Lokalisasi Dolly Akan Dipindah

Isu relokasi lokalisasi Dolly tak hanya sekali. Satu dekade silam isu memindahkan Dolly ke pulau terpencil sempat membuat para pebisnis esek-esek itu panik. Namun, ketika awal tahun 2008 isu tersebut kembali diwacanakan mereka bergeming. Tak menggubris sekalipun.

Bagi Diah, pekerja seks komersial (PSK) yang hampir 10 tahun mangkal di kawasan Putat Jaya dan sekitarnya, isu relokasi cuma mampir di telinga kiri kemudian keluar lewat telinga kanan.

"Nggak mungkin lah dipindah. Daerah mana yang mau ditempati kawasan pelacuran," seloroh wanita 30 tahunan itu enteng. Kabarnya, relokasi tersebut memilih lokasi di kepulauan tak berpenghuni di Sumenep.

Para mucikari malah memandang rencana relokasi hanya isapan jempol. Itu sulit dilakukan. Toh, mereka yakin banyak oknum pejabat dan aparat menangguk untung dari bisnis ini. Para oknum itu mati-matian menentang relokasi. Perputaran uang miliaran rupiah dalam semalam di Dolly rasanya sulit dipindahkan begitu saja.

Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya, sedikitnya 6.000 PSK beroperasi di kawasan Dolly dan sekitarnya. Sepertiganya terkonsentrasi di Gang Dolly. Jika setiap PSK memasang tarif Rp 100.000 untuk sekali 'main', bisa dikalkulasi perputaran uang dalam semalam akan mencapai Rp 600 juta.

Kenyataannya, tarif PSK di kawasan Dolly dan sekitarnya cukup bervariasi, antara Rp 50.000 hingga Rp 130.000. Satu PSK pun biasa melayani lebih dari satu lelaki hidung belang.

Belum lagi perputaran uang bisnis ikutan. Seperti bisnis makanan dan minuman, sewa rumah, bisnis pakaian, parkir, pengamanan, hingga makelarisasi.

Pengamat sosial dari Unair Bagong Suyanto mengestimasi perputaran uang di Dolly menembus angka Rp 1 miliar semalam. Bayangkan saja jika kawasan ini digusur. Ribuan orang akan terkatung-katung nasibnya. Namun, membiarkan praktik pelacuran tumbuh subur sama halnya menjamurkan penyakit sosial dan kesehatan.

"Namun, menutup kompleks pelacuran bukan solusi mengurangi praktik pelacuran. Ada tiga poin bisa menjadi solusi persoalan ini," jelas Bagong.

Pertama, mengurangi pasokan PSK baru terutama di bawah umur. Mereka diminta menunjukkan akta kelahiran. Usia mereka wajib di atas 17 tahun. Aparat juga mengontrol dengan razia rutin. "Para mucikari harus memiliki komitmen dan menandatangani kesedian bahwa mereka tak akan memekerjakan PSK di bawah umur," lanjut pengajar FISIP Unair ini.

Kedua, meregulasi konsumen. Belajar dari konsep Genting Highlands Malaysia, setiap pengunjung lokalisasi wajib meninggalkan kartu identitas dan dicatat secara rinci jam masuk dan keluarnya. Bahkan jika perlu wajah konsumen juga difoto. "Jadi di setiap ujung Gang Dolly dijaga Satpol PP yang tugasnya mencatat dan memotret setiap data diri tamu berkunjung. Ini bisa menjadi sanksi sosial secara tidak langsung," cetus Bagong.

Ketiga, pembinaan secara kontinyu. Bentuknya, pembinaan kesehatan, ekonomi, dan keamanan. Dari sisi kesehatan, dilakukan penyuluhan dan pengobatan gratis terkait penanggulangan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual (PMS). Pembinaan ekonomi berupa pemberdayaan usaha dan tabungan. Pembinaan keamanan yakni dengan memosisikan PSK sebagai korban yang harus dilindungi dari eksploitasi para mucikari dan makelar.

Bagong menilai, penutupan lokalisasi Dolly dan sekitarnya justru akan memunculkan persoalan baru. "Akan tumbuh nukleus-nukleus baru di mana-mana. Ini justru menyulitkan pengawasan dan pembinaan," tukasnya. Wacana relokasi Dolly ke salah stau pulau terpencil dekat Sumenep dianggapnya sulit terlaksana.

"Secara normatif relokasi Dolly sangat tidak mungkin. Tak akan ada satu pun lokasi yang bersedia menerima. Setiap daerah kan tentu punya pertimbangan. Paling tepat dengan membuat skala prioritas penanganannya seperti tiga hal di atas," papar Bagong.

Jika penutupan hukumnya wajib, perlu pertimbangan bijak dari pemerintah. Yakni, mengantisipasi terjadinya guncangan perekonomian cukup besar di kawasan tersebut.

Senada penuturan Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya HM Munief. Penutupan lokalisasi Dolly ibarat balon tiup yang dipencet, akan melembung tak karuan ke sana ke mari.

Solusi terbaik yakni dengan pembinaan secara kontinyu dan simultan.
Masalahnya, ketika PSK dipulangkan, pemerintah kabupaten/kota asal tidak membina termasuk memberikan keterampilan. Sehingga dalam kurun waktu beberapa bulan para PSK itu pun balik lagi ke Surabaya.

Menurut Munief, penertiban PSK tak ubahnya penertiban pedagang kaki lima (PKL). Diobrak di sini lari ke sana. Tak heran, jika persoalan prostitusi di Surabaya, mungkin juga di kota-kota lain kesannya nyaris tak tersentuh. Mati satu tumbuh seribu. Laporan: Surya/Dwi/Musahadah
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris