi langkah alternatif yang disebut efektif untuk meniadakan golongan yang berbeda. Hal ini menimbulkan inklusifisme bagi golongan tertentu, yang sebetulnya akan menodai seutuhnya ajaran yang mereka anut. Sebagai seorang muslim, saya tidak akan mudah untuk mengatakan bahwa agama lain adalah benar. Tapi bagaimanapun saya cukup malu ketika mendengungkan Islam agama kasih sayang dan mengutuk perbuatan Amerika dan Israel di tanah Palestina, tetapi kenyataan yang ada adalah saya harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.
* Penulis Dwi Asih Kartika Ningrum adalah mahasiswa Universitas Indonesia.