Pengumuman! Aku lagi latah.
Ada yang sudah ngintip film “Fitna“? Aku belum. Ndak sempat, soale. Biasalah, eksekutip muda. Jadinya agak suwibuk. Suwibuk sesuwibuk-suwibuknya. Waktuku habis buat ngetes kinerja UU ITE yang menghebohkan itu, yang katanya akses buat mbuka situs-situs porno dari Indonesia ditelikung di tengah jalan. Harapannya, sih, nggak bakal ada anak-anak bangsa ini yang berhasil mbuka situs porno. Maka, dengan semangat ala mahasiswa 98, hal tersebut kutes, dan hasilnya ternyata aku tetap aja bisa berselancar dengan tenang mbuka situs-situs terlarang itu via proxy, semacam NinjaProxy atau HideMyAss. Komik-komik saru pun pada akhirnya tetap bisa didonlot sama siapa pun yang kepengen ndonlot. Cuma gara-gara kayaknya Allah masih sayang sama aku sehingga aku dijauhkan sama hal-hal model begitu, aku selalu gagal ndonlot komik-komik tersebut gara-gara koneksi internet yang mendadak putus di tengah jalan (jindal!).
Tapi kesimpulannya ya tetap aja: Dana 30 tereliyun buat proyek UU ITE terbuang percuma. Mending kalo sekarang masih ada duit yang belum kepake, cepat-cepat aja, deh, dialihin sama pemerintah buat sedekah! Kayaknya juga bakal lebih barokah.
Balik ke masalah “Fitna”. Setelah baca-baca literatur dari berbagai sumber, aku jadi tau kalo film itu - konon katanya - menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh dengan kekerasan, penebar kebencian, pecinta darah dari berbagai golongan (entah itu golongan darah A, B, AB, atau juga O). Tentu saja hal macam gituan bikin panas orang-orang Islam. Yang agak pinter masih bisa bereaksi nenang-nenangin diri sambil berusaha cuek. Tapi yang goblok - dan ini celakanya. Masih banyak orang Islam yang goblok di Indonesia - langsung bereaksi spontan kepengen membalas perbuatan itu dengan cara seperti yang dituduhkan di film itu. Idiot!
Jadi gara-gara baca-baca blognya Retorika, aku jadi ngeliat berbagai macam reaksi manusia-manusia goblok itu dalam bentuk komentar. Ada yang dengan tololnya malah komentar kalo sekarang berarti sudah saatnya bendera perang benar-benar dikibarkan gara-gara tindakannya Geert Wilders, si tukang bikin film tersebut.
Eee… Goblok betul sampeyan itu, batinku waktu mbaca komentar model gitu. Islam itu, kan, di film “Fitna” lagi didakwa sebagai pelaku kekerasan, lha, kok sekarang malah pengen nunjukin kalo apa yang dituduhkan itu ternyata benar? Dasar bego! Orang itu otaknya di dengkul sebelah kiri atau sebelah kanan, ya?
Ini, kan, sama aja kayak kalo misalnya ada yang memaki aku, “Joe, kampret kowe! Jadi manusia, kok, bisanya cuma misuh aja? Mulut nggak ditata! Mau jadi apa kamu nanti kalo sudah diwisuda?!”
Maka aku pun menjawab, “Heh! Laknat kowe! Berani-beraninya kamu ngomong kayak gitu, dasar anak haram! Apa buktinya, babi?! Ngomong itu dipikir dulu, kadal bercula! Mbahmu salto, berani-beraninya bilang aku suka misuh. Dasar anak lonte, nenekmu perek, adikmu sundal, bapakmu germo! Anjing sampeyan! Biawak! Telek kecoak! Bunglon bunting! Muka kayak gorila beraninya nuduh aku yang bukan-bukan. Dasar kuda nil, monyet sinting, komodo, dinosaurus, masthodon, pterodactyl, triceratops, harimau sabretooth, tyranosaurus-rex!!!”
Lha, baca, nggak? Aku lagi dituduh suka misuh. Dan demi membela harga diri ternyata aku malah misuh. Justru menunjukkan sebuah kebenaran dari apa yang tadinya hendak kita sangkal. Apa nggak goblok kuadrat itu namanya? Untunglah aku nggak segoblok itu. Alhamdulillah…
Terus yang lain, ada juga yang nyaranin supaya orang Islam mbales dengan bikin gambar karikaturnya Yesus. Ealah… Yang ini sama aja gebleknya. Apa salahnya orang Kristen secara keseluruhan, kok orang Islam harus mbikin karikaturnya Yesus? Mas Yogi, Mbak Esti, Dik Sita, Mas Arad, si Creez, Mank Bayu, Ceper, Sympati, Ucup, Binson, atau bahkan Ayu nggak pernah bikin salah sama aku (aku malah sempat naksir Ayu segala), terus kenapa aku harus menghina keyakinan mereka? Yang salah, kan, sutradaranya film itu, bukan mereka. Yang salah cuma 1 orang, kok, orang-orang yang lain harus dilibatkan? Dasar otak amoeba (eh, amoeba punya otak, ndak, sih? Aku lupa)!
Itu juga ya kalo sutradaranya film “Fitna” itu bener-bener orang Kristen. Lha, kalo bukan? Lha, kalo dia itu oknum dari agama lainnya atau malah sama sekali nggak beragama, apa ndak salah sasaran namanya? Makanya, kalo mau ngamuk itu dipikir dulu, John.
Ada juga yang nuduh memang begitulah sifat dasarnya orang Yahudi, nggak akan pernah rela sama orang Islam. Ini juga sembrangkangan. Emangnya iya pak sutradaranya itu orang Yahudi? Kok, yakin betul? Jadi mana yang benar, si sutradara itu orang Kristen atau orang Yahudi?
Makanya saranku, sekarang orang-orang Islam mulai aja berlomba-lomba nunjukin kalo Islam itu memang agama yang simpatik, yang jauh dari apa yang dituduhkan film “Fitna” itu. Jangan malah melakukan tindakan yang justru menunjukkan apa yang dituduhkan di film itu jadi benar. Selama ini orang Islam dicap sebagai biang kerusuhan, kan, karena memang masih banyak oknum-oknum yang memang jadi tukang rusuh, yang merasa penafsirannya terhadap agama adalah yang paling benar, ya jadilah anggapan dunia di luar sana jadi kayak gitu.
Dan aku juga jadi inget sama poster propaganda yang sempat kugoblok-goblokin kapan hari itu. Lanjutannya, oknum-oknum Hizbut Tahrir di kampus kembali memasang poster yang bunyinya kurang-lebih: “Penghinaan terhadap Nabi yang terus-menerus adalah bukti kemudharatan HAM dan sistem demokrasi”, yang ujung-ujungnya mengajak umat Islam untuk menolak HAM dan demokrasi dengan alasan 2 hal itu adalah produk kafir barat, yang padahal menurutku Islam pun tetap mengajarkan HAM dan demokrasi (hanya saja teksnya dalam bahasa Arab. Bukan dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia).
Pola pikir yang njempalik, batinku. Nabi ditampilkan dalam karikatur bertema kekerasan ya justru karena selama ini masih banyak oknum umat Islam yang kelihatan menentang HAM. Kalo akhirnya umat Islam bener-bener menentang HAM, apa nggak jadinya karikatur Nabi justru tambah banyak?
Lanjutannya, 1 set poster yang terpajang di depan ruang Himakom itu pun kusobek dari tempatnya. Aku nggak mau ada pandangan buruk terhadap umat Islam dari orang-orang di luar Islam. Ceper yang kebetulan nggak sekeyakinan sama aku malah berkomentar ke aku, “Menurutmu mungkin itu salah, Joe. Tapi cobalah kamu bertoleransi dengan pandangan mereka yang menganggap hal itu benar. Nggak perlu sampe disobek kayak gitu.”
“Masalahnya, poster itu terlihat sama aku, Per. Dan aku menganggap hal itu salah, makanya kusobek. Lagian, bukan pada tempatnya sentimen keberagamaan diletakkan pada instansi umum. Wong iki neng kampus, kok. UGM, kan, nggak bisa diklaim sebagai cuma milik orang Islam,” jawabku.
Kuakui, waktu itu aku memang emosi. Dan jujur, dibanding dengan emosi kepada oknum-oknum yang memelintir keyakinanku dengan seenaknya, aku jauh lebih emosi sama kegeblekan saudara-saudara seimanku sendiri. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku. Amin!
Diambil dari : Diary