Baret Merah Tak Pernah Mati !


KSAD Jenderal Agustadi SP tengah melakukan peninjauan pasukan dalam memperingati Dirgahayu Kopasus ke-56 di lapangan Mako Kopasus, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (16/4).
(iPhA/Subekti)


Peringatan ulang tahun Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang ke-56, melahirkan semangat kebangkitan baru. Pasalnya, setelah belasan tahun dikucilkan oleh Pentagon, kini pasukan elite berkemampuan khusus itu kembali mendapat kesempatan untuk berlatih bersama pasukan elite Amerika Serikat.

Panglima TNI Jenderal Joko Santoso mengatakan, latihan bersama untuk meningkatkan kemampuan prajurit Kopassus itu rencananya dimulai kembali tahun ini juga. "Nanti akan kita lihat, apakah pasukan khusus kita yang ke sana (AS) atau mereka yang datang ke sini. Tapi ini sebuah kemajuan," kata Joko Santoso.

Limapuluh enam tahun adalah sebuah perjalanan waktu yang cukup panjang bagi Kopassus untuk membangun kemampuan yang matang. Selama itu pula pasukan baret merah ini selalu menampilkan diri sebagai pasukan elite yang terlatih secara khusus dan berkemampuan teknis di atas rata-rata pasukan lain.

Sayangnya, di penghujung era kepemimpinan Orde Baru, tepatnya di saat kasus penculikan terhadap sejumlah aktivis yang ditudingkan kepada Kopassus, satuan baret merah ini lantas di-black-list oleh AS. Sejak itu pula latihan-latihan bersama pasukan elite AS yang sebelumnya dilakukan setiap tahun tiba-tiba dihentikan.

Tetapi, saat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berkunjung ke Amerika Serikat, April 2007, Pentagon (Departemen Pertahanan AS) mengisyaratkan langkah pemulihan hubungan kerjasama antara pasukan elite Indonesia dan AS.

Kepada INILAH.COM, Rabu di Jakarta, mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu mengatakan, sebenarnya selama ini tidak ada masalah yang terjadi di antara TNI dengan AS.

"Yang selalu ribut, itu kan cuma LSM saja dan beberapa anggota Kongres mereka. Ngomong doang, mereka bisanya. Harus diakui, pasukan khusus kita, yaitu Kopassus, termasuk pasukan elite yang terbaik di dunia. Kita harus bangga," kata Ryamizard.

Salah satu ciri khas yang diunggulkan pada Kopassus adalah di dalam satuan pasukan elite ini, dibentuk pasukan yang lebih khusus lagi, yaitu Detasemen 81 Anti Teror Kopassus. Misi utama pasukan berkemampuan taktis ini adalah melaksanakan operasi penumpasan aksi terorisme yang membahayakan keamanan negara.

Mantan KSAD yang juga mantan Komandan Kopassus, Jenderal Purn Subagyo HS, kepada INILAH.COM mengatakan, Jenderal Purn LB Moerdani (alm) adalah sosok pimpinan di satuan elite Kopassus yang memprakarsai pembentukan Detasemen 81 Anti Teror itu.

"Almarhum Pak Benny yang memprediksi bahwa di masa yang akan datang aksi teror itu akan muncul di tengah masyarakat, sehingga Kopassus perlu membuat detasemen khusus. Tahun 1981, Luhut Panjaitan dan Prabowo Subianto yang dikirim ke Jerman untuk dilatih menjadi pasukan antiteror itu," kata Subagyo HS.

Sekembalinya kedua prajurit andalan Kopassus itu dari Jerman, lanjut Subagyo, maka dibentuklah Detasemen Anti Teror. Agar namanya lebih bagus, maka ditambahkan angka 81, yang diambil dari tahun 1981. "Itu tahun pengiriman Luhut dan Prabowo bersekolah di Jerman sebagai pasukan antiteror," tambahnya.

Sebagai mantan Komandan Kopassus, Subagyo mengaku bangga pada predikat yang melekat pada dirinya sebagai pasukan khusus. Dulu karena kemampuan bahasa Subagyo tidak sebagus Luhut dan Prabowo, maka dia tidak bisa ikut sekolah dengan kedua rekannya.

Meski begitu, bersama Sintong Panjaitan, Subagyo pernah mendapat kepercayaan untuk ambil bagian dalam Operasi Woyla. Misi penyelamatan itu pun dijalankan dengan baik. "Komando! Kami bangga bisa berbuat yang terbaik pada waktu itu," kata Subagyo HS.

Operasi Woyla adalah misi penyelamatan terhadap pesawat Garuda Indonesia DC 9 yang dibajak oleh lima orang teroris bersenjata dari Komando Jihad, 28 Maret 1981. Oleh para teroris, pesawat dengan rute penerbangan Jakarta-Palembang-Medan itu dialihkan ke Kolombo, Srilanka.

Namun karena kehabisan bahan bakar, pesawat diterbangkan ke Penang, Malaysia. Setelah mengisi bahan bakar, pesawat terbang lagi menuju Don Muang, Thailand. Pasukan khusus dari Kopassus (dulu Kopassandha) dikirim untuk menyelamatkan seluruh penumpang yang tersandera dalam pesawat yang dipasangi bom itu. Para teroris akhirnya dilumpuhkan.

Saat ini Detasemen 81 Anti Teror itu sudah berubah nama jadi Satuan Gultor atau penanggulangan teror. "Jadi kalau mereka akan mendapatkan lagi kesempatan berlatih di AS, itu sebuah langkah yang bagus sekali," lanjut Subagyo.

Sayangnya, kemampuan pasukan antiteror Kopassus itu kini nyaris tak pernah diperbantukan pada Densus 88 Anti Teror Polri dalam menangani terorisme. Padahal pada dasarnya pasukan baret merah memang tak pernah 'mati'.

Selamat ulang Kopassus. Pasukan baret merah harus tetap membanggakan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia dalam semua pengabdian yang terbaik. Politik negara jangan lagi menyeret satuan elite ini untuk dijerumuskan pada kubangan pelanggaran nilai-nilai HAM, hukum, dan kemanusiaan. Komando!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris