Film Hollywood Ala Indonesia

Kalau film murahan ala Hollywood hanya bisa menampilkan adegan kekerasan saja, itu masih bisa diterima, tapi kalau kehidupan di negeri ini isinya melulu kekerasan, mungkin itu tidak bisa diterima…

Hingga hari ini atau mungkin juga sampai esok hari, aku masih belum bisa berpikir tentang raibnya isu kenaikan BBM yang kalau boleh jujur sangat aku tentang. Otakku mungkin masih terkontaminasi pikiran-pikiran, bahwa isu kenaikan BBM akan semakin memuncak dan mungkin bisa mencapai klimaks setelah kasus penyerangan polisi ke Kampus Unas Jakarta. Tapi, sayang itu hanya pikiranku saja dan kenyataan berkata lain.

Kenyataan memang berkata lain, saat ini isu dan berita yang lagi tren adalah penyerangan di Monas, pembubaran FPI, buronnya Munarman. Walaupun aku juga tahu suatu saat nanti, isu dan berita itu akan tergerus oleh isu dan berita lainnya yang mungkin lebih hangat dan aktual.

Dua kejadian yang menurutku cukup besar, kenaikan harga BBM dan penyerangan di Monas sedikit banyak menjadikan aku tersadar bahwa berita dan masalah boleh datang dan pergi tanpa diundang dan tak perlu ijin pergi, namun berita dan masalah itu selalu disertai oleh kekerasan dan penghinaan terhadap kemanusiaan. Tak perlu kiranya, kita kembali mengingat tragedi Mei 1998 atau kasus penculikan aktivis atau mungkin juga kasus Malari, karena itu semua hanya mengingatkan kita akan sebuah bahaya laten di negara ini, kekerasan.

Kasus penyerangan Unas oleh polisi menyadarkan kita bahwa setelah 10 tahun reformasi aparat negara masih bersikap represif terhadap rakyatnya sendiri. Serangan balik mahasiswa pascabentrokan Unas juga membuka mata kita bahwa kalangan anak muda belum dewasa dalam menghadapi tindakan represif aparat dan selalu saja kekerasan dibalas dengan kekerasan.

Ketika kasus Unas mulai dilupakan, kini malahan kekerasan secara terang-terangan malah dilakukan tanpa tedeng. Tak perlu kaget jika FPI cukup akrab dengan kekerasan. Dan kini korbannya adalah massa AKKBB di Monas. Track record FPI memang tidak perlu disanksikan lagi, mulai dari razia tempat hiburan malam, swepping majalah Playboy, kini massa AKKBB yang menurut versi FPI, massa pro Ahmadiyah menjadi korbannya.

Aku tidak kaget ketika kejadian itu terjadi karena sejak tahun 2003, Slank telah meramalkannya dalam lirik lagu Gossip Jalanan “Pernah nggak lo denger teriakan Allahhu Akbar, pake peci tapi kelakuakan barbar, ngerusakin bar, orang ditampar-tampar.” Jadi setelah lagu itu sahih dan terbukti benar di kalangan DPR, kini lagu itu terbukti lagi kebenarannya.

Semua orang mengutuk, menyalahkan dan menyudutkan FPI atas kejadian di Monas. Dan aku pikir atas dasar apapun itu, aksi penyerangan itu tetap tidak dibenarkan. Kini, semua orang berbondong-bondong meminta FPI dibubarkan. Namun, sayang aksi kekerasan FPI di Monas dan permintaan pembubaran FPII dibalas dengan kekerasan.

Ormas-ormas yang bernama Garda Bangsa atau Bela Bangsa atau apapun itu namanya, mulai melakukan swepping pengikut FPI dan memaksa pengurus FPI di daerah-daerah untuk membubarkan diri. Memang tidak ada kekerasan fisik atau adu jotos, tapi bukankah pemaksaan kehendak dengan bahasa halusnya adalah permintaan membubarkan diri jika tidak membubarkan diri maka Ormas itu akan mengambil tindakan, itu juga tetap merupakan kekerasan, kekerasan psikologis.

Yang lebih menyakitkan adalah orang-orang yang mengaku prodemokrasi, malah turut ambil bagian dalam “upaya pembubaran FPI” dengan cara-cara kekerasan, bukan cara-cara elegan dan damai. Memang mereka tidak balas memukuli orang-orang FPI, namun ucapan, omongan mereka yang menyudutkan hingga sebenar-benarnya menyudutkan terus mengisi koran, mengisi talkshow di televisi dan radio.

Aku sangat miris melihat Rizal Malarangeng yang jelas-jelas lebih pintar dari aku, juga ikut ambil bagian dalam cara-cara kekerasan itu saat membawakan program acara Save Our Nation di MetroTV. Bagaimana cara Rizal berbicara, intonasinya hingga penekanannya agar bangsa ini tidak lagi menerima orang-orang semacam anggota FPI. Belum lagi, talkshow itu hanya mengambil narasumber dari pihak-pihak yang “pro” pembubaran FPI. Jadi aku bertanya mana keberimbangannya? Siaran itu dipancarkan ke masyarakat pemirsa TV dan tanpa adanya keberimbangan dalam talkshow, itu artinya masyarakat dipaksa hanya mendengar dan mengetahui dari satu versi (versi “pro” pembubaran FPI) dan dipaksa tidak mengetahui dari versi lainnya. Apakah ini artinya pembungkaman yang sama artinya dengan kekerasan. Bukankah demokrasi mengajarkan keterbukaan dan menolak pembungkaman?

Tindakan FPI yang menyerang massa AKKBB tidak dapat dibenarkan, namun aksi yang dilakukan Ormas yang memaksakan kehendak membubarkan FPI juga tidak ada pembenarannya. Tindakan FPI yang main hakim sendiri jelas-jelas salah, namun omongan orang-orang yang katanya intelektual dan prodemokrasi yang juga main hakim sendiri membuat pernyataan juga tidak dibenarkan.

Kalau semua orang di negeri ini hanya jago bikin kekerasan dengan cara-caranya sendiri entah itu main pukul orang, pemaksaan kehendak hingga pembuatan acara di media yang tidak berimbang, mungkin memang sejarah bangsa ini dipenuhi kekerasan dan penginjak-injakan kemanusiaan. Atau mungkin saja, orang-orang di negara ini layaknya pemeran film murahan ala Hollywood yang hanya bisa menampilkan adegan kekerasan saja. angscript.wordpress.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris