Istilah siaga satu di dunia militer identik dengan keadaan darurat. Begitulah juga keadaan pencemaran udara di Indonesia. Terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Dari semua penyebab yang ada, emisi transportasi terbukti sebagai penyumbang pencemaran udara tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 85 persen. Masalahnya, jumlah kendaraan bermotor di perkotaan bukannya menurun, tapi justru bertambah banyak. Akibatnya, mau-tak mau, kualitas udara di kawasan ini terus anjlok.
Bandung, contohnya, walaupun terkenal sebagai kota bunga yang dinaungi pepohonan rimbun, ternyata kadar timbalnya melebihi 2 mikrogram per meterkubik. Ini jelas sudah jauh lebih besar dari standar baku mutu yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia alias WHO (World Health Organization) yaitu tak boleh lebih dari 0,5 mikrogram per meterkubik. "Indonesia memang satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum bebas timbal. Jangan heran kalau tingkat polusi di sini menduduki ranking ketiga dunia," ungkap Budi Haryanto, SKM., MSPH., MSc., peneliti pada Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
EMISI PEMICU TIMBAL
Seperti diketahui, kadar emisi kendaraan merupakan pemicu meningkatnya kadar timbal (Pb) di udara. Nah, timbal-timbal yang beterbangan di udara tersebut, sekitar 85 persennya akan terhirup oleh manusia. Sisanya, 14 persen masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman dan air. Sedangkan 1 persennya masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
Jika masuk ke dalam tubuh, zat aditif ini akan merusak pembentukan sel-sel darah merah yang jelas dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Pada anak-anak, misalnya, bisa terjadi anemia.
Memang, di masa pertumbuhan sel-sel darah merah terus diproduksi. Namun, karena masuknya timbal akan merusak sel darah merah, maka jumlahnya makin lama makin berkurang dan akhirnya anak menderita anemia.
Timbal yang masuk ke dalam tubuh juga akan merusak sel-sel darah merah yang mestinya dikirim ke otak. Akibatnya, terjadilah gangguan pada otak. Hal yang paling dikhawatirkan, anak bisa mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Dalam hal pertumbuhan fisik, keberadaan timbal ini akan berdampak pada beberapa gangguan, seperti keterlambatan pertumbuhan dan gangguan pendengaran pada frekuensi-frekuensi tertentu.
Pada orang dewasa, timbal dapat mempengaruhi sistem reproduksi atau kesuburan. Zat ini dapat mengurangi jumlah dan fungsi sperma sehingga menyebabkan kemandulan. Timbal juga mengganggu fungsi jantung, ginjal, dan menyebabkan penyakit stroke serta kanker.
Ibu hamil akan menghadapi risiko yang tinggi jika kadar timbal dalam darahnya di ambang batas normal. Timbal ini akan menuju janin dan menghambat tumbuh-kembang otaknya. Risiko lain adalah ibu mengalami keguguran.
Yang perlu diketahui, timbal layaknya musuh dalam selimut. Awalnya, kadar timbal yang tinggi dalam darah tidak akan menunjukkan gejala penyakit. Dampak baru muncul dalam jangka panjang. "Kelihatannya anak akan sehat-sehat saja. Namun kalau diperiksa darahnya, akan terlihat kadar timbal dalam darah yang tinggi," papar staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.
PENELITIAN DAMPAK TIMBAL
Sudah banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan pencemaran timbal. Pada tahun 2001 anak-anak pernah dijadikan sampel riset dampak timbal. Dari sampel darah sebanyak 400 yang diambil dari siswa SD kelas II dan III di Jakarta, hasilnya sekitar 35 persen sampel ternyata memiliki kadar timbal dalam darah di atas normal. Angka ini berarti melebihi ambang batas kadar timbal pada tubuh anak-anak yang ditetapkan CDC (Center for Deseases Control and Prevention) yang hanya 10 mikrogram per desiliter.
Penelitian yang tak jauh berbeda digelar di Bandung. Dari 10 sampel murid SD Kebon Kelapa, ternyata 8 anak memiliki kadar timbal pada darah di atas ambang batas. Sementara lima di antara 20 anak yang dijadikan contoh penelitian di SD Banjarsari dinyatakan memiliki kadar timbal dalam darah yang termasuk kategori tinggi. Bahkan, ada yang mencapai lebih dari 20 mikrogram per desiliter, yang artinya dua kali lipat dari ambang batas normal.
Beberapa riset sengaja dilakukan secara berkesinambungan untuk melihat kecenderungan menurun atau meningginya kadar timbal di kota-kota besar di Indonesia. Yang terbaru adalah Mei 2004 lalu. Penelitian dilakukan selama 1 bulan dengan mengambil 200 sampel darah anak SD kelas III dan IV, dari 28 SD di Jakarta Utara dan Selatan. Hasilnya memang belum selesai digarap. Namun, jika menilik penelitian sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun 2003, kadar timbal di udara Jakarta sudah turun menjadi 0,2 miligram per meter kubik udara. Ini jika dibandingkan tahun 2001 yang mencapai 1,7 sampai 3,5 miligram per meter kubik udara. Jadi sudah turun sekitar 10 kali lipat dari angka tahun 2001.
Rencananya, di tahun 2005 juga akan dilakukan penelitian pada 200 anak SD.
Penelitian ini dilakukan Pusat Penelitian Kesehatan UI bekerja sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency), DEMS (Desentralized Environtmental Management System) dan USAEP (United State Asia Environtmental Partnership).
MENANTI KEBIJAKAN
Lalu, adakah upaya untuk mengurangi kadar timbal di udara? Menurut Budi, tak ada cara lain kecuali menggunakan bensin tanpa timbal. Dalam hal ini, pemerintahlah yang berwewenang menentukan kebijakan penghapusan bensin bertimbal. Di Indonesia baru beberapa kota yang sudah mengampanyekan bensin tanpa timbal. Di antaranya adalah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Kampanye serupa juga dilakukan di Cirebon, Surabaya dan Batam pada tahun 2003. Sayangnya, kebijakan ini belum diterapkan secara nasional.
Menurut Budi, Indonesia sebenarnya dapat mencontoh "keseriusan" negara-negara tetangga dalam mengampanyekan bensin tanpa timbal. India, umpamanya, hanya dalam hitungan satu tahun sudah bisa mengganti bensin bertimbal. Sedangkan Thailand butuh 2 tahun untuk menjadi negara bebas timbal. "Masyarakat di sini masih saja menanti kebijakan pemerintah."
Diambil dari www.tabloid-nakita.com
Bandung, contohnya, walaupun terkenal sebagai kota bunga yang dinaungi pepohonan rimbun, ternyata kadar timbalnya melebihi 2 mikrogram per meterkubik. Ini jelas sudah jauh lebih besar dari standar baku mutu yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia alias WHO (World Health Organization) yaitu tak boleh lebih dari 0,5 mikrogram per meterkubik. "Indonesia memang satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum bebas timbal. Jangan heran kalau tingkat polusi di sini menduduki ranking ketiga dunia," ungkap Budi Haryanto, SKM., MSPH., MSc., peneliti pada Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
EMISI PEMICU TIMBAL
Seperti diketahui, kadar emisi kendaraan merupakan pemicu meningkatnya kadar timbal (Pb) di udara. Nah, timbal-timbal yang beterbangan di udara tersebut, sekitar 85 persennya akan terhirup oleh manusia. Sisanya, 14 persen masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman dan air. Sedangkan 1 persennya masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
Jika masuk ke dalam tubuh, zat aditif ini akan merusak pembentukan sel-sel darah merah yang jelas dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Pada anak-anak, misalnya, bisa terjadi anemia.
Memang, di masa pertumbuhan sel-sel darah merah terus diproduksi. Namun, karena masuknya timbal akan merusak sel darah merah, maka jumlahnya makin lama makin berkurang dan akhirnya anak menderita anemia.
Timbal yang masuk ke dalam tubuh juga akan merusak sel-sel darah merah yang mestinya dikirim ke otak. Akibatnya, terjadilah gangguan pada otak. Hal yang paling dikhawatirkan, anak bisa mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Dalam hal pertumbuhan fisik, keberadaan timbal ini akan berdampak pada beberapa gangguan, seperti keterlambatan pertumbuhan dan gangguan pendengaran pada frekuensi-frekuensi tertentu.
Pada orang dewasa, timbal dapat mempengaruhi sistem reproduksi atau kesuburan. Zat ini dapat mengurangi jumlah dan fungsi sperma sehingga menyebabkan kemandulan. Timbal juga mengganggu fungsi jantung, ginjal, dan menyebabkan penyakit stroke serta kanker.
Ibu hamil akan menghadapi risiko yang tinggi jika kadar timbal dalam darahnya di ambang batas normal. Timbal ini akan menuju janin dan menghambat tumbuh-kembang otaknya. Risiko lain adalah ibu mengalami keguguran.
Yang perlu diketahui, timbal layaknya musuh dalam selimut. Awalnya, kadar timbal yang tinggi dalam darah tidak akan menunjukkan gejala penyakit. Dampak baru muncul dalam jangka panjang. "Kelihatannya anak akan sehat-sehat saja. Namun kalau diperiksa darahnya, akan terlihat kadar timbal dalam darah yang tinggi," papar staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.
PENELITIAN DAMPAK TIMBAL
Sudah banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan pencemaran timbal. Pada tahun 2001 anak-anak pernah dijadikan sampel riset dampak timbal. Dari sampel darah sebanyak 400 yang diambil dari siswa SD kelas II dan III di Jakarta, hasilnya sekitar 35 persen sampel ternyata memiliki kadar timbal dalam darah di atas normal. Angka ini berarti melebihi ambang batas kadar timbal pada tubuh anak-anak yang ditetapkan CDC (Center for Deseases Control and Prevention) yang hanya 10 mikrogram per desiliter.
Penelitian yang tak jauh berbeda digelar di Bandung. Dari 10 sampel murid SD Kebon Kelapa, ternyata 8 anak memiliki kadar timbal pada darah di atas ambang batas. Sementara lima di antara 20 anak yang dijadikan contoh penelitian di SD Banjarsari dinyatakan memiliki kadar timbal dalam darah yang termasuk kategori tinggi. Bahkan, ada yang mencapai lebih dari 20 mikrogram per desiliter, yang artinya dua kali lipat dari ambang batas normal.
Beberapa riset sengaja dilakukan secara berkesinambungan untuk melihat kecenderungan menurun atau meningginya kadar timbal di kota-kota besar di Indonesia. Yang terbaru adalah Mei 2004 lalu. Penelitian dilakukan selama 1 bulan dengan mengambil 200 sampel darah anak SD kelas III dan IV, dari 28 SD di Jakarta Utara dan Selatan. Hasilnya memang belum selesai digarap. Namun, jika menilik penelitian sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun 2003, kadar timbal di udara Jakarta sudah turun menjadi 0,2 miligram per meter kubik udara. Ini jika dibandingkan tahun 2001 yang mencapai 1,7 sampai 3,5 miligram per meter kubik udara. Jadi sudah turun sekitar 10 kali lipat dari angka tahun 2001.
Rencananya, di tahun 2005 juga akan dilakukan penelitian pada 200 anak SD.
Penelitian ini dilakukan Pusat Penelitian Kesehatan UI bekerja sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency), DEMS (Desentralized Environtmental Management System) dan USAEP (United State Asia Environtmental Partnership).
MENANTI KEBIJAKAN
Lalu, adakah upaya untuk mengurangi kadar timbal di udara? Menurut Budi, tak ada cara lain kecuali menggunakan bensin tanpa timbal. Dalam hal ini, pemerintahlah yang berwewenang menentukan kebijakan penghapusan bensin bertimbal. Di Indonesia baru beberapa kota yang sudah mengampanyekan bensin tanpa timbal. Di antaranya adalah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Kampanye serupa juga dilakukan di Cirebon, Surabaya dan Batam pada tahun 2003. Sayangnya, kebijakan ini belum diterapkan secara nasional.
Menurut Budi, Indonesia sebenarnya dapat mencontoh "keseriusan" negara-negara tetangga dalam mengampanyekan bensin tanpa timbal. India, umpamanya, hanya dalam hitungan satu tahun sudah bisa mengganti bensin bertimbal. Sedangkan Thailand butuh 2 tahun untuk menjadi negara bebas timbal. "Masyarakat di sini masih saja menanti kebijakan pemerintah."
Diambil dari www.tabloid-nakita.com