“Zaman edan. Semua sekarang serba mahal. Yang murah cuma janji para pemimpin.” Demikian sebuah spanduk putih yang ditempel di belakang terminal transit Pasar Rumput yang berseberangan dengan Pasaraya Grande, Jakarta. Orang-orang yang hendak menunggu metromini di sana pasti melihat dan membaca spanduk ini.
Suroto (34), tukang rokok yang tiap hari berjualan di sekitar terminal mengaku tidak tahu kapan tepatnya spanduk itu dipasang di sana. “Tapi isinya kan bener Mas, saya dan teman-teman di sini pun setuju dengan itu, ” ujarnya kepada eramuslim yang tengah menunggu bus (14/6)
Suroto dan banyak rekan-rekannya sesama pedagang asong mengaku jika sekarang ini hiudpnya tambah sulit. “Dulu sudah susah Mas, tapi sekarang kayanya kok tambah susah saja. Uang itu gak ada nilainya lagi.”
Selama pemerintahan SBY-JK yang kini sudah mendekati usia lima tahun, kehidupan rakyat Indonesia memang kian melarat. Jurang kesenjanagan sosial antara rakyat banyak dengan para pejabat negara dan aparatnya kian dalam dan lebar. Tidak perlu data survey BPS atau survei-survei dari lembaga survei partikelir atau lembaga bayaran dari kelompok ini dan itu, yang mengatakan jika angka kemiskinan di Indonesia telah menurun, tapi kenyataan di lapangan sulit untuk dibantah jika orang-orang miskin di Indonesia ini kian lama kian meningkat drastis.
Salah satu indikator tentang betapa frustasinya rakyat kecil menghadapi kehidupan yang makin sulit adalah tingginya angka bunuh diri yang terjadi. Menurut data dari Kepolisian Wilayah Banyumas saja, dalam tempo empat bulan sejak Januari hingga April 2008, rakyat miskin yang melakukan bunuh diri di wilayah yang kecil tersebut sudha mencapai 28 orang.
Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Banyumas, Kombes Pol Boy Salamudin, menyatakan para pelaku biasanya menggunakan seutas tali atau minum racun serangga untuk mengakhiri hidupnya. Dan seluruh kasus tersebut disebabkan mereka tidak kuat menahan kemiskinan yang kian melilit hidupnya. ''Setelah kita data dan rekap semua kasus bunuh diri yang terjadi di jajaran Polwil Banyumas, ternyata semuanya karena kemiskinan, '' ungkap Boy yang menambahkan data di tahun 2007 ada 59 kasus bunuh diri terjadi di daerahnya.
Kemiskinan di Indonesia sama sekali bukan diakibatkan masyarakatnya malas bekerja. Rakyat Indonesia adalah pekerja keras. Namun walau sudah bekerja keras, banting tulang atau jika perlu memeras keringat dan darah, tetap saja mereka miskin. Uang halal yang peroleh tidak mampu mengangkat kehidupan mereka keluar dari lubang kemiskinan.
Di lain sisi, kehidupan orang-orang yang tadinya biasa saja, setelah menjadi pejabat, kehidupannya berubah drastis. Yang tadinya pengangguran kini ke mana-mana naik mobil pribadi. Yang tadinya biasanya pake kaos dan sarungan tiap hari—terutama anggota DPR—sekarang ke kamar mandi pun pakai dasi dan jas.
Kemiskinan di Indonesia disebabkan pengkhianatan para pejabat negaranya terhadap rakyatnya sendiri. Mendekati pemilu, seperti sekarang ini, mereka mengeluarkan ribuan janji muluk kepada rakyat, namun setelah berkuasa, janji itu mereka lupakan. Yang mereka kejar pertama kali adalah mengejar Break Event Point mahar politik yang sudah diserahkan kepada pihak-pihak tertentu saat pemilu atau pilkada.
Yang kedua, menghimpun dana sebanyak-banyaknya agar empat tahun ke depan sudah punya modal yang sangat cukup agar bisa terpilih lagi.
Ketiga, mengutak-atik anggaran negara mencari celah agar bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya demi kepentingan diri, keluarga, partai, dan kelompoknya sendiri. Untuk kesejahteraan rakyat? Itu nomor ke seratus juta.
Di tahun 1990-an, Dr. Arief Budiman, Sosiolog yang kini menetap di Australia, menyatakan, “Dari sepuluh peraturan yang dikeluarkan wakil rakyat, maka sembilannya untuk kepentingan si pejabat.” Hal ini sudah berlangsung puluhan tahun di bumi pertiwi ini dan terus menggila sampai sekarang.
Lantas jika demikian faktanya, masih pentingkah kita ikut pemilu? (eramuslim)