Food Trap Ancam Indonesia

Ketergantungan Indonesia pada bahan pangan impor dalam jangka panjang akan semakin merugikan. Paket kebijakan pemerintah melalui pembebasan bea masuk sejumlah bahan pangan dan penggelontoran berbagai macam subsidi justru akan membawa masyakat masuk dalam food trap atau perangkap makanan. Demikian diungkapkan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo dalam Workshop Perbankan Perhimpunan Jurnalis Indonesia, di Bandung.

Menurut Siswono, secara tidak sadar, bangsa Indonesia digiring menjadi pemakan makanan berbahan terigu, seperti roti d an mi yang bahan bakunya tidak dapat diproduksi sendiri. Jumlah impor terigu Indonesia mencapai 5,5 juta ton per tahun.

Dalam jangka panjang, kebijakan pangan seperti ini akan merugikan bangsa. Sangat disayangkan, hanya untuk menurunkan harga terigu, pem erintah juga menghapus keharusan fortifikasi terigu yang berpengaruh pada penurunan kadar gizi bagi masyarakat, kata Siswono.

Pasar pangan

Siswono menegaskan, dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,3 persen pertahun, diperkirakan 35 tahun yang akan datang penduduk Indonesia akan bertambah 200 juta orang. "Pasar pangan yang sangat besar ini akan menjadi incaran bagi negara-negara produsen makanan, seperti Australia dengan sapi dan gulanya, Amerika dengan kedelai dan terigunya, serta Thailand dengan berasnya," ungkapnya.

Kemungkinan ini tidak mustahil terjadi, karena fenomena akhir-akhir ini menunjukkan harga pangan dunia secara keseluruhan memang mengalami peningkatan. Menurut Siswono, dalam beberapa tahun terakhir, harga beras sebelum tahun 2000 yang hanya 165 dollar AS per ton telah melonjak menjadi 700 dollar AS per ton, harga CPO tahun 2000 dari 220 dollar AS per ton melambung hingga 1.100 dollar AS per ton. Demikian juga kedelai yang hanya dalam waktu satu tahun naik dari 300 dollar AS per ton menjadi 600 dollar AS per ton.

Melambungnya harga-harga pangan disebabkan oleh dua hal, yaitu penggunaan bahan pangan sebagai energi alternatif bio fuel dan pertambahan penduduk. Menyikapi hal ini, Siswono menegaskan perlunya pertanian Indonesia merespon tantangan peningkatan kebutuhan nasional dan tingginya harga pangan dunia dengan diversifikasi pangan dan modernisasi pertanian.

Bagi Siswono, diversifikasi pangan sesuai dengan kekayaan alam lokal perlu menjadi kebijakan pemerintah. Pem erintah tidak boleh hanya berkonsentrasi soal beras, tapi juga harus memerhatikan potensi lokal, seperti di Papua dan Maluku dengan sagu, madura dan Nusa Tenggara Timur dengan jagung, atau Wonogiri dengan ubi kayu, ungkapnya.

Kebijakan ini tentunya tidak disajikan secara apa adanya, namun perlu pengolahan secara modern sehingga layak dimakan dan tetap mengandung gizi yang mencukupi. Menurut Siswono, sejumlah negara telah mengembangkan strategi ini, seperti orang Mexico yang membuat roti tortila dari jagung, masyarakat Jepang yang makan mi dari tepung ubi, atau orang China yang membuat soon dari tepung kacang hijau.

Bagi Siswono, kekurangan pangan di Indonesia bukan karena tidak adanya bahan pangan, tetapi karena ketergantungan Indonesia pada bahan pangan luar negeri yang melebihi batas kewajaran.

Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono mengungkapkan, tekanan inflasi pada kuartal pertama tahun 2008 disebabkan oleh naiknya harga komoditas pangan internasional. Karena itu, penanganan inflasi pun hanya akan efektif jika dilakukan dari sisi penawaran, yaitu melalui stabilisasi harga komoditas strategis, seperti beras, minyak goreng, dan minyak tanah. Bpost
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris